Entri Populer

Sabtu, 22 Januari 2011

Sultan Djalaluddin II (1931-1959) dan Agresi Jepang di Bulungan.


(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin)

Kali ini kita akan membahas mengenai Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Djalaluddin, salah seorang Sultan yang patut diperhitungkan dalam perjalanan sejarah Bulungan, bernama asli Datuk Tiras, ia kemudian naik tahta setelah menggantikan keponakannya Sultan Akhmad Sulaiman yang tidak lama menjabat dikarena meninggal karena sakit, Sultan Akhmad Sulaiman hanya bertahta sekitar beberapa bulan saja yaitu antara tahun 1930-1931, sebelum Akhmad Sulaiman naik tahta, pemerintahan dipegang oleh pemangku yaitu Datuk Mansyur yang menggantikan sementara pasca meninggalnya Sultan Kasimuddin.

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin atau lebih Sultan Djaluddin II, dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1931, ia kemudian membangun lagi istana di hilir istana yang kedua disebut juga dengan nama Kraton III. Pada masanya memerintah, beliau nampaknya melakukan perampingan dalam jabatan pos kementrian. Para menteri Kesultanan dibagi menjadi empat jabatan yaitu: Sekretaris Sultan, Datuk Bendahara Paduka Raja (Menteri ke I), Datuk Perdana (Menteri ke II) dan Datuk Laksamana Setia Diraja (Menteri ke III).

Dimasa beliau inilah kota Tanjung Palas ditata dengan rapi, dan secara administratif dibagi menjadi tiga kampung yaitu Tanjung Palas Hulu, Tanjung Palas Tengah dan Tanjung Palas Hilir. Pendidikan agama modern pertama secara klasikal juga terjadi dimasa beliau berkuasa, dimasa itu Bulungan memilki dua sekolah yaitu Al-Ma’rif dan Al-Ulum, selain itu terdapat pula sekolah sederhana yang didirikan oleh organisasi Musyawaratutthalibin di kampung pasar. Bagi hasil minyak yang dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda, digunakan untuk mensejahtrakan rakyat, dimasa beliau inilah rakyat mendapatkan aliran listrik secara gratis, begitupula perbaikan perumahan, mereka mendapatkan dana talangan langsung dari kas istana.


(Sultan Djalaluddin beserta menteri Kesultanan Bulungan)

Sayangnya kondisi tersebut tidak berlangsung lama, tahun 1942 perang Pasifik pecah, Seperti kata pepatah “tak ada kekuasaan hamba-Nya dimuka bumi ini yang abadi” Belanda akhirnya harus menelan pil pahit akibat serangan Jepang atas Tarakan tahun 1942 dalam peristiwa “perang dua hari” tersebut. Sebenarnya pilihan tentara Jepang untuk meluaskan kekuasaannya karena mereka tergoda oleh pesona “Minyak bumi dan karet” yang mereka perlukan untuk mempertahankan keutuhan produksi dalam negeri mereka.

Hal ini di sebabkan Jepang membutuhkan suplai minyak untuk kebutuhan industri di negaranya, cadangan minyak jepang pada waktu itu hanya bertahan 18 bulan terhitung dari bulan Desember 1941 saat mereka untuk pertama kalinya melibatkan diri dalam perang dunia kedua. Apalagi sejak Juli 1941 pihak Belanda sengaja memutuskan suplai minyak ke Jepang dengan cara memberlakukan larangan exspor minyak dan sumber-sumber bahan mentah lainnya untuk kebutuhan industri dari Hindia Belanda ke Jepang sebagai tanggapan atas tindakan jepang yang menyerang Tiongkok, sehingga mengakibatkan perang terbuka antara Tiongkok dan Jepang tahun 1937. Apa yang dilakukan Belanda juga di ikuti Amerika Serikat, Inggris dan sekutu barat dengan menerapkan embargo ekonomi terhadap Jepang tahun 1941, sikap Belanda itu tentunya sangat menyakiti pihak Jepang, ini dikarenakan Belanda merupakan negara Eropa yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan Jepang sejak lama, karena itu jelaslah sikap Belanda yang memihak Tiongkok saat itu oleh Jepang dianggap sebuah penghianatan yang tak termaafkan.

Sebenarnya jauh sebelum pecah perang Pasifik, sudah terjadi persaingan ekonomi antara Jepang dengan dengan Negara-negara barat, disinilah apa yang disebut sebagai letak kecurangan bangsa barat, mereka tidak suka adanya negara industri di Asia seperti Jepang, dengan alasan sebagai pelindung Demokrasi dan keadilan, mereka menekan Jepang dengan berbagai embargo ekonomi, tapi secara bersamaan mereka justru menjajah bangsa Asia, Amerika Latin dan Afrika.


