blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Sabtu, 19 Juni 2010
ADAT PERNIKAHAN ORANG BULUNGAN.
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan orang Bulungan dan suku bangsa lainnya di kabupaten Bulungan ini.
Pernikahan dalam tradisi Bulungan memang sangat unik, tata cara pernikahan ini melewati setidaknya melewati beberapa tahap.
Proses awal adalah lamaran dan jujuran, dalam bahasa Bulungan disebut dengan Beseruan Mengka Ngantot Sangot, proses awal dari perkawinan adat Bulungan diawali dengan cara melamar dari pihak keluarga laki-laki serta mengatar jujuran disebut dengan Antot Sangot. Dalam acara ini, pihak keluarga laki-laki melakukan pembicaraan dengan pihak keluarga perempuan untuk melakukan peminangan atau dalam bahasa Bulungannya Lungkap Beba atau Beseruan.
Bila pinangan di terima, dan masing-masing pihak keluarga sepakat maka dari pihak keluarga laki-laki menyerahkan sebuah benda berupa meriam kecil yang dinamakan Rentaka. Dimasa lampau jika pihak lelaki adalah anak Sultan, maka jujurannya atau Sangotnya ditambah sebesar 2000 ringgit. Jika sekarang tentunya menggunakan uang Rupiah yang besarnya sesuai kesepakatan keduabelah pihak.
Mengantar jujuran atau Ngantot Sangot dalam adat Bulungan ada tata caranya tersendiri. Setelah peminangan selesai tibalah acara mengantar jujuran tersebut pihak keluarga perempuan menyiapkan potongan balok ulin yang akan dipergunakan untuk melakukan pengujian bahwa jujuran berupa uang ringgit yang diserahkan benar-benar asli. Bila seandainya uang ringgit tersebut palsu, maka kepada pihak lelaki diharuskan menggantinya dengan yang asli.
Selanjutnya setelah tiga hari dilaksanakannya antar jujuran tersebut, calon pengantin pria dibawa kerumah calon pengantin wanita guna mengadakan silaturahmi. Acara ini dimaksudkan untuk saling kenal mengenal antar calon pengantin, dimasa perkenalan ini pengantin pria hanya boleh melihat dengan mencuri-curi pandang saja, tidak bisa bertatap muka secara langsung.
Dimasa lampau perempuan Bulungan yang akan dipinang tidak diperbolehkan keluar rumah, dalam istilah adat Bulungan disebut dengan kenurung atau berdiam diri didalam rumah.
Masa perkenalan calon pengantin pria dan perempuan ini berlangsung antar 7 hingga 9 hari atau bisa lebih. Dalam masa perkenalan ini, masing-masing calon penganting memberi tanda mata berupa cincin sebagai tanda bukti telah melakukan pertemuan.
Setelah acara perkenalan calon pengantin, maka tahap selanjutnya adalah persiapan akad nikah, dimana calon pengantin pria dibawa kerumah pengantin wanita guna dilaksanakan akad nikah tanda resmi sebagai pengantin. Setelah akad nikah selesai, pengantin pria boleh tidur bersama, makan bersama, namun perempuannya masih tetap berkurung dalam sarung tanpa boleh diliat oleh pengantin pria. Pada saat menjelang tidur, pengantin ditemani oleh kedua keluarganya. Setelah acara kawin suruk selama tiga hari tiga malam dilaksanakan, maka pengantin pria kembali dibawa pulang untuk persiapan hari persandingannya.
Sebelum hari persandingan dilaksanakan, maka pada malam harinya dirumah pengantin pria dilaksanakan acara Bepupur atau pupuran yang diisi dengan hiburan musik gambus dan tari jepen. sedang dirumah pengantin wanita diadakan acara Bepacaran atau memakai inai dijari tangan dan kaki yang hanya dapat disaksikan oleh pihak pengantin wanita saja.
Dalam acara bepupur ini, dilakukan acara tukar menukar pupur dan pacar (Inai) antara pengantin pria dan pengantin wanita. Pada acara ini pihak keluarga pengantin pria mengantarkan pupur dan pacar kerumah pengantin wanita, dan pihak keluarga pengantin wanita menukarkan dengan pupur dan pacarnya. Pupur dan pacar tersebut dibawa dengan menggunakan talam yang dilapisi dengan kain kuning serta diterangi dengan lilin. Setelah acara tukar menukar pupur dan pacar, maka acara pupuran dilaksanakan dimana pengantin pria dipupuri secara bergantian oleh tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan yang dituakan.
Selesai acara bepupuran, selanjutnya pengantin pria diangkat kekamar secara beramai-ramai dengan menggunakan tikar pandan, kemudian para tamu dan undangan juga ikut bepupur satu sama lainnya.
Konon menurut cerita, bahwa para undangan dalam acara pupur-pupuran ini sengaja mencari anak gadis dan bujang dengan harapan sigadis atau bujang tersebut dapat lekas menyusul untuk melaksanakan pernikahannya.
Hari berikutnya setelah acara berpupur, maka acara selanjutnya adalah persiapan hari persandingan, dimana pada hari tersebut pengantin pria dibawa keluarganya ke tempat pengantin wanita. Disertai dengan membawa perlengkapan makanan yang dinamakan Seduleng serta perlengkapan pakaian perempuan yang disebut dengan Pesalin.
