Entri Populer

Rabu, 29 September 2010

Studi Peran Said Abdurahman Bilfaqih di Masa-Masa Awal berdirinya Kesultanan Bulungan.


(ilustrasi kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan)

Sejarah awal Kesultanan Bulungan nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kisah kedatangan ulama seperti Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan, beliau dikenal pula dengan nama Tuan Kali Abdurahman. Istilah Tuan Kali merujuk pada jabatan atau gelar keagaman yang disebuat Tuan Kadi, Jabatan seperti ini pun ditemukan dalam susunan pemerintahan keegamaan Kesultanan Sulu.

sayangnya mengenai sosok Said Abdurahman bilfaqih sendiri, cendrung tidak begitu dikenal, selain kurangnya informasi sejarah hidup atau manakib beliau, pun studi mengenai beliau dan perannya sangat minim, padahal beliau adalah ulama besar yang memiliki peran yang tidak kecil dalam perjalanan sejarah Bulungan. karena itu tulisan ini mencoba untuk setidaknya membuka lembaran sejarah tentang beliau sekaligus merentas jalan untuk studi yang lebih lanjut lagi.

Literature sejarah Bulungan seperti tulisan Datuk Perdana dan H. E. Mohd. Hasan dkk, hanya menjelasakan bahwa beliau seorang perantau Arab dari Demak (Jawa). momentum ini dapat pula disebut sebagai kontak kedua kedatangan Islam di Bulungan yang tercatat dalam sejarah Bulungan. Sayangnya tidak ada literature lebih jauh yang menceritakan apa yang menjadi motif kedatangan beliau di Bulungan secara pasti dan apakah beliau sendiri datang karena memenuhi undangan penguasa Bulungan atau karena ada misi lainnya?.

Sedikit menengok kebelakang, menurut penelitian tim penulisan sejarah Banjar, pada masa pangeran Samudra, Sultan pertama Kesultanan Banjar yang bergelar Sultan Suriansyah, Demak pernah mengirim angkatan perangnya untuk membantu Banjar untuk mengalahkan kerajaan Daha yang berpusat di Muara Hulak dengan Bandar perdagangannya di Muara Bahan. Bersamaan dengan dikirimnya bantuan pasukan, diikut sertakan juga Khatib Dayan, seorang penghulu mesjid yang dipersiapkan untuk mengislamkan orang-orang Banjar setelah kerjaan banjar berhasil mengalahkan kerajaan Daha, sesuai janji pangeran Samudra. Kesultanan Banjarmasin pun akhirnya didirikan setelah mengalahkan kerajaan Daha pada tanggal 24 September 1526 bertepatan dengan tanggal 8 Zulhijjah 932 Hijriah. Khatib dayan sendiri meninggal dan dikuburkan dikompleks makam Sultan Suriansyah di kuwin utara. Ada yang berpendapat bahwa Khatib Dayan adalah seorang Arab dari golongan Ahlul Bait yang bernama Sayyid Abdurahman. Orang jawa lazim menyebutnya Sayyid Ngabdul Rahman. Mereka berpendapat kemungkinan khatib Dayan adalah orang jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara yaitu Tuban, Demak, Gresik merupakan pusat pemukiman orang Arab.<1> Fakta ini setidaknya memberikan kita informasi awal bahwa pada masa Kesultanan Demak, perkampungan Arab memang sudah ada disekitar pesisir pantai utara Jawa.

Penulis berpendapat tujuan kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan erat kaitannya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas keimanan para penguasa maupun rakyat Bulungan yang sudah mengenal agama Islam sebelumnya, walaupun saat itu bentuk pemerintahan yang dianut bukanlah Kesultanan, namun sebuah kerajaan kecil lebih terlihat sebagai sistem kepala suku. Jika memperhatikan begitu mudahnya beliau bergaul dengan wira Amir dan sempat diangkat menjadi penasehat sekaligus guru agama Islam oleh wira Amir, maka kita dapat kita menarik kesimpulan awal bahwa Said Abdurahman pada saat itu sudah sangat dikenal baik oleh Wira Amir maupun rakyatnya, jadi pengucapan kalimat Syahadat oleh Wira Amir itu sendiri bukanlah berarti Wira Amir belum menjadi muslim sebelumnya, melainkan hanya sekedar formalitas belaka karena Wira Amir sudah mengenal Islam sebelumnya. Satuhal yang disayangkan adalah tidak ada catatan sezaman atau sesudahnya yang menceritakan secara rinci bagaimana alur pelayaran yang dilintasi oleh Said Abdurahman Bilfaqih dari Demak hingga sampai ke Bulungan.


