Entri Populer

Sabtu, 26 Februari 2011

Sniper dari hutan yang gelap (misteri penembakan sultan Kasimuddin).



Sultan Kasimuddin yang merupakan Raja kedelapan dari Dinasty Bulungan merupakan salah satu pigur kontroversial dalam sejarah Bulungan, pada masa kepemimpinannya Bulungan dapat dikatakan memasuki masa keemasan dengan kekayaannya yang melimpah dari kilang-kilang minyak dari perut bumi Tarakan, bukannya hanya itu dimasa pemerintahannya pulalah rakyat bulungan mulai mengenal pendidikan, bahkan putranya Sultan sulaimanpun ia siapkan menjadi penerusnya dengan mengenyam pendidikan barat, tanda bahwa ia seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan untuk kesultanan bulungan, dimasa pemerintahannya, ia juga melakukan perubahan dalam administrasi kerajaan pada masa itu.

Namun walau begitu, ada sisi lain dari pemerintahannya yang membuatnya memiliki catatan “buram” khususnya pada masa-masa awal ia berkuasa, yaitu kebijakan pajak yang akhirnya “meletuskan” pergolakan di hampir sepertiga wilayah kesultanan Bulungan akibat bayang-bayang dan campur tangan kolonial Belanda di Bulungan. Sebut saja perlawanan panglima Wan Pai Luhung dari suku bangsa Segai, begitu pula perlawanan Maharaja Pandhita di tanah tidung (disekitar wilayah malinau). Inilah yang nampaknya memicu rentannya keselamatan sultan Kasimuddin.

Hal ini dapat dipahami, sebab pengaturan pajak sebenarnya bukan atas kehendak sultan melainkan dinas perpajakan kolonial belanda alias Commissie Aanslag dengan sistem pemungutan pajak bernama Collectellon yang diawasi oleh Controleur. di Bulungan tempo itu, pajak dikenakan pada tiap-tiap orang f.15 hingga f.25, tiap orang tambah 0,75 uang kemit atau sen untuk kepala-kepala kampung.

Sultan berusaha meredam pergolakan dan protes dengan cara damai, namun bagi pemerintah kolonial Belanda, menyelesaikan masalah tersebut bukan menggunakan "ujung lidah" -(diplomasi dan musyawarah yang sedari dulu menjadi tradisi bagi kesultanan Bulungan untuk menyelesaikan permasalahan)- melainkan "ujung bayonet", Sultan tidak menyetujui cara-cara seperti itu, karena dimasa ayahnya berkuasa, sempat terjadi kesepakatan damai dengan pihak-pihak yang sempat berseberangan dengan sultan tersebut. namun pendapatnya dianggap angin lalu. toh perlawanan itu tidak bertahan lama setelah campur tangan militer Belanda yang dibawah komando Kapten J.Cox, inilah yang nampaknya menjadi benih-benih perlawanan Sultan Kasimuddin kelak terhadap Belanda di Bulungan.

Sultan Bulungan yang kedelapan ini diketahui meninggal pada saat berburu karena tertembak oleh sniper, memang catatan sejarah kasus sniper bukan tidak pernah terjadi, tengok saja pemimpin pasukan belanda jendral kohler yang tewas saat menyerang aceh, ia tertembak oleh sniper yang masih belia asal Aceh di pekarangan mesjid raya aceh, kasus yang sama juga menimpa Mallabi, pimpinan pasukan pendaratan inggris di surabaya juga tewas ditangan sniper yang berasal dari senapan pejuang Surabaya, namun dalam sejarah Bulungan Sultan Kasimuddin diketahui wafat karena tertembak sniper misterius, sebuah peristiwa sejarah yang tak lazim, inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa motif dari pelaku penembakan tersebut? siapa dalang dibalik pembunuhan itu? Dimana tempat kejadiannya? Bagaimana peristiwa itu terjadi? Yang juga penting adalah kapan peristiwa itu terjadi?. Inilah yang membuat kasus tersebut menjadi warisan abadi dari sejarah Bulungan.

Selain itu sebuah fakta yang menarik adalah dalam kajian arkeologis yang dilakukan terhadap makam raja-raja bulungan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin sekitar tahun 2000-an, didapati fakta yang cukup mengejutkan penulis, pada nisan Sultan Kasimuddin, tidak ditemukan inkripsi yang memuat tanggal wafatnya beliau, sedang pada nisan Sultan bulungan sebelum beliau ditemukan nisan-nisan tersebut rata-rata memiliki inkripsi yang menunjukan tanggal wafatnya, begitu pula pada makam pemimpin setelah beliau, juga ditemukan inkripsi yang memuat informasi tanggal wafatnya. Inilah yang menyulitkan para peneliti untuk mengetahui kapan persisnya waktu meninggalnya sultan Kasimuddin.

Sebuah informasi berharga penulis dapatkan dari koleksi foto KITLV tentang Sultan Kasimuddin dari katalog yang uraiannya mayoritas ditulis oleh J.H. Maronier dengan Kode Gambar 34446 dan diperkirakan diambil pada tahun 1920-an, memberikan informasi tentang Sultan Kasimuddin.



“Maulana Sulthan Mohamad Kasimoedin, sultan van Boeloengan op Borneo vanaf januari 1903 tot aan zijn dood in oktober 1924.” Terjemahnya, Maulana Sulthan Muhammad Kasimuddin, Sultan Bulungan di pulau kalimantan (bertahta) sejak Januari 1903 dan dia meninggal pada Oktober 1924.

Dari keterangan yang diperoleh dari catatan Foto Sultan Kasimuddin bahwa beliau bertahta pada tahun 1903 dan wafat pada Oktober 1924, maka kita ketahui bahwa kejadian tersebut terjadi pada Oktober 1924, namun kita tetap mencari bahan bandingan terhadap informasi tersebut, lalu apa pula motif dari penembakan ini? agak sulit memang untuk mencari motif dari pelaku, sejauh ini penulis belum mampu mengunggap apa motif pasti dari pelaku tersebut, begitu pula dalang dibalik peristiwa itu, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan sniper tersebut adalah pelaku tunggal. Dan yang lebih disayangkan lagi tidak banyak memang catatan yang dapat kita manfaatkan karena minimnya sumber informasi.

Peristiwa yang menimpa Sultan Kasimuddin nampaknya bukan sesuatu yang mudah untuk “diketahui” untuk umum, terbukti dari adanya kesan yang nampaknya sengaja tidak memberi ruang informasi pada publik, hal itu dapat dilihat dari tidaknya adanya keterangan pada makam beliau, dan almarhumpun menutup kejadian tersebut untuk tidak diketahui oleh rakyatnya sampai akhirnya beliau menutup mata. Sejauh ini kita hanya bisa mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi di sekitar bulan Oktober 1924.

Jika dilihat dari kepemilikan senjata, tentunya pikiran kita baik secara langsung maupun tidak akan berfikir pemerintah belanda mungkin berada di balik kejadian tersebut terkait tentang kilang-kilang minyak di Tarakan yang memang memberikan pendapatan besar bagi Bulungan dan Belanda, seperti yang di klaim dalam sejarah bulungan, sultan kasimuddin pernah memutuskan kebijakan yang mulai menghapus sistem upeti, karena Sultan berpendapat bahwa uang bagi hasil dari produksi minyak di Pulau Tarakan untuk Belanda sudah lebih dari cukup, pastilah membuat marah di pihak Belanda, kejengkelan Belanda kian memuncak, karena Sultan menghilangkan tradisi Kesultanan Bulungan menjemput tamu Belanda sebelum merapat di depan istana Sultan.

Sultan Kasimudddin juga menggiatkan pengajaran agama islam dan memperbesar wewenang Qadi, bahkan sebelum ia meninggal, sultan sempat mengunjungi negeri, Belanda tahun 1923, menariknya walaupun Sultan menampakkan perlawanan terhadap pihak kolonial, namun pihak belanda tidak satupun yang meminta sultan mencabut atau meminta maaf atas sikapnya, ini menandakan bahwa beliau sangat diperhitungkan oleh pihak kolonial, pengalaman pahit dimasa awal ia berkuasa nampaknya semakin berpengaruh besar terhadap sikapnya untuk menentang kolonial belanda di bulungan.

Nampaknya memang logis, pendapat tersebut sejauh ini memang dipegang dan diyakini oleh beberapa pengkaji sejarah yang mengkaji sejarah kesultanan Bulungan khususnya pada masa Sultan kasimuddin, bahwa kolonial belanda terlibat penuh dalam konspirasi tersebut, sebagaimana yang pernah mereka lakukan terhadap Sultan Datuk Alam Muhammad Adil. namun kajian sejarahpun tidak menutup kemungkinan "terbuka" dalam hal pandangan-pandangan ataupun fakta-fakta baru tentang peristiwa tersebut, sejauh dapat dipertanggung jawabkan.

sumber:

Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.

Laporan Penelitian Arkeologi, Penelitian Arsitektur Makam Raja-Raja Di Wilayah Kalimantan Timur II Kabupaten Berau dan Bulungan. Tanggal 02 s/d 15 Agustus 2000.

Arianto, Sugeng. Agustus 2003. “Kerajaan Bulungan 1555-1959”. Malang : Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra UGM.

Monografi Daerah Tingkat II Bulungan diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DITJEN, Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan R.I., Jakarta, 1976.

Wadjidi, 2007.”Nasionalisme Indonesia Di Kalimantan Selatan 1901-1942”. Cetakan Pertama. Banjarmasin : Pustaka Benua.

Senin, 14 Februari 2011

Koleksi Unik dan Menarik Museum Kesultanan Bulungan.


Berbicara mengenai sejarah dan budaya Bulungan, kita tentunya tidak bisa melewatkan begitu saja mengenai koleksi-koleksi sejarah dan budaya Bulungan yang tak ternilai harganya itu yang saat ini disimpan dengan baik di Museum Kesultanan Bulungan, museum ini di bangun sekitar tahun 1999, dengan desain arsitektur yang mengacu pada model keraton kesultanan Bulungan dengan skala yang lebih mini.

Banyak hal yang unik dan menarik, seakan terlewat begitu saja disekitar kita, tak terkecuali jika kita berkunjung ke museum Kesultanan Bulungan atau yang lebih dikenal dengan nama museum Bulungan, namun percaya atau tidak museum kebanggan masyarakat Bulungan ini menyimpan koleksi yang “tak biasa” yang mungkin agak sulit ditemukan pada tempat sejenis.

Saya akan membawa anda berkelana untuk menyaksikan sebagian keunikan benda-benda tinggalan sejarah Bulungan yang mungkin akan jarang anda temukan di tempat lain, mudah-mudahan ini akan merubah sedikit persepsi anda mengenai museum Bulungan ini. inilah persembahan dari Bulungan untuk dunia! ...

1. Sikat gigi paling mahal di Bulungan.


Kalau saya ditanya, apa saja koleksi bulungan yang unik dan “tak biasa” , saya akan memulainya dengan koleksi sikat gigi paling mahal dan bersejarah dari Bulungan, anda boleh percaya atau tidak jauh sebelum produk sikat gigi menjadi bagian dalam kehidupan moderan masyarakat Bulungan, benda bernama sikat gigi itu sudah dikenal di lingkungan istana bulungan.

Salah satunya adalah koleksi yang diperkirakan milik Sultan Bulungan yang terakhir, sikat gigi ini menjadi istimewa karena bentuknya yang “tak biasa” terdiri dari bulu sikat yang lembut dipadukan dengan kemewahan gagang yang sepenuhnya terdiri dari besi putih atau mungkin perak murni, tersimpan dengan rapi dalam kotaknya yang berwarna putih. sayangnya belum tau pasta gigi seperti apa yang digunakan saat itu ^_^ .