Pada acara peresmian perkawinan yakni tibanya hari persandingan, pengantin pria diantar oleh keluarga dan kerabatnya disertai pendamping yang berpakaian lengkap dengan membawa Seduleng dan Pesalin.
Tiba dirumah pengantin wanita Seduleng dan Pesalin yang dibawa oleh rombongan pengantin pria tersebut diserahkan kepada keluarga pengantin wanita yang sudah siap menerima dipintu masuk.
Acara selanjutnya sebelum masuk ke pelaminan terlebih dahulu pengantin pria diharuskan menginjak batu gosok serta menggigit pisau dan meminum air yang sudah disiapkan oleh pihak pengantin wanita. Hal ini dimaknai bahwa, pengantin pria setelah memasuki bahtera rumah tangga memiliki hati yang teguh dan tidak mudah goyah terhadap berbagai macam cobaan dan godaan.
Berikutnya sebelum duduk dikursi pelaminan masih ada satu tahap yang harus dilalui oleh pengantin pria yakni membuka tabir atau tirai kain penutup serta Dedap atau kain penutup wajah pengantin wanita. Untuk dapat membuka tabir atau tirai serta Dedap ini, maka pihak pengantin pria harus menyerahkan sejumlah uang yang diberikan pada Sina Pengantin atau Perias Pengantin, setelah itu barulah membuka tabir atau tirai serta Dedap bisa dibuka. Dan tahap selanjutnya adalah acara persandingan.
Setelah selesai acara persandingan, maka tiga hari berikutnya atau dalam istilah bahasa Bulungan, Genop Telu Malom, pihak pengantin pria menyerahkan salah seorang dipon atau hamba sahaya, dapat pula diartikan sebagai pembantu kepada pihak pengantin wanita dalam bahasa Bulungan disebut Buka Seluar. Bila tidak ada bisa diganti dengan uang sebesar 250 ringgit.
kemudian setelah acara penyerahan dipon atau hamba sahaya tadi barulah kedua pengantin naik keatas pelaminan, sambil dinyanyikan lagu-lagu Sulai Mambeng, Dindeng Sayeng, dan Sayeng Tuan yang dibawakan oleh para orang tua. tembang ini dinyanyian hingga sampai menjelang subuh.
Tahap Selanjutnya dari prosesi perkawinan adat Bulungan ini adalah membangunkan pengantin, dalam bahasa Bulungannya adalah Metun Pengantin dengan cara membunyikan alat musik tradisional berupa gendang rebana. Setelah pengantin dibangunkan, maka tahap berikutnya adalah mandi pengantin. Dalam bahasa Bulungan mandi disebut Mendus.
Pada acara mandi pengantin ini pasangan pengantin didudukan diatas persada atau tangga tujuh tingkat. Sebelum acara mandi-mandian dilaksanakan masing-masing pengantin diangkut, pengantin wanita digendong, dalam bahasa Bulungan disebut Tenanggung. Sedangkan pengantin pria diangkut dengan kursi. Sebelum duduk ditempat pemandian yang sudah disiapkan berupa baki atau talam yang dilapisi kain, pengantin wanitanya dibawa berkeliling mengitari tangga hingga pada tingkat yang paling atas. Barulah acara mandi pengantin dilaksanakan.
Air yang digunakan untuk mandi pengantin berasal dari kawasan Limbu atau Long Baju dengan menggunakan biduk bebandung, serta mereka yang mengambilnya diharuskan menggunakan pakaian pengantin. Air diambil sehari sebelum acara mandi pengantin dilaksanakan yang banyaknya dua kibut atau guci dan diletakan pada tingkat paling atas persada dilengkapi dengan bunga-bungaan.
Rangkaian akhir dari prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini adalah bertamu kerumah mertua, dalam bahasa Bulungan dinamakan Nyengkiban. Acara ini dilaksanakan pada sore hari setelah acara mandi-mandian atau Mendus. Dalam acara nyengkiban ini kedua pengantin disertai keluarga pengantin wanita, dengan menggunakan kereta kencana diarak menuju rumah keluarga pengantin pria.
Sesampainya dirumah keluarga pengantin pria, dilaksanakan acara sembah sujud oleh kedua pengantin, setelah selesai acara sembah sujud tersebut, maka berakhirlah seluruh rangkaian acara prosesi perkawinan adat Bulungan yang sacral dan sarat nilai-nilai budaya tersebut. Selanjutnya seluruh keluarga saling bersilaturahmi.
Sebagai tambahan, pada masa lampau, jika Sultan Bulungan atau keluarga dekat yang melaksanakan hajat perkawinan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara pesta rakyat sebagai tanda syukur yang oleh masyarakat Bulungan disebut dengan Birau, acara ini dibuka dengan tembakan salvo dari Meriam Sebenua dengan tujuan seluruh isi kampong mengetahui bahwa ada pesta yang dilaksanakan oleh kerabat Sultan.
Jika kita mengkaji prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini, tercermin nilai-nilai yang sarat makna, seperti nilai kejujuran, kesabaran, keberanian, kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisi yang tidak lain bersandar dari perkawinan nilai-nilai adat dan agama yang diresapi oleh masyarakat Bulungan, inilah yang kemudian melahirkan tradisi adat perkawinan Kesultanan Bulungan yang sakral ini.
Sumber: Datuk Iskandar Zulkarnaen “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”, (Samarinda: Pustaka Spirit, September 2008). hlm. 67-69.
Foto: Peta Ratna Pelaminan dari Museum Kesultanan Bulungan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar