Entri Populer

Rabu, 12 Oktober 2011

Hikayat Naga Dalam Cerita Lisan Orang Tidung dan Bulungan.


(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung)

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Naga di Kalimantan, tentu saja Naga yang dimaksud bukan seperti dalam penggambaran budaya timur khususnya dalam budaya Tionghoa, Naga dikalimantan lebih digambarkan sebagai ular raksasa terkadang dengan hiasan dikepala tanpa kaki dan tentu saja tanpa misai.

Kisah mengenai Naga di Kalimantan rupanya juga sempat membuat kepicut sutradara Hollywood dengan menampilkan ular besar Kalimantan dalam filmnya “Anacondas the Hunt For the Blood Orchid”, setidaknya seperti itulah spirit yang diangkat dalam film tersebut. Kita pun pernah dikejutkan dengan beredarnya foto-foto mengenai ular besar di kalimantan, walaupun beberapa darinya dianggap Hoax alias tak nyata.

Namun demikian, kisah ular-ular besar itu bukan tak pernah ada, sebuah fosil yang ditemukan di kawasan hutan hujan Kolumbia -yang penggambaran wilayahnya kurang lebih sama dengan hutan hujan kalimantan- memunculkan dugaan kuat bahwa hewan yang menjadi legenda itu memang pernah ada.

Titanoboa Cerrejonensis, begitulah para ilmuan menyebutnya, tak main-main Panjangnya mencapai 12,8 hingga hampir 14 meter, dan berbobot 1,25 ton. Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global.

Menurut para ahli baik dari American Museum of Natural History di New York dan University of Toronto Missisauga, monster melata itu di masa lalu mungkin saja melahap dan mengunyah buaya di hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60 juta tahun lalu.


(Titanoboa, ular raksasa yang menjadi legenda)

Lalu bagaimana cerita mengenai kisah ular-ular raksasa itu dalam hikayat lisan yang ada dimasyarakat Kalimantan, khususnya dalam masyarakat Tidung dan Bulungan? Saya mencoba untuk menelusuri cerita-cerita lisan yang berkisah mengenai hewan legendaris bahkan dianggap mahluk mitologi itu.

Hikayat Naga Dalam Lindungan Kabut.


Naga hidup dalam alam pikiran dan kisah-kisah lama yang tak lengkang dipukul waktu, namun kisah itu layaknya kabut tebal yang terkadang memang tak mampu dijangkau oleh logika kita.

Sejak kecil saya sudah sering mendengar kisah-kisah penampakan mahluk legendaris itu, cerita-cerita mengenai keberadaan mereka tak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Semakin jauh mereka dari manusia semakin kental keberadaan mereka baik dalam alam pikiran maupun masuk dalam relung-relung budaya.

Naga dalam cerita lisan pada masyarakat Tidung dan Bulungan bervariasi bentuknya, sebagian masyarakat ada yang percaya mereka merupakan mahluk supranatural yang mampu berkomunikasi dengan manusia-manusia yang memiliki kemampuan khusus tertentu. Bahkan ada pula sebagian yang percaya mereka dapat berubah bentuk menyerupai manusia di alam mereka, tentu jika tingkatan ilmunya sudah pada tahap sempurna.

Naga-Naga ini digambarkan hidup tak jauh dari sungai, konon ada yang bercerita bahwa pernah ada seekor Naga menjadi penunggu didasar sungai Buaya, maklum waktu itu kawasan sungai Buaya tak seramai sekarang, mereka yang matanya “Tembus”, -istilah masyarakat tempatan pada orang yang mampu berkomunikasi dan melihat wujud mahluk halus-, mengatakan bahwa mata sang Naga, lebarnya kurang lebih sebesar piring makan, saking besarnya si penunggu sungai tersebut. Cerita lain menyebutkan bila terjadi hujan di kawasan hulu, namun kawasan Tanjung selor dan sekitarnya baru banjir sekitar tiga hari kemudian, itu pertanda bahwa Naga-Naga yang tak kasat mata itu menahan arus air selama tiga hari tiga malam.


