Entri Populer

Selasa, 03 April 2012

Hikayat Daerah Istimewa Bulungan

(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir)

Bicara tentang sejarah lawas modern Bulungan, khususnya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan dimasa lampau, tak banyak memang generasi muda yang mengenalnya.

Hikayat mengenai sejarah Daerah istimewa bulungan memang tak dapat dilepaskan dari peran Kesultanan bulungan yang gigih mendukung kemerdekaan Indonesia, karena memang pada faktanya status daerah Istimewa bukan diminta, namun diberi oleh negara Republik Indonesia melalui persetujuan pemerintah pusat.

Dalam catatan sejarah Bulungan, kepala daerah pertama sekaligus terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, beliau adalah seorang tokoh sejarah yang telah melewati tiga masa sekaligus yaitu zaman belanda, zaman jepang dan era kemerdekaan.

Sultan Muhammad Djaluddin beserta para mentri Khususnya Datuk Bendahara paduka Raja, begitu gigih melawan kehendak belanda di bulungan melalui jalaur diplomasi, dalam sejarah Bendahara Paduka raja atas mandat Sultan Muhammad Djalaluddin – beliau memang tidak disenangi oleh kolonial belanda,- menjalin hubungan rahasia dengan Sultan Gunung Tabur dan Sambaliung di berau untuk mendukung penuh kemerdekaan indonesia, namun pihak kompeni ternyata tak berani menghalangi dengan tegas manuver politik beliau.

(Kantor Kepala Daerah Istimewa Bulungan dalam kenangan)

Demikan pula di tingkatan “akar rumput”, para tokoh pergerakan tak tinggal diam demi menyukseskan integrasi kesultanan bulungan sebagai bagaian dari NKRI tercinta yang kemudian hasil berbuah pada penyatuan Bulungan sebagai bagian dari bangsa indonesia pada 17 Agustus 1949.

Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan apik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).

Peristiwa ini manjadi era penting masa transisi pemerintahan Kesultanan Bulungan yang telah mengakar berabad lamanya. Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin dimandatkan oleh negara Republik Indonesia menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama sekaligus yang terakhir hingga akhir hayatnya tahun 1958.

Dimasa transisi pemerintahan seperti ini, kerena tak memiliki gedung pemerintahan yang memadai, Kepala Daerah istimewa saat itu, maulana Muhammad Djalaluddin kemudian menetapkan istana Bulungan yang tinggkat dua itu sebagai gedung kepala daerah istimewa dimana semua kegiatan pemerintahan dipusatkan di istana, jadi sesungguhnya sistem satu atap dalam pola pemerintahan sejarah modern Bulungan memang bukan hal yang baru.

Masyarakat Bulungan memang dikenal cukup terbuka dengan hal-hal baru demikian dengan berorganisasi dan politik, menariknya walau telah lama hidup dalam suana kesultanan yang memang masih bernuansa monarky namun Sultan tak pernah menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melarang rakyatnya dalam kegiatan politik praktis, perubahan yang mulus menang tak lepas kepemimpinan akhir Sultan Djalaluddin yang kharismatik. Menariknya pemerintah pusat sendiri baru berani mencabut status hal istimewa Bulungan setelah almarhum berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958.

(pengaruh belanda makin terkikis setelah penyerahan kedaulatan dan masuknya Kesultanan Bulungan secara sah kepangkuan NKRI)

Setahun kemudian tepatnya setelah UU Nomor 27 tahun 1959 disahkan, berakhirlah status daerah istimewa Bulungan. Sebelumnya telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat pertama di Bulungan yang diketuai oleh Muhammad Zaini Anwar (1955-1959). Pada tanggal 12 oktober 1960, dilantik Bupati pertama Bulungan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) yang juga masih kerabat Kesultanan Bulungan. Dimasa beliau ini Ibu kota Kabupaten Bulungan di pindah dari Tanjung Palas ke tanjung Selor.

Bukti sejarah Daerah Istimewa Bulungan

Sama seperti banyaknya sejarah yang terlupa, era transisi dari Monarky ke Republik yang juga di tandai masa sebagai daerah Istimewa dalam sejarah modern Kabupaten Bulungan ternyata tak banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik.

Kita kehilangan banyak memory mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan tanpa melihat bukti nyata bahwa sejarah yang mengagumkan itu ada. Jatuhnya istana Bulungan di tahun 1964 menambah catatan panjang kehilangan memory kolektif mengenai masa yang singkat namun penting ini.

Umumnya sejauh yang dapat dipaparkan oleh banyak nara sumber yang saya temui, umumnya mereka mengatakan bukti sejarah tersebut dapat merujuk pada foto-foto peninggalan bersejarah berupa istana tingkat dua yang sempat menjadi kantor kepala daerah Istimewa bulungan waktu itu, sejauh ini itu saja bukti yang umumnya dapat tunjukan. Bukti-buki fisik lain berupa palang nama daerah istimewa Bulungan pun beserta istana yang telah disebut tadi sudah tak ada lagi rupanya.