(kawasan baratan, lokasi pertama berdirinya Kesultanan bulungan)

Lalu bagaimana status Said Abdurahman Bilfaqih sendiri dalam usaha beliau mendakwahkan Islam di Bulungan?, apakah beliau memiliki hubungan dengan penguasa Demak sebagai duta kerajaan seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan di Kesultanan Banjar? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat posisi Kesultanan Demak sendiri pada saat awal-awal munculnya Kesultanan Bulungan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pada masa tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi salah satu wilayah dari Kesultanan Mataram Islam, pamor Demak bahkan memudar dengan cepat setelah gagalnya pemberontakan Puger pada tahun 1602-1605 M.

Ada kemungkinan kepergian beliau keluar wilayah Kesultanan Demak berhubungan dengan situasi politik yang tidak stabil di tanah Jawa, semenjak Kesultanan Mataram berperang untuk menguasai tanah Jawa khususnya kota-kota pelabuhan dipantai utara jawa, ini artinya secara politik Said Abdurahman Bilfaqih bukanlah duta politik Kesultanan Demak, walaupun bukan sebagai duta politik Kesultanan Demak seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan pada masa awal berdirinya Kesultanan Banjar, sebagai seorang pendakwah beliau bersama Wira Amir nampaknya telah mempersiapkan pondasi agama Islam bagi masyarakat Bulungan, hal ini sebenarnya dapat di pahami, didalam agama Islam Amir atau pemimpin negara sekaligus agama keberadaannya adalah mutlak, itulah sebabnya pemberian gelar oleh Said Abdurahman Bilfaqih pada Wira Amir sebagai Amiril Mukminin yang secara politik dapat dipahami oleh Wira Amir sebagai legitimasi politik untuk membentuk Kesultanan Islam di kawasan yang pada masa itu kebanyakan dihuni oleh suku Bulungan. Karena itu terbentuknya Kesultanan Bulungan maka agama Islam yang dianut oleh sebagian besar Ulun Bulungan akan semakin kokoh dan legal atau sah karena didukung oleh Negara dalam hal ini adalah Kesultanan Bulungan. Mulai memudarnya pengaruh kerajaan Berau kuno (Kuran) karena perselisihan antara para penerus tahta nampaknya menjadi salah satu faktor lain yang juga ikut menentukan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan di pentas sejarah dimasa awal tersebur.


(lokasi makam yang terawat dengan baik tampak terlihat dari luar pagar)

Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, sebagai bahasa politik Islam di Asia Tenggara, yang penulis kutip dalam bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, beliau menuturkan:

(“... ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar setidaknya sejak paruh abad ke-13, pengadopsian dan penggunaan kosakata politik Islam menemukan momentumnya pula. Seperti diisyaratkan, banyak historiografi (karya sejarah) Islam dikawasan ini, proses konversi bahkan dimulai pada ranah politik. Hampir semua historiografi tradisonal ini meriwayatkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dan korvensi penguasa lokal ke dalam Islam, yang kemudian diikuti para elit istana selanjutnya disusuli seluruh rakyat.

Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang digunakan selama ini adalah “kerajaan”, kini secara resmi disebut dengan “kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistensi dari penguasa lokal ketika penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam, begitu mengucapkan dua kalimah Syahadah, merekapun mengambil alih nama-nama Muslim dan term-term politik Islam tanpa kesulitan apa-apa. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik al-Shalih. Bisa dipastikan, secara politis tidak ada kesulitan bagi Merah Silau dan penggantian sebutan entitas politiknya dari “kerajaan” kepada “kesultanan”. Toh, di Timur Tengah tidak ada perbedaan antara keduanya; setali tiga uang.