(Titanoboa salah satu ular terbesar yang pernah hidup di bumi)

Namun ada pula kisah lain yang menceritakan dan percaya bahwa Ular Naga itu memang pernah ada, mereka bukan sekedar mahluk supranatural, tapi berawal dari seekor ular, -khususnya sejenis ular Tedung, Sawa, Phiton atau Boa-, yang konon bertapa untuk mendapatkan mestika yang tumbuh disekitar kepala mereka, hewan-hewan ini bertapa atau tidur untuk membesarkan badannya, melahap apa yang ada disekitar mereka atau yang lewat dihadapan mereka. Dikisahkan pula tak jarang mereka melilitkan tubuhnya pada sebatang pohon yang besar dan rimbun di dalam hutan untuk bertapa. Untuk menjadi seekor Naga tidak hanya harus membesarkan badan, namun juga harus mampu bertahan hidup menghadapai ujian akhir, yaitu menangkap batu petir, yaitu sebuah batu yang dipercaya muncul saat petir menyambar pepohonan besar didalam hutan, jika tubuhnya kuat, ia akan hidup namun sebaliknya, hikayat Naga itu hanya sampai disitu.

Dalam budaya Tidung khususnya, Naga digambarkan cukup kental merembes dalam budaya mereka, gambaran itu dimanifestasi dalam bentuk seni ukir. Menariknya setidaknya Naga digambarkan dalam dua bentuk, bentuk pertama dua ekor Naga yang kepalanya berpaling, dalam bentuk ini gambaran mengenai Naga tersebut lebih berbentuk simbolik dengan sisik-sisiknya, sedangkan bentuk kedua yaitu dua buah Naga yang saling berhadapan memperlihatkan wujud Naga berupa ular besar yang saling bersentuhan.

Dimasa lampau, pelaut-pelaut Tidung, konon mengukir Naga pada lambung-lambung kapal mereka, terkadang diukir penuh dari kepala hingga ekor, sebagai bentuk kebersamaan mereka dengan mahluk legendaris itu tapi juga dimaksud untuk menolak maksud-maksud jahat dari mahluk lainnya dilautan.

Naga Dalam kisah Lama Para Penebang Kayu.


Setidaknya kisah-kisah penampakan mahluk legendaris terdengar di medio tahun 1970 hingga 1980-an, cerita mengenai keberadaan nyata mereka didengungkan oleh sebagian kecil para penebang kayu. Maklum saja itu masa-masa awal penebangan kayu dan pembukaan hutan oleh perusahaan. Kisah mengenai ular-ular besar dihutan-hutan Bulungan memang kerap saya dengar semasa kecil dulu, khususnya dari kakek saya, almarhum Djamaloeddin Bin Haroen.

Kakek dimasa itu sempat bekerja menjadi sopir damtruk yang mengangkut pekerja atau tim survai lapangan di perusahaan kayu, -sebelum pindah dari BPM (Batafche Petroleum Mastchapic) di Tarakan-, khususnya yang beroperasi disekitar hutan diantara kawasan Bulungan dan Tanah Tidung, kakek bercerita bahwa hutan-hutan itu memiliki nuansa mistik yang kental, bukan hanya penuh dengan mahluk-mahluk aneh tapi juga kisah-kisah seram termasuk mengenai keberadaan ular-ular yang memiliki ukuran yang besar.


(Foto seekor Naga atau Nabau dalam sebutan masyarakat Sungai Kajang di daerah Serawak, legenda mengenai keberadaan mahluk seperti ini juga ada dalam cerita-cerita lisan masyarakat khususnya dikalangan orang Tidung dan Bulungan).

Kisah-kisah mengenai ular-ular besar itu umumnya dianggap tabu untuk dikisahkan secara terbuka, khususnya para penebang kayu seangkatan kakek yang pernah mengalami kejadian bertemu dengan mahluk tersebut. Para penebang memiliki perasaan yang sungkan untuk mengisahkan keberadaan Naga-Naga tersebut karena mereka percaya mahluk itu dapat merasakannya, ular-ular besar itu dipercaya membalasnya dengan menyergap para penebang dengan bersembunyi dibalik kerimbunan hutan maupun pinggir kawasan sungai dalam.

Banyak dari mereka tidak ingin berurusan dengan mahluk tersebut, kakek bahkan tidak menyebut nama “ular” namun menggunakan perumpamaan seperti istilah “benda itu” atau “barang itu” bahkan kadang menyebutnya dengan istilah “akar atau pendeng”, sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa sungkan terhadap keberadaan mahluk tersebut.

