Entri Populer

Rabu, 23 Juni 2010

Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo?


Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sosok kontroversi yang bernama Brigjen. Suharyo Padmodiwiryo alias Hario Kecik ini.

Dalam sejarah modern Bulungan, khususnya periode 1960-an ke atas, mantan Pangdam IX Mulawarman ini memang sangat tenar khususnya dikalangan tua masyarakat Bulungan, apalagi kalau bukan mengenai “Insiden 1964”, sebuah peristiwa bersejarah yang pahit bagi masyarakat Bulungan, dalam peristiwa pahit tersebut Istana Kesultanan Bulungan di bakar dan tak kurang dari 50 orang bangsawan dan para cerdik pandai Bulungan di culik hingga kini tidak diketahui lagi dimana keberadaan mereka.

Para sesepuh di Bulungan bahkan tidak sedikit yang menuding bahwa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Haryo Kecik inilah sebagai dalang dalam peristiwa berdarah tersebut. Namanya tercatat dengan jelas dalam buku-buku mengenai sejarah Bulungan, sebagai sosok yang dapat dikatakan tidak mendapat simpati dihati sebagian masyarakat Bulungan kala itu, kalau memang tidak ingin dikatakan dibenci.

Terlepas dari hal tersebut, penulis mencoba untuk menggali sejarah mengenai sosok kontroversial ini, tidak mudah memang untuk melakukan hal itu apa lagi jika kekurangan bahan pustakanya. Syukurlah penulis mendapatkan beberapa buah buku memoir orang-orang yang cukup mengenal cukup dekat sepak terjang Brigjen Suharyo Padmodiwiryo, khususnya pada tahun 1960-an. Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Harjo Kecik ini? itulah pertanyaan besar yang coba kita gali, setidaknya sebagai study awal.

Dalam memoarnya, mantan Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Soemitro, -pengganti Suharyo- menceritakan mengenai Suharyo yang ia kenal, Suharyo sering disapa oleh beliau dengan sebutan “Cik” atau “Kecik”, mereka berdua dizaman gerilya dulu memang saling kenal, seperti yang dipaparkan oleh Soemitro:

“Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suharyo) komandan Korps Mahasisiwa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958 saya ketemu dengan dia di Ford Benning (Infantry Cantre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean (Jendral), Brotosewoyo, Priatna, Kris Sudono dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono, Iskandar Ranu. Suharyo tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan di-gips”.

Hubungan keduanya nampaknya sempat agak tegang justru ketika Brigjen Soemitro ditugas kan Jendral Ahmad Yani untuk menggantikan Suharyo. Jendral Ahmad Yani nampaknya paham sepak terjang Suharyo di Kaltim, ia juga dianggap dekat dengan Presiden Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Pangti (Panglima tertinggi) sekaligus Presiden. Mungkinkah presiden Sukarno mengatahui sepak terjang Suharyo di Kaltim? apakah Sukarno mengetahui Istana Kesultanan Bulungan di bakar? apakah Suharyo benar sebagai dalang utama atau justru hanya sebagai pelaksana dilapangan? sejauh mana hubungan Suharyo dan Sukarno?, pertanyaan-pertanyaan ini tentunya perlu studi yang dalam untuk menjawab dan menemukan benang merahnya. Diluar dari itu, Brigjen Soemitro menceritakan mengenai sebab mengapa Suharyo oleh para petinggi di AD, nampaknya tidak begitu disenangi, Soemitro mengatakan:

“Saya mengerti mengapa pimpinan AD mau menarik Brigjen Suharyo. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar, bahwa Bahwa Brigjen Suharyo yang jadi Panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Haryo ke Jakarta, dia keluar masuk Istana tanpa diketahui seizin Jendral Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno, Sekali ia pernah kepergok oleh Jendral (Ahmad) Yani di Istana”.

Banyak hal yang menarik diceritakan Brigjen Soemitro dalam memoarnya tersebut, antara lain suasana kota Balikpapan menjelang kepergian Suharyo, saat itu sambutan organisasi onderbownya PKI terhadap dirinya sangat dingin, belum apa-apa saat baru menginjakkan kaki dibandara sepinggan, ia sudah diteror dengan sepanduk bertuliskan “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jendral Suharyo”, lalu dibelakangnya ada sepanduk “Selamat datang saudara Brigadir Jendral Soemitro”. Brigjen Soemitro jelas berang dibuatnya; Wah, kok ini ada “bapak” dan ada “saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung. Tapi saya diam saja sementara saya berfikir: “apa-apaan ini!” Massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suharyo dengan saya”.