Gelar sultan lengkap dengan nama Muslim, seperti bisa diduga umumnya diberikan oleh guru-guru pengembara pembawa Islam, yang jelas tahu banyak tradisi dan bahasa politik yang berlaku di Timur Tengah, karena itu pula, dalam kasus Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, banyak gelar yang digunakan penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad XII-XIII. Jika di Samudra Pasai kita mengenal Malik al-Shalih atau Malik al-Zahir, nama-nama semacam itu juga dengan mudah dapat ditemukan dalam genelogi penguasa Dinasti Ayyub”). <2>

Jika mengacu pada konteks yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, kita akan menemukan keselarasan didalam konsep ini, seperti yang sebutkan sebelumnya Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian mendapat gelar Tuan Kali Abdurahman merupakan guru pengembara yang kemudian mendapatkan tempat dihati masyarakat Bulungan. Jika diperhatikan lebih jauh pemberian gelar Amiril Mukminin pada Wira Amir sangat kental dengan nuansa tradisi Kesultanan-Kesultanan Muslim Sunni di Timur Tengah, walaupun ia berasal dari Demak menurut sumber sejarah lokal Bulungan, namun ia sama sekali tidak memberikan gelar-gelar Islam yang bernafaskan Jawa kepada Wira Amir.
(menurut penuturan bapak H. Said Ali Amin Bilfaqih,-yang merupakan keturunan Said Abdurahman bifaqih-, menyatakan bahwa said Abdurahman bilfaqih sebenarnya berlayar langsung dari Hadramaut, kemudian hanya singgah beberapa saat di Demak barulah kemudian melanjutkan perjalanan menuju utara dipesisir timur kalimantan hingga akhirnya sampai di Bulungan)

Maka dapat dimengerti bahwa Said Abdurahman Bilfaqih nampaknya cukup memahami kondisi politik yang terjadi pada masa-masa itu, iapun nampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik pula mengenai sejarah dan tradisi politik para penguasa Dinasty Muslim Sunni di Timur Tengah yang menjadi banyak acuan para Sultan di nusantara pada masa tersebut. Sebab tidak sedikit bahkan para penguasa Muslim yang berusaha mendapat gelar tersebut dari otoritas politik di Timur Tengah, khususnya dari pemegang kunci “gerbang suci” yaitu Syarif Mekah. Kesultanan Aceh Misalnya dikenal memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Turki Utsmani dan Syarif Mekah. Begitupula Kesultanan Palembang dan Makasar juga diketahui menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, hal ini tidak hanya menunjukan adanya hasrat yang kuat oleh para penguasa Muslim untuk mendapatkan legitimasi tambahan, namun juga mengisyaratkan kenginan untuk mengasosisikan diri dengan pusat-pusat poltik keagamaan Islam. Dengan kata lain, entitas dan muslim polities dikawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al Islam” atau Negeri Islam.<3> Dengan demikian dapat pula dipahami Kesultanan Bulungan dimasa tersebut ingin memiliki status dan kedudukan yang dipandang sama serta diakui dalam pergaulan internasional negeri-negeri Islam, khususnya yang berada di kawasan Laut Sulawesi seperti Kesultanan Sulu, Mindanao dan Brunei Darussalam maupun yang berada di pantai timur Kalimantan seperti kutai Kertanegara maupun Berau yang kemudian pecah menjadi dua Kesultanan kembar, Gunung Tabur dan Sembaliung.


(makam Alayarham Said Abdurahman Bilfaqih, rumah peristirahatan terakhir yang begitu tenang)

Said Abdurahman Bilfaqih sendiri kemudian tutup usia dan disemayamkan di kawasan daerah baratan, di lokasi Awal ibu kota Kesultanan bulungan, tempat peristirahatan yang tenang sekaligus tempat yang begitu dicintai semasa hidupnya. sampai hari ini kita masih dapat menemui keturunan-keturunan alayarham yang dikenal sebagai Klan atau fam Bilfaqih.