Dalam kehidupan sebagian kecil orang di Bulungan memang ada yang tabu menyebut nama hewan-hewan tertentu dengan nama aslinya, mereka senang menyebutnya dengan perumpamaan seperti istilah “akar atau pendeng” untuk ular, “putri” untuk sebutan tikus dan “nenek atau datuk” untuk menyebut buaya.

Umumnya ada kepercayaan lama dikalangan orang-orang Bulungan tentang tanda-tanda alam, bila bertemu dengan seekor ular saat melakukan perjalanan, disarankan untuk mengubah haluan karena dianggap membawa hal yang kurang baik, para penebang kayu dimasa itu memiliki kepercayaan biasanya orang-orang yang kepuhunanlah yang bisa bertemu dengan mahluk tersebut, tentu saja bertemuan seperti itu bukan pertanda yang bagus.

Beberapa kisah penampakan mengenai keberadaan ular Naga tersebut menjadi kisah tersendiri dikalangan mereka yang sebenarnya enggan untuk dikisahkan, misalnya tentang sebatang pohon tumbang yang berukuran sangat besar secara tak sengaja diduduki oleh salah seorang penebang, bentuknya seperti batang kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi lumut, iseng-iseng salah seorang dari mereka menancapkan parang, mereka terkejut bukan buatan karena dari batang kayu tua berlumut itu, tersembur darah segar, tak banyak pikir para penebang lari pontang-panting dibuatnya.

Kakek pernah bercerita saat ia dan para penebang kayu melintas jalan hutan atau jalan loging, butuh waktu cukup lama untuk memberi jalan seekor ular besar yang sedang melintas, keadaannya jadi serba salah, walaupun truk yang mereka gunakan cukup besar, namun tidak akan cukup kuat untuk mengusik seekor ular dengan tubuh dua atau tiga kali dari ukuran normalnya, kalau sudah begini lebih baik biarkan saja benda itu lewat. Menurut kakek nasib mereka cukup mujur kala itu sebab mereka tidak berpapasan langsung dengan kepala ular besar tersebut.


(Bentuk Ukiran lain tentang naga yang secara simbolik digambarkan pada sisik-sisiknya)

Kisah lain yang juga menarik adalah, pada suatu hari tim survai lapangan sedang melakukan pemetaan dan pengukuran kawasan hutan yang akan di tebang, mereka menemukan sebatang pokok kayu aneh yang berdiri, disekitar pokok tersebut ada kayu-kayu yang bertumbangan, bau yang kurang nyaman terasa dibawa angin, kebetulan tak jauh di depan terdapat semacam gundukan yang menyerupai sebuah bukit kecil, beberapa orang sempat naik keatas gundukan bukit yang nampaknya ditumbuhi lumut itu, namun setelah diamati dengan baik, rupanya seekor ular Sawa berbadan besar sedang bertapa, mau tak mau survai lapangan hari itu langsung dihentikan, dari kejauhan terlihat batang pohon tersebut bergoyang seperti dihisap angin, nampaknya ia hidup dengan cara menghisap apa dan siapa saja yang lewat dihadapannya. Konon begitu pohon tunggal itu mampu tercabut dari tempatnya, itu artinya sang Naga telah siap untuk turun ke Sungai.

Banyak kisah-kisah tak lazim mengenai Sang Naga yang hanya diketahui sebagian orang, Selain itu penampakan yang tak banyak tersebut makin menambah mitos dan legenda yang menyelubunginya.

Terpulang lagi bagaimana cara kita menanggapi cerita-cerita lisan yang beredar dimasyarakat kita mengenai hikayat Sang Naga. Apapun itu tulisan ini hanya dimaksud untuk menambah penghargaan kita terhadap alam disekitar, bahwa dihutan yang lebat itu, tersimpan banyak rahasia-rahasia alam yang patut kita jaga dan kita hargai, sekaligus memotret pandangan masyarakat setempat mengenai hikayat Sang Naga yang bersembunyi diantara kabut tebal mitos dan legenda. (dihimpun dari berbagai sumber).

Daftar Pustaka:

27574-fosil_ular_terbesar_di_dunia.htm.

http://andiherman.wordpress.com/2009/02/21/ular-naga-raksasa-kalimantan-sepanjang-33-meter/

http://internasional.kompas.com/read/2009/02/21/05450289/Heboh.Ular.Raksasa.Kalimantan.Sepanjang.33.Meter

Memanen Sejarah Sarang Burung Walet Di Bulungan.