(Ladang Minyak di Tarakan)

Pihak Kolonial Belanda juga mempunyai andil yang besar untuk mempercepat jatuhnya Bulungan khususnya kota Tarakan ke tangan Jepang. Dalam bidang militer Belanda termasuk negara kolonial yang lamban melakukan moderenisasi peralatan militernya, akibatnya sebagian besar persenjataan yang digunakan untuk menghadapi Jepang termasuk persenjataan yang ketinggalan jaman bahkan tidak sedikit peninggalan perang dunia pertama, kalaupun ada yang terbilang canggih, itupun masuk daftar persenjataan kualitas kelas dua alias bermutu rendah. Contohnya bisa dilihat pada usaha Belanda untuk memodernisasi angkatan udaranya (Militaire Luchtvaart), Belanda berusaha mendapatkan pesawat-pesawat canggih dari Amerika Serikat, namun karena tidak ingin pengalaman buruk di Indo-Cina Prancis terulang, dimana persenjataan Amerika dirampas oleh Jepang, maka permintaan Belanda tersebut tidak ditanggapi sepenuh hati oleh Amerika. Belanda hanya di izinkan untuk membeli produk militer kelas dua dari Amerika serikat, akibatnya petinggi Belanda menjatuhkan pilihannya pada perlengkapan militer seperti Boomber Glen Martin, pesawat tempur Curtis Hawk dan “si gendut” Browster Buffalo.

Pesawat-pesawat tersebut ditempatkan di Tarakan, dengan komposisi lima pesawat tempur jenis Brewester Bufallo dan tiga buah pengebom (bomber) Glenn Martin, satu pesawat terbang amfibi (Floatpalne) Belanda Dornier DO-24K, produk militer lain yang sempat digunakan Belanda untuk mempertahankan tarakan adalah empat pucuk meriam 40 milimeter bikinan Bofors (swedia), empat pucuk arteleri pertahanan udara 20 milimeter dan selusin mitraliur 12,7 milimeter serta kekuatan kavalari Belanda hanya di lengkapi tujuh kendraan lapis baja (overvalwagens). Nasib sial pemerintah Kolonial Belanda semakin bertambah karena KNIL (Koninkluk Nederlandsch Indisch Leger), tentara Kompeni yang disiapkan Belanda untuk mempertahankan kepulauan Hindia-Belanda ternyata 80% tidak siap bertempur, ini karena KNIL memang hanya didik untuk menghancurkan pemberontakan pribumi bukan sebagai tentara yang memang disiapkan untuk menghadapi agreasi atau serangan negara lain. Itulah sebabnya KNIL memang punya taring hebat menghadapi pemberontak pribumi yang tentu saja kurang persenjataan, tapi begitu melawan Jepang mereka malah tidak bisa berbuat banyak.

Yang lebih parahnya lagi, Belanda ternyata kalah saing terhadap agen-agen rahasia Jepang, di Tarakan sebelum terjadinya pecah perang pasifik, Jepang dengan sangat baik membangun jaringan mata-mata hampir diseluruh kawasan asia Timur dan Tenggara, mereka menyamar sebagai buruh, nelayan, pengusaha perkebunan dan lain sebagainya. Mereka sangat rinci mencatat keadaan perekonomian, keadaan alam, letak geografi, kedalaman pasang surut air laut bahkan mereka juga mengetahui jumlah orang Belanda, dimana mereka bekerja dan berapa jumlah keluarga mereka serta informasi lain yang dibutuhkan, apa yang berlaku di Tarakan ini, nampaknya juga terjadi dikawasan Tanjung Selor yang merupakan garnisun KNIL di Bulungan.

Kesalahan lain juga terlihat, Kitimura salah seorang Jepang yang menyamar menjadi orang Cina, ternyata malah menjadi kontraktor untuk membangun kubu pertahanan sekutu, hasilnyapun sudah dapat diketahui: Belanda sudah kalah sebelum berperang.

Masa pembalasan Jepang atas Belanda dan sekutu Eropanyapun akhirnya tiba, Tahun 1942 perang Pasifik pecah, Angkatan Perang Kekaisaran Jepang melakukan serangan kilat atau Blitzkrieg secara serempak di wilayah Asia Tenggara, sebelumnya tentara Jepang menyerbu Pearl harbor tanggal 7 desember 1941. Strategi perang modern Jepang diawali serangan mendadak yang melibatkan koordinasi gempuran udara, darat, dan laut meniru strategi tentara Nazi Jerman di Eropa. Serangan serempak itu berlangsung dimedan tempur yang membentang 5.800 mil (sekitar 10.440 kilometer) dari Malaya-Filipina-Pearl Harbor hingga kepulauan Aleut di sebelah barat Alaska.


(Panglima Angkatan Laut Jepang yang termasyur, Admiral Takeo Kurita)

Tentu saja peristiwa ini sangat merugikan pemerintah Kolonial Belanda terutama terbakarnya kilang-kilang minyak minyak di pulau Tarakan yang tersebar di wilayah barat pulau Tarakan, sasaran Jepang sebenarnya ladang-ladang minyak di seluruh kepulauan Nusantara, dan secara geografi sumber minyak terdekat dengan kekuatan Jepang yang sudah berpangkalan di Davao, Mindanao (Filipina Selatan) adalah pulau Tarakan itulah sebabnya Panglima Angkatan Laut Jepang yang sangat termasyur, Admiral Takeo Kurita memerintahkan satuan Khusus Angkatan Laut Jepang mengambil alih Pulau Tarakan, sesuai rencana gurita tengah (Central Octopus). Unit tempur ini bergerak dari dua arah di utara melalui Kepulauan Filipina dan satuan dari Kepulauan Palau di utara Papua di bawah komando Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi. Mereka meninggalkan Davao di Mindanao Filipina Selatan sejak Tanggal 7 Januari langsung menuju sasaran pertama di kepulauan nusantara yaitu pulau Tarakan. Pasukan besar ini terdiri dari kekuatan gabungan dari Nihon Rikugun (AL) dan Teikoku Kaigun (AD), Angkatan Perang kekaisaran Jepang ini berjumlah kurang lebih 20.000 prajurit.

Komandan pasukan Belanda pada masa itu adalah Letnan Kolonel (overstee) S. de Waal, untuk mempertahankan Pulau Tarakan dari serbuan tentara Jepang, beliau mengkonsentrasikan kekuatan pertahanan Angkatan Perang Belanda di wilayah sebelah barat pulau Tarakan, hal itu dikarenakan obyek vital seperti kawasan pemukiman, pelabuhan laut, pelabuhan udara Juata (Croydon Airstip), dan industri perminyakan tersebar di sebelah barat pulau ini. Sedangkan disisi timur pulau hanya ada perbukitan dan hutan belantara. Itulah sebabnya Belanda menempatkan satuan artileri pantai (kustartillerie) buatan Krupp und Essen Jerman ukuran 75 mm di pantai barat di Tanjung Juata, Lingkas, Karungan dan Peningki Lama. Satuan kompi arteleri ketiga di tugaskan di Tarakan di bawah pimpinan Kapten M. J. Bakker membagi satuan arteleri dalam sejumlah baterai yang di pimpin Letnan Satu Van der Zijde, asal Afrika selatan, Letnan Satu J. W. Storm van Leeuwen, Letnan Satu J. P. A.Van Adrichem, asal Afrika Selatan, dan Letnan satu J. Verdam. Sementara itu, satuan arteleri ringan (luchtdoelartillerie) dipimpin Letnan Dua T. Nijenhuis, Asal Afrika Selatan. Satuan ini mengandalkan empat pucuk meriam 40 milimeter bikinan Bofors (swedia), empat pucuk arteleri pertahanan udara 20 milimeter dan selusin mitraliur 12,7 milimeter. Kekuatan kavalari Belanda hanya di lengkapi tujuh kendraan lapis baja (overvalwagens).

Pasukan yang menjaga pulau Tarakan pada masa itu terdiri dari 1.300 personil, mereka merupakan gabungan dari Angkatan Darat Belanda / KNIL (Koninkluk Nederlandsch Indisch Leger), Angkatan Udara Belanda (Militaire Luchtvaart) dan Angkatan Laut Hindia Belanda (Zeemach Nederlands Indie) bahkan Manajer BPM (Bataafsce Petroleum Maatschapij) Anton Colijn yang berpangkat Tituler Kapten, menugaskan 40 personilnya untuk mendukung milisi mempertahankan Pulau Tarakan. Gabungan pasukan ini saling bahu-membahu mempertahankan Kepulauan Nusantara sebagai kebanggaan terakhir dari De Koningin (Ratu Belanda) melawan Angkatan Bersenjata Jepang, sedangkan Ratu Wihelmina sendiri sejak bulan Mei 1940, sudah mengungsi ke London.

Karena hanya memiliki empat pesawat tempur jenis Brewester Bufallo dan tiga buah pengebom (bomber) Glenn Martin yang jumlahnya sedikit untuk menghadang kedatangan musuh, maka de Waal menitik beratkan pertahanan di darat dan di sekeliling pantai pulau tersebut dengan menebar ranjau laut, Letnan Komandan AC van Versendaal, komandan satu-satunya kapal peyebar ranjau Prins van Oranje, betul-betul di sibukan dengan tugas menanam ranjau di sekitar perairan di Pulau Tarakan, hasilnya dalam waktu singkat seluruh perairan Tarakan di tutupi ranjau laut. Tidak ketinggalan juga sebuah kapal selam K-10 yang dipimpin Letnan P. G. de Back juga ikut melakukan patroli perairan sekitar Tarakan hingga Selat Makassar.