Pun demikian pula dokumen-dokumen dan surat-surat penting di istana, sulit untuk untuk menemukannya karena memang bisa jadi sudah tercerai berai dan sebagaian tak lagi dapat di baca. Ada kah bukti-bukti lain yang dapat menjalaskan kepada generasi mendatang kita bahwa Daerah Istimewa Bulungan itu memang pernah ada?

(Dokumen sejarah 15 Djuli 1951, dokumen penting sejarah Daerah Istimewa Bulungan)

Penelusuran saya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan, cukup panjang riwayatnya, kesulitan menemukan bukti fisik tersebut merupakan kendala utama saat itu.

Saya beruntung pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah Mesjid Al-Kaff di kampung arab, secara tak sengaja saya menemukan bukti berharga sejarah yang terawetkan dengan baik oleh tangan-tangan dingin yang menjaganya beberapa puluh tahun lamanya.

Kepada Said Mohammad Al-Jufri, saya patut berterimaksih pada beliau karena mengizinkan saya melihat dan menyimpan copy dari sebagain dokumen penting mengenai sejarah mesjid tertua di Tanjung Selor itu. Salah satu dokumen tersebut bertanggal 15 Djuli 1951. Dokumen ini dibuat sezaman dengan masa Daerah Istimewa Bulungan!

Saya tertegun sewaktu membaca dokumen lawas yang kertasnya sudah buram namun tulisannya masih dapat terbaca dengan baik tersebut. Bagaimana tidak, walaupun isinya menyangkut perluasan mesjid Al-Kaff, namun terlihat jelas surat tersebut direkomensaikan langsung oleh Kepala Daerah Istimewa Bulungan, lengkap dengan cap stempel kepala Daerah Istimewa dan cap stempel Wedana Tandjung Selor.

Dalam dokumen tersebut tertulis nama “M. Mohd. Djalaluddin”, selaku Kepada Daerah Istimewa, “M. D. Purwo Nata”, sebagai Wedana Tandjung Selor, bersama “M. Godal” yang tak lain adalah Kyai Mahfud Godal dan “Enci Chairul Alil” sebagai ketua I dan dan Penulis I dalam pengesahan surat tersebut. belum lagi ejaan yang digunakan, tampak jelas masih menggunakan ejaan lama, saya sempat membandingkan dengan dokumen sejarah yang saya miliki, dokumen itu merupakan copy dari sejarah bulungan yang di tulis oleh Datuk Perdana, kemiripan ejaannya sama, artinya surat itu memang ditulis sekitar tahun 1950-an.

(perhatikan baik-baik cap stampel dalam dokumen tersebut, terlihat jelas tulisan Daerah Istimewa Bulungan, pun lihat juga nama dalam tanda tangan tersebut, M. Mohd. Djalaluddin, Sultan Bulungan terakhir dan Kepala Daerah istimewa Bulungan).

Dokumen ini menjadi bukti penting mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan yang tak terbantahkan dan terawat dengan baik. Sulit bagi saya menyembunyikan rasa gembira dan syukur saat menemukan dokumen bercap stempel tersebut, karena sekali lagi kita akhirnya dapat menemukan bukti sejarah tertulis mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan yang sebelumnya hanya saya dengar tanpa saya melihat langsung bukti fisik dan dokumen yang menyertainya. Lebih jauh kita memang dapat membuktikan bahwa sejarah Daerah Istimewa Bulungan itu memang benar-benar ada bukan sekedar isapan jempol belaka!.

Sabtu, 18 Februari 2012

Hikayat Jas dan Songkok Dalam Lintasan Sejarah Bulungan


Salah satu hal yang gemar saya perhatikan dalam foto-foto tua yang buram mengenai kesultanan dan masyarakat Bulungan tempo dulu adalah style pakaiannya. Apa bila kita perhatikan lebih jauh mayoritas dalam foto-foto tua itu kebanyakan khususnya para lelakinya mengenakan songkok, benda ini hampir tak pernah lepas dari kepala tiap lelaki bulungan pada masa itu.

Foto lain juga yang saya perhatikan adalah penggunaan jas, gagah bukan main mereka menggunakan jas tersebut apa lagi di padu dengan songkok, tak beda jauh dengan foto-foto Bung Karno saat masih muda dulu. Pernyataan yang kemudian yang mengena di hati saya adalah kapan songkok dan jas digunakan dalam kehidupan masyarakat dan elit kesultanan bulungan tempo dulu.

Makna jas dan songkok dalam sejarah Bulungan.


Berbicara mengenai songkok maupun jas, berarti berbicara mengenai perlambangan atau syimbol-syimbol keterbukaan masyarakat Bulungan terhadap budaya luar yang kemudian menjelma menjadi identitas masyarakat maupun elit sosial dimasanya. Kedua syimbol ini menyiratkan mengenai jalinan sejarah mengenai interaksi budaya timur dan barat dalam tradisi Bulungan.