2. Delphin Filter.


Jika melihat koleksi unik yang satu ini, saya jadi teringat dengan galon air mineral isi ulang, ya Delphil Filter adalah semacam galon isi ulang tempo dulu, tapi tentu saja dengan tambahan kemewahan yang menawan karena dilapis dengan keramik mahal bermutu tinggi. sayangnya koleksi ini mungkin hanya satu-satunya yang dapat diselamatkan di museum kesultanan Bulungan ini.





3. Meja yang berkilau dari Bulungan.


Sekilas, koleksi ini tampaknya hanya meja kayu kuno yang biasa-biasa saja, itu kalau anda tidak memperhatikannya dengan seksama, tapi tau kah anda bahwa meja kuno yang tampak tidak menarik ini sebenarnya dibuat dari lapisana potongan-potongan mutiara murni yang terbaik dikelasnya, secara artistik di sematkan sesuai pola-pola ukiran meja sehingga menambah keindahan meja kuno ini.

Salah satu keistimewaan meja kuno yang berkilau ini adalah, meja ini sebenarnya tidak terdiri dari satu potongan, melainkan dari dua potongan meja yang disambung dan dilepas sesuai kebutuhan. itu sebabnya meja kuno ini tampak dari jauh terdiri dari empat kaki, walau sebenarnya kalau anda jeli, anda pasti kan tau kalau meja ini terdiri dari delapan kaki yang saling disambungkan.

4. Piring termahal dari Bulungan.


Sewaktu kecil saya pernah mendengan sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang sangat kaya sampai-sampai saat sang raja menjamu para tamunya, ia menggunakan piring, sendok dan gelas yang terbuat dari emas, dan setelah selesai jamuan sang raja memerintahkan untuk membuang semua perabot makan di kolam dibelakang istananya seolah memperlihatkan pada tamunya bagaimana kekayaan dan kebesaran yang dimiliki kerajaannya.

Saya menyadari hal tersebut bukan hanya sekedar dongeng belaka, percaya atau tidak dimasa jayanya Kesultanan Bulungan menjamu para tamunya dengan piring mewah yang uniknya, pada bingkai piring itu dibuat dari sepuhan emas murni, beberapa koleksi Bulungan yang dapat diselamatkan dapat kita saksikan sampai hari ini, mungkin di museum ini, saya menemukan sebuah piring yang setara dengan potongan emas.

inilah sebagaian dari koleksi-koleksi unik dan menarik dari museum kesultanan Bulungan yang bisa kita saksikan hari ini, semoga kita bisa lebih menjaga dan menghargai sejarah dan budaya yang telah ditorehkan para pendahulu kita. Sampai jumpa ^_^ .

Foto:
Koleksi Museum Kesultanan Bulungan.

Diplomasi dan dukungan Kesultanan Bulungan terhadap R. I.


(Peristiwa Penggerekan bendera sangsaka merah putih di halaman istana Bulongan)

Ada pepatah kuno mengatakan “lepas dari mulut singa jatuh kemulut buaya”, seperti itulah gambaran yang dialami oleh Kesultanan Bulungan sesudah tentara Australia menghancurkan Jepang di Tarakan dalam operasi Oboe One, Belanda berusaha mendapatkan kembali pengaruhnya dikawasan Kesultanan Bulungan, terutama karena hal ini berhubungan dengan kilang-kilang minyak di pulau Tarakan. Setelah Jepang menyerah pada sekutu dan meninggalkan Bulungan, bala tentara Nederland Indie Civil Adminitration (NICA) amembonceng sekutu menguasai kesultanan Bulungan dengan persenjataan lengkap. Sebelumnya di Tarakan, terjadi penyerahan kekuasaan dari Australia ke pihak Belanda yaitu kepada Commandeerrend Officier Vnd, J. D. Emeis Gress Major inf., menjadi penguasa baru di Tarakan sebagai perwakilan resmi Kerajaan Belanda. Pada masa-masa genting seperti inilah kepemimpinan “Dua Serangkai” Sultan Djalaluddin dan Datuk Bendahara Paduka Raja serta tokoh-tokoh lain yang pro Republik sangat cemerlang melihat peluang untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang memang sudah sangat lama tidak disukai oleh rakyat kesultanan Bulungan, uniknya dalam perlawanan ini politik diplomasi menjadi ciri khas dan begitu mendominasi dalam sejarah perlawanan Kesultanan Bulungan terhadap pemerintah Kolonial Belanda, ini tidak hanya terjadi menjelang masa kemerdekaan namun juga jauh sebelumnya, setidaknya sebelum Sultan Djalaluddin, kedua Sultan terdahulu Sultan Datu Alam Muhammad Adil dan Sultan Kasimuddin telah melakukannya, ini membuktikan bahwa perlawanan rakyat Kesultanan Bulungan terhadap Belanda sebenarnya tidak pernah terhenti.