Pada tanggal 9 januari, kapal perang Prins van Oranje mendapat serangan udara dari pihak Jepang. Prins van Oranje hanya mengalami kerusakan ringan. Satu pesawat Jepang kemungkinan tertembak jatuh dalam serangan hari itu, walaupun demikian pesawat terbang amfibi (Floatpalne) Belanda Dornier DO-24K, tetap melakukan patroli rutin di atas wilayah udara Tarakan. Sehari kemudian tanggal 10 januari, pesawat itu melaporkan bahwa Armada Angkatan perang Kekaisaran Jepang tiba di perairan Tarakan dan siap mendekati pulau tersebut, armada itu terdiri dari dua kapal penjelajah berat (heavi Criuser), delapan kapal perusak (destroyer) di tambah iringan kapal pengangkut pasukan mendekati Tarakan dari timur. Konvoi tersebut melepas jangkar sepuluh mil di timur Tarakan dan kapal pengangkut bersiap mendaratkan pasukan. mengetahui hal itu, Letkol. S. de Wall langsung mengambil keputusan untuk melakukan menghancurkan semua fasilitas perminyakan beserta seluruh ladang-ladang minyak di pulau Tarakan, semua ini dimaksudkan untuk menghindari jatuhnya sumur-sumur minyak ketangan Jepang. Seluruh ladang minyak, tangki penyimpanan raksasa, jaringan pipa di Juata, Gunung Tjangkoel, berikut pompa dan dan gudang penyimpanan material di bakar Belanda. Suasana saat itu benar mengerikan, seolah-olah seluruh pulau Tarakan terbakar, dari laut pasukan pendarat Jepang melihat seluruh daratan Tarakan seperti neraka.

Pasukan pendarat Angkatan Perang Kekaisaran Jepang terbagi dalam pasukan sayap kanan dan sayap kiri menyerang pantai timur Tarakan, Jepang berhasil mengelabui pasukan pertahanan Belanda yang berada di pantai barat pulau Tarakan. Pasukan sayap kiri pertama mendarat di sekitar pantai Pantai Amal tengah malam sekitar pukul 12.00 tanggal 11 januari 1942, dan 30 menit kemudian diikuti oleh satuan Khusus Angkatan Laut Kure (pasukan sayap kanan). Satuan pasukan sayap kanan bergerak lebih dalam ke daratan di daerah sebelah utara ladang minyak, mereka mengepung sebuah bukit yang cukup penting. Namun tembakan senapan mesin dan senapan laras panjang Belanda sangat gencar, sehingga hampir mustahil untuk bergerak maju,. Pihak Belanda melengkapi pertahanan mereka dengan peralatan perang yang sangat sedikit, seperti senjata bekas perang dunia pertama yaitu Water Mantel Machine Gun berhasil menghalangi pasukan Jepang di sekitar kampung satu dan ladang minyak di sebelah utara Tarakan. Tapi itu tidak bertahan lama, pasukan Jepang berhasil mengalahkan mereka.


(Ilustrasi kedatangan tentara Jepang di Bulungan).

Satuan kavaleri Belanda yang jumlahnya sekitar tujuh buah itu, terlibat pertempuran di kawasan Pamoesian, unit ini berperang melawan pasukan sayap kanan Jepang. Tapi akhirnya mereka dikalahkan juga. Pada pagi harinya, Letkol (overstee) S. de waal akhirnya menyerah dan kemudian mengirim utusan dengan membawa bendera putih sebagai tanda gencatan senjata dan sebuah tawaran untuk menyerah. Kolonel Kyohei Yamamoto, komandan pasuka sayap kanan, langsung mengirimkan telegram kepada komandan Detasemen Sakaguchi yang memberitahukan bahwa pihak Belanda menyerah. Akhirnya satuan khusus pendaratan Kure ke-2 bergerak maju dengan cepat, mereka langsung menuju ke lapangan udara Juata (Crodon Airstrip) dan menguasainya menjelang pagi hari tanggal 12 Januari. Tarakan pun Akhirnya jatuh ketangan tentara Jepang dalam waktu dua hari. Setelah memukul mundul tentara KNIL dan menduduki kota minyak Balikpapan tanggal 23 Januari 1942, barulah tiga belas hari kemudian tepatnya pukul 03.00 tanggal 05 February 1942, sepasukan tentara Jepang akhirnya menduduki Tanjung Palas dan Tanjung Selor dengan tanpa pelawanan yang berarti.

Sayangnya kita tidak mendapatkan banyak catatan yang menerangkan bagaimana persisinya apa yang terjadi saat mendaratnya pasukan Jepang di Tanjung Selor dan Tanjung Palas saat itu, hanya yang dapat kisahkan dari catatan-catatan tertulis bahwa pada saat itu banyak orang-orang mengungsi keluar dari kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas untuk mendapatkan perlindungan di perkampungan kecil yang tidak jauh dari pusat kota tersebut, selain itu Sultan Bulungan, Sultan Maulana Djalaluddin II akhirnya menyerah dan mengakui keberadaan Jepang di wilayah Kekuasaannya. Karena itu dapat diduga sebelumnya kedatangan Pasukan Jepang di Tanjung Selor pada saat itu, terkait upaya untuk membersihkan sisa-sisa tentara KNIL dan khususnya orang-orang Belanda yang ada di Tanjung Selor pada saat itu.

Kekejaman tentara Jepang saat pendudukan pulau Tarakan memang luar biasa, seluruh awak baterai pantai Karungan yang berjumlah 84 orang (satuan pertahanan pantai yang sempat menenggelamkan kapal penyapu ranjau Jepang) dilempar hidup-hidup kelaut dengan tangan yang terikat dan di bagi dibagi dalam kelompok kecil berjumlah tiga orang. Selanjutnya 219 tentara Belanda di tenggelamkan di pesisir Pantai Tarakan. Jumlah keseluruhan Tentara Belanda yang tewas tidak di ketahui pasti. Tapi di perkirakan lebih dari separuh pasukan Belanda tewas dalam dua hari pertempuran di Tarakan. Secara keseluruhan Jepang menawan 871 tawanan perang Belanda. Di pihak Jepang sendiri Rikugun (Angkatan Laut) 8 orang tewas, Kaigun (Angkatan Darat) sebanyak 247 orang jiwa. Dari 247 jiwa tersebut 200 orang tewas di laut sedangkan sisanya 47 orang tewas di darat. Selain itu 18 orang lainnya juga tewas dalam serangan pesawat pengebom (bomber) Glenn Martin Belanda.

Sumber:

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta.

Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2009.

Zulkarnen, Datuk Iskandar-, dkk. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.

Jumat, 21 Januari 2011

Kesultanan Bulungan Pasca Datu Alam Muhammad Adil.


(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889)

Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil, anak dari Maharaja Lela yang bernama Ali Kahar yang bergelar Sultan Kaharuddin II (1875-1889) dengan harapan mampu meneruskan kebijakan kakeknya, namun tekanan-tekanan politik yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan pada masa-masa awal pemerintahan Sultan kaharuddin II akhirnya membuat Sultan dengan berat hati akhirnya menandatangani perjanjian kerjasama (Konteverklaring de tweede II) pada Juni1878 pokok perjanjianya yaitu: Belanda dapat menentukan kebijakan sultan Bulungan termasuk urusan pajak dan Sultan Kaharuddin terjamin keamanannya. Dalam catatan pemerintahan Belanda, pada tanggal 2 Februari 1877 diterbitkan Ordonantie berupa Staatsblad (surat keputusan) nomor 31 tentang kekuasaan mengatur kerajaan Bulungan yang membawahi Tanah Tidung, Pulau Tarakan, Nunukan, Pulau Sebatik, dan Beberapa pulau kecil di sekitar. Bahkan, Surat Keputusan itu di kukuhkan kembali pada 15 maret 1884 oleh Sekretaris kerajaan Belanda di Bogor.

Kerja sama itu ternyata menjadi pemicu serangkaian kebijakan Belanda yang merugikan Kesultanan Bulungan, karena pada 1 Maret 1897 menerbitkan Staatsblad nomor 83 yang ditandatangani Gubernur Jenderal Hindia Belanda A. D. H. Heringa. Isinya mengatur penyerahan tanah beberapa kerajaan di kalimantan kepada Belanda. Kondisi ini membuat posisi tawar politik Kesultanan Bulungan menjadi sangat sulit, sehingga Sultan jelas tidak mudah mengambil sikap untuk menolak Konteverklaring de tweede II seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya, Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil, karena situasi yang tidak menentu dan tidak berimbangnya kekuatan militer Bulungan terhadap Belanda yang sudah mulai menancapkan pengaruhnya di Bulungan, khususnya semenjak meningkatnya kekuatan sejata api dan penggunaan kapal uap yang digunakan oleh Belanda. Hal ini ditopang pula melemahnya kekuatan armada laut Bulungan setelah sempat pecahnya perang laut antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada 1862, karena itu jelas Sultan Kaharuddin II tidak ingin banyak korban sipil yang lebih besar lagi jika berhadapan langsung dengan militer Belanda. Keberadan armada Angkatan Laut Inggris yang bermarkas di Labuan, yang sewaktu-waktu dapat bergerak cukup dekat di tapal batas Kesultanan Bulungan di utara juga nampaknya juga menjadi penentu lain mengapa pilihan sulit tersebut akhirnya diambil oleh Sultan Kaharuddin II.

Kesultanan Bulungan saat itu benar-benar terjepit diantara dua raksasa kolonial yang tengah bertarung memperebutkan supremasi dan kendali atas pulau Kalimantan, Inggris di utara dan Belanda dari Selatan Bulungan. Itulah sebabnya mengapa keputusan ini seumpama buah simalakama bagi Sultan Kaharuddin II karena beliau harus menangung beban sejarah dipundaknya. Sultan Kaharuddin II berkuasa sekitar 14 tahun, beliau akhirnya wafat tahun 1889 M / 1307 H dan dimakamkan di kompleks makam kesultanan Bulungan di gunung Seriang, para arkeolog menyebut kompleks makam tersebut dengan nama kompleks makam Gunung Seriang II.


(J. Jongejans, Controleur Van Boeloengan).

Pengaruh Belanda terhadap Bulungan semakin besar, kebijakan yang dijalankan pasca wafatnya Sultan Datu Alam Muhammad Adil adalah mencoba lebih ikut campur dalam struktur pemerintahan Kesultanan Bulungan. Dalam menjalankan roda pemerintahan pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengawasan terhadap Kesultanan Bulungan, mereka menempatkan wakilnya yang dikenal dengan nama Controleur. Controleur merupakan sebuah jabatan yang berlaku aktif sejak tahun 1827, dulunya sebelum Controleur jabatan sejenis disebut dengan Opziener. Sesuai dengan fungsinya mereka bertugas mengumpulkan pajak bumi di wilayah Karesidenan yang menjadi wilayah kerjanya. Petugas ini kemudian menjadi Directie voor de Cultures. Jenjang karier Controleur ini dibagi menjadi tiga tingkatan yang dapat naik pangkat sampai pada jabatan dalam dinas pemerintahan yaitu Asisten Residen atau Residen. Itulah sebabnya walaupun Kesultanan Bulungan berbentuk Zelfbestuurende Landschapen atau pemerintahan istimewa, namun pada hakikatnya kesultanan Bulungan sebenarnya berada dibawah pengawasan Asisten Residen yang kaki tangannya disebut Controleur tersebut.

Pembenahan di lingkungan pemerintahan lokal oleh Pemerintah Belanda dilakukan secara bertahap. Controleur yang semula bertugas sebagai pegawai pajak, sesuai dengan Staatsblad. 1872 nomor 225 secara definitif digabungkan dengan Dinas Pangreh Praja (di kalimantan jabatan ini disebut dengan Kyai) yang sebenarnya hal ini sudah terjadi setengah abad sebelumnya. Kepada Asisten Residen diperbantukan dua atau tiga Controleur, sebagai pembantu Asisten Residen yang tidak mempunyai kekuasaan sendiri. Mereka bertugas mengawasi apakah perintah kepalanya (Asisten Residen) dikerjakan, mengamati tentang apa saja yang berkaitan dengan kesejahteraan dan perkembangan rakyat. Sebagai pejabat di tingkat bawah, Controleur mengetahui tentang adat istiadat masyarakat, kesehatan, pertanian, peternakan, dan lain-lain dalam wilayah Afdeeling tersebut. Controleur juga diwajibkan membantu Pangreh Praja Bumi Putera dalam melaksanakan tugasnya, mengingatkan apabila ada kekurangan, dan sebagainya. Kepada Asisten Residen dan Residen, Controleur memberikan segala keterangan yang penting seperti apabila ada pejabat Bumi Putera yang bersikap kritis dan reaktif terhadap penguasa Kolonial bila perlu disertai dengan usul karena ia adalah mata-telinga Asisten Residen dan Residen.

Untuk Kesultanan Bulungan Controleur di tempatkan di Tanjung Selor dengan merangkap pulau Tarakan dan di Malinau, selain itu seperti yang dijelaskan sebelumnya Belanda juga menempatkan seorang Controleur di Muara Tawao hingga daerah tersebut diambil oleh Inggris. Pada tahun 1922 dipedalaman Bulungan, seorang Controleur ditempatkan di Malinau dan setahun kemudian, 1923 seorang Asisten Residen untuk wilayah Boelongan en Berao ditempatkan di Tanjung Selor. Kemudian baru pada tahun 1938 kedudukan Asisten Residen Boelongan en Berao dipindahkan ke kota Tarakan sampai waktu penyerahan kemerdekaan pada RI. Saking besarnya pengaruh kekuasaan Controleur atas wilayah kerjanya, untuk mengangkat seorang pejabat pada tingkat kecamatan atau Onder Distrik saja harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Controleur.
Sayangnya sejauh ini, hanya ada dua Controleur van Bulungan yang dapat dilacak oleh penulis yaitu Controleur bernama Mayers (1921-1922) dan seorang Controleur terakhir yang sempat menghadiri penyerahan kedaulatan atas Bulungan yang bergabung kepada Republik Indonesia pada tahun 1949 yaitu Controleur J.H.D. Linhoud.

Pada tahun 1901 dimulailah pajak penghasilan yang dikenakan pada rakyat, maka pada tahun tersebut diangkatlah 3 orang Districthoofd (semacam kepala distrik) dan kepala-kepala kampong, dikawasan Hulu Sungai Kayan (pedalaman) oleh pemerintah Hindia-Belanda diangkatlah Posthouder-Posthouder (kepala pos). Belanda nampaknya menggunakan dalil perjanjian kerjasama (Konteverklaring de tweede II ) pada bulan Juni 1878, yang ditanda tangani Sultan Kaharuddin, salah satu pokok perjanjianya terpentingnya adalah: Belanda dapat menentukan kebijakan sultan Bulungan termasuk urusan pajak.

Besaran nilai pajak ditetapkan oleh pemerintah Belanda melalui sebuah badan yang disebut dengan Commisie Aanslag, dan sistem pemungutan pajak dikenal dengan nama Collectellon. Di Bulungan, besaran pajak yang dikenakan pada tiap-tiap orang adalah Rp 15 hingga Rp. 25, ditambah 0,75 kemit (picis) untuk tiap-tiap kepala kampung.
Kedudukan-kedudukan Districthoofd tersebuat adalah sebagai beriku: (1). Districthoofd Tanjung Palas dingkatlah Haji Datu Mahkota. (2). Districthoofd Sesayap adalah Datuk Bestari. Dan, (3). Districthoofd Sembakung di jabat oleh Andin Kamsah. Kesemuanya diangkat berdasarkan surat keputusan Srie Sultan Bulungan dan kekuasaan Districthoofd Tanjung Palas hanya membawahi wilayah Tanjung Palas saja, untuk Tanjung Selor dan tanah-tanah yang termasuk empat persegi (Virtekand Vaal) beserta penduduknya berada dibawah kekuasaan Gouvernemen Hindia Belanda.

Gubernur Jendral Belanda kemudian membentuk wilayah administrasi yang dikenal dengan nama Afdeling Oost Borneo, sejak tahun 1910 hingga 1930 Colonial Belanda telah menyusun struktur pembagian kekuasaan dikalimantan timur, kesultanan Bulungan tercatat dalam Onder Afdeling IV yang membawahi dua Districk, yang pertama adalah Districk Bulungan yang terdiri dari Onder Districk (1). Muara Pangean, (2). Tarakan dan (3). Long Nawang (Apo Kayan). Distrik kedua adalah Distrik Sesayap yang terdiri dari Onder Districk (1). Sembakung, (2). Mentarang, dan (3). Krayan.

Selanjutnya tahun 1930-1942 an, terjadi lagi perubahan wilayah administrasi, sesuai dengan Besluit Gubernur Jendral (Staatsblad 1938 nomor 264) terhitung sejak 1 Juli 1938 diadakan lagi tiga Provinsi atau Eilandgewest, yaitu Sumatra, Borneo (Kalimantan) dan Timur Besar (Groote Oost) dengan berturut-turut ibukotanya Medan, Banjarmasin dan Makassar.

Tahun 1938 itu pula keluar Besluit Gubernur Jendral (Staatsblad 1938 nomor 352) yang mengatur lebih lanjut tentang tiga Provinsi tersebut. Mengenai Gewest Borneo ditentukan bahwa ibukotanya Banjarmasin, dan dibagi dalam dua bagian yaitu Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo yang berkedudukan di Banjarmasin dan Residentie Westerafdeling van Borneo bertempat di Pontianak. Wilayah kesultanan Bulungan masuk pada Afdeling Zuider en Oosterafdeling van Borneo (Afdeling Selatan dan Timur Borneo) dengan berstatus Swapraja.

Swapraja Bulungan (Onderafdeling Bulungan) dibagi menjadi empat Onder Districk yaitu:
A. Districk Bulungan membawahi satu Onder Districk yaitu Tanjung Palas.
B. Districk Tanah Tidung (Tidungsche Landen) membawahi empat Onder Districk yaitu 1) Malinau, 2). Sembakung, 3). Mentarang, 4). Krayan.
C. Distric Tarakan Onder Districk tetap berkedudukan di Tarakan.
D. Districk Apo Kayan tetap berkedudukan di Apo Kayan (Long Nawang).

Kembali kesejarah Bulungan, setelah Sultan Kaharuddin II mangkat, beliau digantikan
oleh menantunya yang bernama Si Gaeng yang bergelar Sultan Azimuddin, beristrikan Putri Sibut, anak keempat dari Sultan Kaharuddin II. Si Gaeng sendiri memiliki garis keturunan langsung dengan Sultan Bulungan terdahulu, Sultan Kaharuddin I. Prosesi pengangkatan Sultan Azimuddin mendapat pengesahan Gubernur Belanda di Batavia melalui surat keputusan tertanggal 4 Desember 1889.


(Kediaman Asisten Resident Belanda di Samarinda).

Restu dari Gubernur Jenderal Belanda, tidak membuat Sultan Azimuddin mati langkah dalam menjalankan politik kemasyarakatannya. Bahkan, ia mencoba mencari peluang diantara tekanan Belanda pasca konteverklaring de tweede II dengan menjalankan misi sosial bagi kepentingan rakyatnya. Sultan Azimuddin dalam masa pemerintahannya tercatat pula beberapa peristiwa penting diantaranya meredam pergolakan di pedalaman dengan cara damai dan usaha pembicaraan mengenai perbatasan dengan pihak Inggris.
Setelah berkuasa selama 10 tahun, akhirnya Sultan ke-7 dalam sejarah Kesultanan Bulungan ini, wafat pada tahun 1899. Selanjutnya tampuk pemerintahan pun di pegang oleh istrinya Putri Sibut (Pengian kusuma) didampingi oleh Datu mansyur hingga tahun 1901. Putri Sibut merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah Kesultanan Bulungan, ia menggantikan posisi sementara suaminya, karena putra tertuanya Datu Belembung belum cukup umur menjadi Sultan. dari hasil perkawinannya dengan Sultan Azimuddin, ia dikaruniai tiga orang anak yaitu: Datu Belembung, Datu Tiras dan Datu Muhammad yang kemudian memberikan warna penting dalam perjalanan sejarah Kesultanan Bulungan.

Sumber:

Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.

Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.

H. Said. Ali Amin Bilfaqih, “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”.

Laporan Penelitian Arkeologi, Penelitian Arsitektur Makam Raja-Raja Di Wilayah Kalimantan Timur II Kabupaten Berau dan Bulungan. Tanggal 02 s/d 15 Agustus 2000.

Arianto, Sugeng. Agustus 2003. “Kerajaan Bulungan 1555-1959”. Malang : Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra UGM.

Monografi Daerah Tingkat II Bulungan diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DITJEN, Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan R.I., Jakarta, 1976.

Wadjidi, 2007.”Nasionalisme Indonesia Di Kalimantan Selatan 1901-1942”. Cetakan Pertama. Banjarmasin : Pustaka Benua.

Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2009.

Rabu, 12 Januari 2011

Arsitektur dan ukiran Suku Bulungan


(Museum Kesultanan Bulungan)

Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong soal budaya Bulungan, khususnya kebudayaan suku bulungan, sebagai pemerhati, walaupun bukan terlahir sebagai laki-laki berdarah suku asli Bulungan, sejujurnya saya khawatir dengan kondisi yang ada pada saat ini, bisa dikatakan kebudayaan bulungan sedang dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, dan tidak menutup kemungkinan dua generasi setelah kita akan masuk dalam "black age" tentang informasi kebudayaan Bulungan, khususnya tentang "arsitektur dasar rumah Bulungan dan ukirannya" ya mungkin ada teman-teman ada yang tidak setuju dengan pendapat saya, tapi kalo kita mencoba berfikir jernih kita akan akan menemukan kekhawatiran yang sama.


(bentuk ukiran Bulungan yang terdapat di rumah tradisional Bulungan, Tanjung Palas)

cukup lama juga saya menjadi pemerhati sejarah dan budaya bulungan, khususnya mengenai rumah tradisional dan ukiran bulungan di Tanjung Palas, sayangnya harus kita akui hanya ada beberapa situs saja yang masih orisinil yang bisa ditemui dan itupun bisa di hitung jari.

Dari beberapa yang ada , beberapa yang menurut saya benar-benar mewakili "wajah" arsitektur Bulungan yang sebenarnya yaitu mesjid Jami' Kasimuddin, Rumah tradisional bulungan yang saat ini ditempati oleh Datuk Krama sekeluarga, dan satu buah rumah yang dulunya digunakan sebagai tempat penyambutan tamu zaman kesultanan tempu dulu, dua yang terakhir ini nasibnya kurang beruntung karena kurang mendapat perhatian serius dari PEMDA Bulungan, padahal dari dua situs akhir ini, punya nilai sejarah yang sangat tinggi.


(ukiran bulungan, karya haji Muhammad Thoib)

Minimal ada usaha untuk mendokumentasikan arsitektur rumah-rumah tersebut, begitu pula situs lainnya, agar anak-anak bulungan memahami keberadaannya sebagai hasil kebudayaan asli bulungan, di banjarmasin, dulunya ikatan arsitek muda KAL-SEL sekitar tahun 70/80-an pernah melakukan penelitian dan berhasil melakukan dokumentasi 8 bentuk rumah adat Banjar seperti, Bubungan Tinggi, Gajah Beliku, Gajah Menyusu,Palimbangan, dll yang kemudian menjadi dasar pemerintah KAL-SEL melakukan ketentuan bahwa "setiap kantor pemerintah Prov dan daerah harus mengacu pada arsitektur adat Banjar", dari hal terkecil ini, dari sebuah buku, karena kecintaan mereka terhadap warisan budayanya yang hampir saja tenggelam, mereka berhasil mempertahankan warisan asli arsitektur banjar, itu bisa dilihat di Kantor Dewan KAL-SEL, Rumah sakit ulin, gedung Suriyansyah dll. pertanyaannya bagaimana dengan bulungan?


(versi lain dari ukiran bulungan, karya Datu Aziz Saleh Mansyur, DASMAN)

Sekedar saran buat pemerintah sekalian anggota dewan, juga temen2, kalo bisa ada semacam ketentuan daerah yang menegaskan bahwa bangunan-bangunan penting pemerintahan untuk mengadopsi arsitektur dan ukiran bulungan, minimal pada wilyah inti budayaan bulungan di Tanjung Palas. paling tidak kita bisa menjaga warisan budaya jangan sampai punah.

oya satu lagi, kalo berbicara tentang arsitektur, kita juga berbicara tentang ukiran bulungan, orang-orang bulungan sejak ratusan tahun lalu sudah mengembangkan model arsitektur yang berbeda dari "sepupu jauh" mereka yaitu orang Kayan, Kenyah dan Tidung. pola dan corak pada ukiran bulungan sangat khas dan orisnil karya ulun Bulungan.

ada yang mengatakan pola ukiran bulungan sangat kental dengan nuansa islam, karena merupakan bagian dari pengembangan ukiran Brunai yang dibawa oleh Datuk Mancang ratusan tahun silam, sayangnya sejauh ini saya belum dapat memastikan 100 % asumsi tersebut

lepas dari itu, saya hanya ingin memberi saran, kawan-kawan khususnya untuk anak-anak bulungan , sejak dinilah penggalian warisan budaya di galakkan jangan sampai hilang dimakan waktu. patut disayangkan jikalau warisan budaya bulungan ya terutama arsitektur dan ukirannya tidak kita kenal, memang tidak mudah apa lagi Maestro ukirnya sudah banyak yang meninggal dan tidak banyak banyak generasi beliau yang melanjutkan, kenapa kita tak mulai dari sekarang, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.