(Desain bubungan istana Bulungan yang unik ternyata menyimpan rahasianya tersendiri, satu lagi master piece Bulungan yang patut di kenang).

Siapa yang tak kenal sarang burung walet, di Bulungan sudah bejibun rumah-rumah walet di buat, maklum selain soal rasa, harga sarang burung walet memang menggiurkan, namun tahu kah kawan, dibalik cita rasanya sebagai barang mewah, ia juga punya sejarah panjang di Bulungan yang layak untuk kita dipanen.

Sekilas Sejarah Sarang Burung Walet Dalam Perdagangan Dunia.


Sarang burung walet, bukan barang baru dalam sejarah perdagangan dunia, bila merujuk catatan sejarah, sarang burung walet menjadi barang yang diperdagangkan dimasa Dinasty Tang (618-907 SM), iapun masuk dalam daftar menu wajib di istana.

Kemudian pada masa Dinasty Ming di tahun 1430, Zeng He alias Cheng Ho dikirim dalam sebuah muhibah resmi keberbagai negera melakukan misi diplomatik dan perdagangan, salah satu komuditi yang diperdagangkan adalah sarang burung walet.

“Berdasarkan catatan sekitar tahun 1587, China mengimpor sarang walet dalam jumlah besar dan mengenakan bea impor. Pada 1618, jumlahnya meningkat pesat karena adanya pengurangan bea impor yang diberikan kaisar dari Dinasti Ming. Pada waktu itu, sarang walet diterima dengan baik sebagai makanan berharga oleh penduduk Provinsi Guangdong dan Fujian,” tulis www.birdnestsoups.com

Jejak rekam sarang burung walet sendiri makin bersinar dengan adanya dua karya pengobatan yang mengharumkan namanya, dimasa Dinasti Qing akhir abad ke-17, karya tersebut tak lain adalah: Ben Cao Bei Yao (Catatan-catatan Penting tentang Bahan Obat-obatan) karya Wang pada 1694 dan Ben Cao Feng Yuan (Bahan Obat-obatan di Alam Terbuka) karya Zhang pada 1695. Orang China percaya sarang burung walet punya daya penyembuh untuk beragam penyakit seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Ia juga dianggap mampu meremajakan kulit atau memperlambat proses penuaan. Inilah sebabnya Sarang burung walet menjadi mahal karena khasiat yang dimilikinya, mereka sendiri menyebut sup sarang burung tersebut dengan nama Cia Po.

Dimasanya makanan ini menjadi barang mewah, itulah sebab tak semua dapat mengkonsumsinya, walaupun demikian permintaan ekspor impor China yang merupakan konsumen terbesar didunia juga ternyata tidak surut, inilah yang nampaknya membawa berkah bagi perdagangan sarang burung walet di nusantara, apa lagi menu sarang burung walet ternyata telah merata dikonsumsi para penguasa baik di wilayah selatan China seperti provinsi Guangdong dan Fujian, tren yang sama juga terjadi di luar wilayah kekaisaran China.

Kualitas sarang walet ditentukan oleh lingkungan alam dan kondisi gua. Tapi yang terpenting, waktu pengambilan sarang itu sendiri. Sarang terbaik adalah yang didapat dari gua lembab yang dalam dan diambil sebelum burung walet bertelur. Sedangkan yang terjelek, setelah walet muda berbulu. Warna sarang terbaik adalah putih, minim warna gelap, tak tercampuri darah dan bulu. Burung walet umumnya tinggal dan beranak-pinak di gua-gua dekat laut, jauh dari jangkauan manusia. Ada juga walet yang memilih gua-gua pedalaman, termasuk di gua-gua pegunungan kapur.

Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam.

Hikayat Sarang Burung Walet Dalam Lintasan Sejarah Bulungan.


Kapan sebenarnya perdagangan sarang burung walet di Bulungan?, tak dapat dijawab dengan pasti, namun melihat arus kuno rute perdagangan yang disinggahi para pedagang China seperti kepulauan Sulu, Laut China Selatan (sekitar Brunai) dan Selat Makassar yang pada dasarnya melalui Bulungan, maka sangat mungkin usia perdagangan sarang burung ini sudah sangat tua.

Menariknya sarang burung walet yang juga disebut lubang batu dalam istilah setempat khususnya dikawasan pantai timur kalimantan ini nampaknya mempunyai makna lebih dari tersekedar barang dagangan, lebih jauh ia sudah masuk dalam ranah politik.

Bahkan hikayat yang diceritakan oleh Johansyah Balham dalam rubrik Khas Kaltim B-Magezine menyebutkan bahwa seorang raja Kutai pernah memimpin penyerbuan terhadapat sebuah kerajaan kecil yang tak jauh dari wilayah kekuasaannya karena tergoda dengan kepemilikan sarang-sarang Burung walet yang menyebabkan kekayaan melimpah raja kecil tersebut.

Di masa kesultanan Bulungan, sarang burung walet juga memiliki rekaman sejarah panjang, beberapa kisah menyatakan bahwa Sultan membagi-bagikan kawasan lubang batu atau sarang burung walet kepada para bangsawan untuk menjamin kesetian mereka demi mewujudkan stabalitas kerajaan.

Yang lebih menarik lagi, menurut cerita yang disampaikan oleh Datuk Krama, salah seorang sepuh di kampung Tanjung Palas secara tak sengaja berjumpa dengan saya di warung kopi dekat kawasan Museum Bulungan.

Datuk Krama menceritakan pada saya bahwa desain istana Kesultanan Bulungan yang bertingkat dua itu, mempunyai fungsi untuk mengembang biakan sarang burung walet, itulah sebab bentuk atap istana yang khas dekat bubungan dimaksudkan sebagai jalan masuk bagi burung-burung walet yang pergi di pagi hari dan kembali menjelang sore, rungan itu gelap. Ada ruangan yang terletak disudut belakang yang digunakan jalan masuk dan keluar manusia untuk mengambil sarang burung walet tersebut. Kisah ini diaimini oleh salah seorang tua yang mengaku sewaktu kecil sering melihat pemandangan keluar masuknya burung-burung walet melalui bubungan istana tersebut.

Sejauh yang penulis ketahui, sarang burung walet memang menjadi salah satu komuditi ekspor penting khususnya pada abad ke-19. Di pantai timur, pelabuhan Samarinda misalnya menjadi salah satu pelabuhan yang didatangi. Kita beruntung J. Zwager, salah seorang Asisten Residen Belanda di Borneo Timur meninggalkan menuskrip berharga berupa laporan perdagangan di tahun 1853 yang bersisi barang-barang yang diperjual belikan lengkap dengan daftar harganya.

Sarang burung walet dalam catatan J. Zwager dibagi dalam dua jenis yaitu putih dan hitam serta dibagi lagi dalam beberapa jenis dengan daftar harga yang berbeda-beda seperti berikut:

Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 10.—f.12.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 40.—f.50.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 2 : f 25—f.30.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 3 : f 15—f.20.- per kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 1: f 250—f.350 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 2: f 100—f.200 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 3: f 80 —f.100 per 120 kati.


Bila melihat daftar diatas nyatalah harga sarang burung walet putih dengan kulitas kelas satu mampu mengungguli sarang burung walet hitam walaupun memiliki kualitas yang sama. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sarang burung walet menjadi rebutan, bukan hanya pada tingkat pasar tapi juga ketingkat istana, tidak hanya itu sarang burung walet juga telah lama menjadi incaran para perompak maupun perampok, bahkan sejak masa perdagangan kuno terjadi di pantai timur kalimantan ini.

Harga sarang burung walet sampai hari ini bahkan tak pernah mengalami penurunan, ini menarik, sebuah situs internet yang saya baca memuat catatan perkembangan sarang burung walet dalam harga pasaran. Pada tahun 1999 saja data penjualan sarang burung walet mencapai kisan harga yang pantastis. Misalnya harga sarang walet yang dihasilkan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg atau setara dengan Rp 25 juta/kg. (dihimpun dari berbagai sumber).

Daftar Pustaka:

Abdullah, Dr Taufik. 1985.“Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan”. Jakarta : Gajah Mada University Press.

majalah histioria/berita-376-liur-yang-lezat.html

http://blogqunian-safran.blogspot.com

Tips Trik Blog: sejarah-burung-wallet.html.