Pada malam harinya, Kodam mengadakan acara perpisahan untuk Brigjen Suharyo dan memperkenalkan Brigjen Soemitro di gedung bioskop. Suharyo berpidato tidak kurang empat jam, telinga Brigjen Soemitro di buat berdiri ketika Suharyo mengatakan “Sebenarnya saya masih senang disini, masih mau lebih lama disini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti Revolusi”. Jelas saja Soemitro di buat tidak senang, apa lagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepada Brigjen Soemitro; “Jendral kanan yang nggak tahu Revolusi”. Hal ini sempat pula dipertanyakan Barigjen Soemitro pada Suharyo pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Sheel Guest House. Bagi Soemitro, Suharyolah yang berada dibalik kejadian-kejadian teror poster tersebut, Suhayo sendiri tidak mengakui hal itu. Disitulah kekesalan Soemitro tidak bisa dibendung, seperti yang tertulis dalam memoarnya:

“Jangan Bohong”, kata saya. “kamu di Belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato disana Berapa tahun kamu disini? Njeplak seenakmu sendiri! Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengerti revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? saya tahu, Cik, Kamu pandai menembak. Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang.” begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding suharyo dengan telunjuknya. Namun karena mereka berkawan, masalahnya hari itu juga selesai.

Beberapa hari setelah kepergian Suharyo, Brigjen Soemitro kemudian “menggulung” PKI dan onderbownya, macam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Gerwani, Pemuda Rakyat dan Perbum. Menariknya selain dari sipil diketahui beberapa oknum militer juga di tahan karena diketahui “dekat” dengan PKI.

Brigjen Soemitro sendiri menyayangkan sikap Suharyo yang dianggapnya berlebihan, seperti yang ia tulis: “Yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutei sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!”. Ya wajar saja Brigjen Soemitro menyayangkan hal itu, karena bagaimanapun hal itu akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika Istana Kesultanan Kutai saja di rusak, walaupun begitu oleh Moes Hassan sempat diselamatkan dengan cara disegel, bukan hal yang musthil, Istana Kesultanan Bulungan jauh di utara, jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama kala itu. Hanya Allah yang tahu.

Apakah Brigjen Suharyo punya kedekatan yang “mesra” dengan PKI? itu bukan hal yang mudah untuk dijawab, walaupun demikian, memoar Brigjen Soemitro memberikan gambaran bagaimana sikap PKI yang berbeda dengan Suharyo dan Soemitro. Brigjen Soemitro sendiri nampaknya kurang yakin kalau Suharyo dekat dengan PKI, ia tidak begitu percaya hal itu, seperti yang ia tulis sendiri:

“ Sebenarnya, seingat saya, Haryo bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana ia bisa dikatakan PKI! hidupnya di Ft. Benning mewah. Di samping punya used car saya dengar ia punya kendaraan baru”.

Apakah penyataan Brigjen Soemitro itu hanya sebagai bentuk ketidak percayaan karena Brigjen Suharyo dapat dikatakan berkehidupan mewah, karena memang saat itu PKI justru menjauhi hal-hal tersebut atau mungkin karena nalurinya sebagai kawan lama. Namun jangan pula kita lupakan informasi yang penting. Datuk Iskandar Zulkarnaen memberikan informasi dalam bukunya, saat terjadi insiden 1964 tersebut, Brigjen Suharyo memerintahkan seluruh harta benda di Istana Bulungan sebelum dibakar, dikeluarkan dan menjarahnya. Suharyo bahkan dikabarkan membutukan dua kapal, masing-masing KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya ke Surabaya. (Datuk Iskandar Zulkarnaen:82:2008). Apakah ada benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang disampaikan Brigjen Soemitro? tentunya perlu studi lebih dalam mengenai masalah tersebut, karena sampai hari inipun “National Treasure” dari Kesultanan Bulungan itu tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.

Lain Brigjen Soemitro, lainpula Moeis Hassan. dalam memoarnya, ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suharyo, Gubernur Moeis Hassan kala itu hanya menyinggung hal-hal yang “positif” saja. Sebagian masyarakat menilai Brigjen Soharyo terlalu banyak mencampuri urusan pemerintahan daerah khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Dimata Moeis Hassan, Suharyo digambarkan orang yang periang, suka goyon tapi bisa keras dalam tindakan. Ia kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Dia tidak segan-segan menggunakan tangannya, bila perlu. (Moeis Hassan: 166: 1994).

Nasib Brigjen Suhayo sendiri, digambarkan tidak begitu beruntung, khususnya setelah Pak Harto menjadi President. Saat ia melangsungkan College War di Moskow Rusia, Indonesia telah berganti kepemimpinan. Brigjen Suharyo memilih untuk tidak pulang ke indonesia, barulah tahun 1977 ia pulang ke Indonesia dan sempat di tahan. Setelah reformasi nama Suharyo muncul lagi ke publik, sebagai penulis novel produktif, diantaranya, Si Pemburu, Badak Terakhir dan Lesti.

Sumber pustaka:
Ramadhan K. H. 1994. “Soemitro; Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.

Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.

Http: // Mas-Sugeng.blogspot.com

Http://isandri.blogspot.com

Http://anusapati.blogdetik.com

2 komentar:

  1. Adalah (alm) Mayor Inf (purn ) Muh.Sjukrie Djuhri (dulu sersan satu pelatih di yon 601 samboja-Balikpapan- kaltim....

    yang saat ini (alm) wafat dan di kebumikan di TMP Dharma Agung- Balikpapan -kaltim

    menceritakan bahwa beliau (alm) pernah menderita bathin oleh haryo kecik, yang telah membakar bangunan rmh di simpang 3 samboja-handil-kaltim...

    beliau (alm) juga pernah ditembak oleh pistol haryo kecik ketika (alm) menolak melaksanakan perintah haryo kecik, yg dalam perintahnya meminta (alm) membongkar paksa bangunan tsb...

    oleh tembakan haryo kecik itu,(alm) menderita luka lubang pada jari kelingking kiri yg pada seketika itu jg (alm) merasa terancam todongan pistol haryo kecik hingga (alm) melompat diri keluar jendela di markas batalyon (alm)...

    BalasHapus
  2. Penulis teks berjudul "Siapa Brigjen Suhario P." menyitir cerita Soemitro antara lain sbb: "...Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang.” begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding suharyo dengan telunjuknya."

    Berikut ini dilmpirkan 1 tulisan terbaru seorang sejahwan dari Australia tentang Pertempuran Surabaya yang menyebutkan bahwa Suhario -yang disebut di atas sebagai "tidak pernah "perang" itu- persis bersda di jantung medan laga the battle of Surabaya. Semoga bisa melengkapi secara lebih berimbang tudingan ala "aksi sepihak" terhadap Suhario dalam tulisan di atas. Setelah membaca tulisan sejahrawan Patmos ini nanti kiranya pertanyaan bisa dibalik ke arah Sumitro sendiri. Bunyinya, di mana Mitro berada ketika Pertempuran Surabaya berkecamuk ?
    Suka atau tidak suka, Suhario telah menuliskan pengalaman tempurnya di Surabaya tahun 1945 secara detail melalui buku Memoir pertamanya yang diterbitkan penerbit terhormat Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1995 (!). Jika buku memoar itu dibaca dengan seksama, mungkin bisa mengurangi kepicikan orang sebelum menghakimi orang lain.

    Pertempuran Surabaya 1945,
    Sungkono Muda dan Pidato yang Menentukan
    Penulis : Dr Francis Palmos*

    (.....)
    Pidato Sungkono
    Yang pertama dari pidato singkat tetapi hebat itu adalah pidato yang disampaikan Kolonel Sungkono. Pada Jumat sore 9 November, di Jalan Pregolan No 4, dengan suara bulat dia terpilih sebagai Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya.
    Pidatonya di hadapan ribuan arek Surabaya muda dan anak buahnya di Unit 66 pada malam serangan Inggris di Surabaya merupakan pidato yang bersejarah. Anak buahnya berperang menghadapi tentara Inggris terbaik yang memiliki senjata dan alat komunikasi modern.
    Sementara itu, anak buahnya hanya maju ke medan laga dengan senapan mesin ringan, senapan laras panjang, granat, dan beberapa tank lama, serta bambu runcing. Bagi seorang militer yang serius, ini mungkin waktunya untuk menyerah.
    Sebaliknya, Sungkono justru mengatakan: “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya… Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri…”
    Semua anak buahnya tetap tinggal untuk berperang.
    Mantan Jenderal Suhario, yang waktu itu masih mahasiswa berusia 24 tahun dan turut serta dalam pengepungan Polisi Rahasia Kempetai, mengenang sikap Sungkono malam itu:
    “Seperti biasanya malam itu Sungkono tetap bersikap tenang selama melakukan inspeksi persiapan pertahanan. Dia datang ke markas saya di tengah malam, bersama dengan Kretarto dan tiga perwira. Dia bertanya, ‘Apakah kamu siap?’
    Saya menjawab: ‘Ya! Siap!’
    Itu saja! Kami tidak ambil pusing! Tidak ada lagi yang bisa kami katakan. Kami siap. Dia kemudian pergi ke kegelapan malam. Sungkono pergi mengelilingi kota malam itu, (memeriksa semua unit) menanyakan apakah mereka sudah siap. “
    (.....)

    BalasHapus