Bukanlah hal yang mudah untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda pada masa itu, Sultan melakukan politik diplomasi yang begitu licin sehingga bukan hanya Belanda saja yang tertipu namun pemerintah Indonesia juga sempat tidak menyadari bahwa saat itu Kesultanan Bulungan dan rakyatnya berada di pihak Republik, ini disebabkan Sultan pada masa tersebut pernah mendapat anugrah gelar kehormatan berupa Letnan Kolonel Tituler (Letkol Kehormatan) dari Ratu Wihelmina (1890-1948) yang kemudian di tindak lanjuti dengan upacara Birau selama 40 hari 40 malam pada tahun 1947. Beliau mengambil jalan diplomasi untuk menghindari korban dari pihak sipil, itulah sebabnya beliau menerima “separuh hati” penggabungan Kesultanan Bulungan dalam “Dewan Kesultanan” yang berintikan Kesultanan Kutai, Berau (Gunung Tabur dan Sambaliung), Swpraja Gaya Baru (Nieuw Stijk Zelfs Bestuur) Pasir, dan Kesultanan Bulungan. Dewan Kesultanan sendiri diketuai oleh Sultan Kutai yang bernama Sultan Adji Mohammad Parikesit.

Dewan Kesultanan merupakan perwujudan dari suatu daerah yang oleh belanda diberi status satuan ketatanegaraan yang berdiri sendiri. Dalam melaksanakan pekerjaan pemerintahan sehari-hari, dewan kesultanan membentuk sebuah Bestuurs –college yang merupakan majelis pemerintahan yang diketui oleh A. P. sosronegoro, kemudian di ganti A.R. Afloes. Selain itu dibentuk pula sebuah badan perwakilan yang diberi nama Dewan Kalimantan Timur. sebagai ketua mula-mula di tunjuk M.D Saad, seorang hoofdcommies di kantor residen. Residen Van Oost-Borneo bertindak sebagai penasihat. Federasi kalimantan timur dan dewan kalimantan timur dilantik oleh Gubernur jendral H. J Van Mook bulan september 1947. H. J Van Mook sendiri marupakan penggagas dari federasi Dewan Kesultanan tersebut, sebagai upaya menciptakan negara-negara boneka yang berada dibawah pengaruh pemerintah Kolonial Belanda.

Tanpa diketahui oleh pihak Belanda, Sultan ternyata sangat aktif menggalang dukungan terhadap Republik melalui serangkaian pertemuan secara rahasia yang dilakukan oleh utusan beliau Datuk Bendahara Paduka Raja kepada Sultan Gunung Tabur dan Sultan Sambaliung untuk mendukung penuh republik Indonesia bersama rakyat Kesultanan Bulungan, lebih jauh dukungan secara terbuka diberikan oleh Kesultanan Bulungan terhadap Sutan Syahrir yang kala itu menjadi “Duta keliling” Republik Indonesia untuk menggalang dukungan menghadapi agresi Belanda terhadap Indonesia yang baru saja berdiri menjadi sebuah negara, Sultan juga terkesan membiarkan bahkan melindungi kader-kader partai pro Republik yang bergerak melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah Belanda, keberadaan Partai Ikatan Nasional Indonesia (INI) di Bulungan adalah contoh nyata keberpihakan Kesultanan Bulungan terhadap Republik.