Songkok kapan sebenarnya masuk dan menjadi identitas dalam masyarakat bulungan? Tak banyak yang tahu pasti hal tersebut, namun diperkirakan songkok mulai menyebar di Bulungan sejalan era awal terbukanya perdagangan di Tanjung Selor, interaksi budaya dan agama, menyebabkan songkok yang dibawa oleh masyarakat Melayu, Banjar dan Bugis maupun orang arab dengan peci putih dan torbuznya pada abad ke-18 dan meraih momentum pada abad ke-19, sangat mungkin menjadi landasan mengapa songkok menjelma menjadi identitas dalam masyarakat Bulungan.


Tentu saja yang juga tak dapat dilupa adalah dimasa-masa awal kesultanan Bulungan, songkok tak dikenal, melainkan tutup kepala berupa kain yang dililit dikepala, kain ini umumnya berwarna kuning gading.

Faktor-faktor penting yang juga adalah songkok adalah syimbol-syimbol tradisi yang erat kaitannya dengan agama Islam, ini pula yang memudahkan jalan bagi songok menjadi identitas tidak hanya pada tingkatan akar rumput (masyarakat) namun juga tingkatan elit kesultanan Bulungan, bahkan menjadi pelengkap busana penting yang tidak bisa diabaikan.

Islam melarang bermewah-mewah secara berlebihan, karena itu untuk seorang Sultan tradisi Bulungan, mahkota hanya digunakan dalam acara serimonial penting kenegaraan saja –penulis secara peribadipun tak pernah melihatnya walaupun dalam bentuk selembar foto-, disinilah peran songkok begitu penting mengganti mahkota pada kegiatan keseharian, Demikian juga para bangsawan, dalam sebuah foto dimasa Sultan Kasimuddin menjelaskan bagaimana songkok menjadi busana penting, di era Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin songkok bahkan nampaknya menjadi semacam identitas yang mewakili individu-individu tertentu khususnya para menteri yang berada disekitar beliau.

Datuk Laksamana Paduka Radja misalnya, Songkok khas hitam yang bergaris putih melintang adalah ciri dari beliau. begitupula salah seorang petinggi kesultanan Bulungan, terlihat menggunakan songkok dengan motif bertotol-totol menerupai kulit Harimau. Sultan Djalaluddin nampaknya lebih senang warna yang polos putih atau hitam, dalam sebuah foto lain beliau menggunakan peci hitam dengan sedikit renda yang umumnya sering dipakai masyarakat biasa.


Demikian pula jas, pakaian ini dalam bentuk awal mengacu pada bentuk Uniform atau pakaian resmi khusus Gubernur Hindia Belanda dengan sulaman berwarna keemasan, bentuk motif yang digunakan oleh Sultan Bulungan, tentunya tak sama dengan motif yang digunakan oleh Sultan Kutai, Sultan Sembaliung dan Sultan Gunung Tabur.

Uniform ini dalam sebuah foto nampaknya berawal dimasa Sultan Kaharuddin II, catatan sejarah menyebutkan bahwa dimasa tersebut kolonial belanda benar-benar masuk dan mencampuri kehidupan politik, budaya serta ekonomi kesultanan Bulungan, uniform yang kurang lebih sama juga digunakan oleh para sulta setelah beliau pun demikian juga dengan para menteri dan jajaran elit kesultanan Bulungan hanya saja yang tak berubah adalah penggunaan songkok yang tak pernah ketinggalan.

Penggunaan jas sendiri ada banyak macamnya, tentunya tak hanya uniform yang digunakan Setidaknya beberapa foto yang berhasil penulis kumpulkan menimbulkan kesilmpulan bahwa para sultan cukup terbuka dengan mode pakaian ala barat, menariknya walaupun cukup terbuka dalam hal tersebut, namun Belanda tidak benar-benar dapat membuat para sultan menjadi skuler, justru sebaliknya pendidikan agama Islam dijadikan penyaring terhadap budaya barat yang mencapai puncaknya diawal abad ke-20 dilingkungan istana Bulungan.


Hal yang lebih ketat terjadi lingkungan rakyatnya, kesultanan Bulungan memang teguh adat istiadat dan agama Islam sebagai landasan, itulah nampaknya belanda mengalihkan pusat keberadaan mereka lebih besar di kota Tarakan yang majemuk dan terdapat pusat-pusat pengeboran minyak sekaligus pusat pertemuan pemarintahan Hindia Belanda beserta angkatan bersenjatanya.

Epilog

Songkok dan jas merupakan bagian sejarah kesil di zaman kesultanan Bulungan yang terlewat dari padangan kita, padahal keduanya merupakan simbol dari nilai-nilai timur (Islam) dan barat yang coba disatukan sekaligus pula menjadi bentuk pertarungan abadi nilai-nilai budaya timur dan barat yang mewarnai sejarah panjang kesultanan paling dinamis di wilayah utara pantai timur kalimantan ini.

Sumber foto:

Museum Kesultanan Bulungan

Facebook Siti Harna Hamad.