(Pertemuan jang di gagas Datuk Bendahara Paduka Radja dengan dua Sultan dari Berau)


Perjuangan lewat Jalur politik melawan Belanda di Bulungan pada saat itu juga tidak lepas dari peran partai politik Ikatan Nasional Indonesia ( INI) yang berdiri di Balikpapan pada tanggal 5 Juni 1946 dengan Aminudin Nata sebagai Ketua Umumnya dan Mas Sarman sebagai Wakil Ketua, sedangkan Sekretariat di Pegang oleh A.B.S Muhammad (seorang Bestuurs-ambtenaar) dan Husein. Pengurus lainnya terdiri dari S. Mewakang Nata bidang Pertanian dan M. Junus sebagai Bendahara. Dalam Dewan Partai duduk antara lain Tajib Kesuma, Moedjio dan Abdul Samad. Sejak itu dengan cepat berdiri Cabang-cabang INI di luar Balikpapan seperti di Kota Bangun (A.B.M. Joesoef), Tenggarong (A.B. Djapri), Tanjung Redeb (M. Joesoef) dan untuk wilayah Bulungan (Tarakan) dibawah kendali Rasjid (Abdur Rasjid). Kemudian atas prakarsa Moeis Hassan bentuklah cabang INI di Samarinda tanggal 3 Desember 1946, menyusul kota lainnya seperti Sanga-sanga, Anggana, Samboja, Tanjung Selor, Sangkulirang dan beberapa tempat di pedalaman Kutai.

Pada konfrensinya yang pertama tanggal 31 Mei 1947 di Balikpapan yang dihadiri oleh sebagian cabang-cabangnya, INI dengan tegas menolak pembentukan Negara Kalimantan dan menyatakan bahwa dalam menentukan nasib rakyat Kalimantan, wakil-wakil rakyat harus diikutsertakan. Selain itu konfrensi juga menuntut dibebaskannya tahanan politik diseluruh Kalimantan Timur. dan pada konfrensinya yang kedua bulan April 1948 bertepat di Gedung Nasional di kota Samarinda menegaskan ulang sikap mereka yang tidak akan bekerja sama dengan Belanda. Delegasi dari Bulungan di hadiri oleh Rasjid (Abdur Rasjid). Beliau inilah yang kemudian berjasa menggalang kekuatan rakyat Bulungan dilapisan bawah untuk menentang Belanda lewat jalur politik.
Karena itu bukan hal yang tidak mungkin hubungan rahasia antara Sultan Djalaluddin dan Datuk Paduka Raja dengan kelompok pro Republik seperti partai Ikatan Nasional Indonesia atau INI yang menjadi penghubung kaum Republiken untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda sudah lama terjalin. Indiksi ini terlihat dari pembagian tugas yang rapi dimana ditingkat elit, Sultan Djalaluddin dan Datuk Paduka Radja berhasil melakukan lobi politik pada penguasa Kesultanan Sembaliung dan Gunung Tabur untuk mendukung sepenuhnya Republik Indonesia, sedang dilapisan bawah, Abdur Rasjid dan kelompoknya yang tergabung dalam Dewan Rakjat Kesultanan Bulongan melakukan lobi politik untuk meyakini rakyat bergabung sepenuhnya dibelakang Republik, kelak pertemuan tokoh-tokoh politik dan negarawan ini dalam upacara penaikan bendera merah putih di halaman istana Kesultanan Bulungan pada 17 Agustus 1949, menjadi semacam bukti yang nampaknya meyakinkan bahwa tokoh-tokoh yang terkesan saling berbeda pandang itu ternyata rekan satu seperjuangan yang akhirnya mengantarkan Belanda keluar dari Bulungan.
Berita kemerdekaan Indonesia disambut antusias oleh Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan, perasaan haru dan gembira tumpah ruah saat sangsaka merah putih dikibarkan dihalaman istana Kesultanan Bulungan. peristiwa penting ini terjadi pada tanggal 17 Agustus 1949. Sebelumnya pada malam tanggal 16 agustus tersebut, Sultan dan Datuk Bendahara Paduka Raja langsung melakukan pemeriksaan pada tiang Bendera yang akan digunakan pada acara pengibaran sangsaka merahputih pada esok harinya, Sultan khawatir kalau ada aksi sabotase dari pihak-pihak yang ingin mengacaukan acara tersebut. Tiang bendera yang menjadi bukti dan simbol kesetiaan rakyat Bulungan pada republik Indonesia masih berdiri kokoh sampai hari ini. Sedangkan bendera merah putih yang dikibarkan merupakan bendera yang diberikan oleh Kumatsu petinggi Jepang yang juga mengabarkan kepada Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan bahwa Bangsa Indonesia sudah merdeka dan memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945.

Pada tanggal 17 Agustus 1949, pukul 07.00 WITA, Sultan Muhammad Djalaluddin sendirilah yang memimpin upacara penggerekan Bendera merah-putih pertama kalinya di halaman istana kerajaan. Bertindak sebagai penaik bendera merah putih pada saat itu adalah Pejabat Kiai (Asisten Wedana) di Tanjung Palas, P. J. Pelupessi, sahabat Sultan Djalaluddin. Sebagai tamu undangan turut juga hadir Controleur NICA di Tanjung Selor yaitu J.H.D. Linhoud.


(Rasjid berpose bersama anggota INI di Samarinda)

Dalam kesempatan yang sama, ketua Dewan Rakyat Kesultanan Bulungan yakni Abdur Rasjid yang mewakili seluruh Rakyat kesultanan Bulungan menyampaikan pidato selamat pada hari keramat tanggal 17 agustus 1949. sayangnya, teks pidato Abdurasjid itu nampaknya tidak dapat lagi ditemukan, kemungkinan besar sudah hilang atau hancur dimakan usia. Pengibaran bendera Merah-Putih di depan Istana Sultan di kawal oleh puluhan tentara-tentara KNIL dan polisi NICA yang bermarkas di Tanjung Selor, mereka diangkut ke Tanjung Palas menggunakan kapal-kapal resmi milik Belanda yang dikenal dengan sebutan kapal “BEATRIX”. Pada tanggal 27 Desember 1949 pihak Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sikap Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan menjadi bukti kecintaan mereka terhadap Republik Indonesia, yang menarik peristiwa ini terjadi justru setahun sebelum Dewan Kesultanan di bubarkan secara resmi pada 19 maret 1950, itu artinya jauh sebelumnya Dewan Kesultanan sebenarnya sudah tidak lagi memiliki pengaruh di Bulungan.

Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan baik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).


(Ketua Dewan Rakjat Kesultanan Bulongan Jakni Abdur Rasjid menjampaikan pidato utjapan selamat pada hari keramat tanggal 17 agustus 1949 atas nama rakjat seluruh wilajah Keradjaan Bulongan).

Di kota Tarakan, terjadi juga penyerahan kekuasaan dari NICA yang yang waktu itu di pegang oleh Commandeerend Officer Vnd, J. D. Emeis Gress Majoor Inf., kepada Wedana Tarakan Haji Abdoellah Gelar Aji Amarsetia. Tarakan pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kesultanan Bulungan yang memutuskan bergabung dengan Republik Indonesia. Bung Hatta selaku Wakil Presiden Republik Indonesia saat berkunjung Tarakan tahun 1950 menyatakan penghargaannya atas perjuangan rakyat Kesultanan Bulungan. Dari delegasi Republik Indonesia, kunjungan diwakili oleh Residen Madju Urang dari Samarinda melakukan kunjungan ke Istana Kesultanan Bulungan, Darul Aman pada tahun tersebut.

Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama hingga akhir hayatnya tahun 1958.

Daftar Pustaka:

Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006.

“Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya MandiriDali, H Yusuf. 1995.

“Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.