Catatan kaki:
1). Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005). hlm 94
2). Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999) hlm. 78
3). Ibid, hal. 79

Sumber:

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

H.E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”, (Tanjung Selor: Panitia Abad XV H Kabupaten Bulungan. t.th)

Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005)

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999)

Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.

Senin, 27 September 2010

Tari Jugit: Kreasi Agung seniman Bulungan.



Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting seniman bulungan yang tetap lestari adalah tari Jugit. Harus saya akui kawan, saya tidak bisa menyembunyikan kekaguman saya pada seni tari bulungan yang satu ini, nah begini hikayatnya….

Menurut legenda, tari jugit ini diciptakan oleh dua orang seniman sekaligus laksamana kesultanan Bulungan yaitu Datuk Maulana dan Datuk Mahubut. Jadi bisa dibayangkan umur tarian ini sudah begitu tua, bisa jadi sekitar paruh kedua abad ke-18 Masehi tari ini sudah menemukan bentuknya seperti yang dikenal saat ini.


Umumnya orang hanya mengenal tari jugit hanya satu variasi bentuk, sebenarnya tidak, tari Jugit kreasi agung orang Bulungan ini mempunyai dua bentuk yang memang mirip tapi memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Tari pertama disebut Tari Jugit Paman dan yang kedua di sebut Tari Jugit Demaring.

Walaupun memiliki kemiripan, tari ini memiliki perbedaan dari bentuk gerak tangan, warna baju, syair lagu, tempo gerakan, serta peruntukan untuk apa dan siapa tarian ini dipersembahkan.

Dimasa lalu, Tari ini begitu sakral, Tari jugit Paman hanya di peruntukan untuk raja, artinya tarian ini tidak akan pernah dapat dilihat di luar Istana, dan memang itulah aturannya, berbeda dengan tari jugit Demaring, walaupun milik kraton, namun ia boleh di persembahkan di luar Istana, karena itu biasanya dalam setiap penyambutan tamu diluar istana, misalnya di dermaga istana atau dalam Biduk Bebandung atau kapal layar Kesultanan, tari Jugitlah demaring yang dipersembahkan. sedikit catatan penari jugit, khususnya penari jugit demaring, untuk sampai ke tempat dia menari, penari itu akan di gendong dan memang seperti itulah adatnya.


Dari segi warna baju, keduanya memiliki perbedaan pula, dalam tarian Jugit Paman, penari harus menggunakan kombinasi warna merah di atas dan kuning di bawah, jadi jika dalam sebuah tari jugit, warna bajunya seperti diatas bisa dipastikan ia menarikan tarian Jugit paman. Sebaliknya penari Jugit Demaring menggunakan kombinasi baju kuning di atas dan hijau di bawah.

Gerak tangan dan kecepatannyapun berbeda, dalam Tari Jugit Paman biasanya tempo atau gerakan cenderung lebih cepat, sedang dalam tarian Jugit Demaring lebih lambat geraknya.

Bentuk gerakpun memiliki keunikan juga, memang kedua garik kaki kedua tarian ini hampi mirip, tapi gerak tangannya yang berbeda, dalam tarian jugit Paman, gerak tangan sebatas bahu, sedangkan pada jugit Demaring gerak tangan sebatas dada, Tangan kanan memegang kipas dan tangan kiri memegang selendang. Dalam Jugit paman tangan kiri tidak bergerak apa bila jatuh kebelakang, sedangkan pada Jugit Demaring tetap bergerak apa bila jatuh kesamping.

Pada tari jugit Demaring ada gerakan yang di sebut “Ayu Ane” atau menggendong anak, gerak ini tidak terdapat dalam jugit paman. Posisi tangan “Ayu Ane” kipasnya di kuncup kemudian, tangan kanan yang memegang kipas diletakan tangan kiri seperti posisi menggendong anak.


Syair lagu kedua tarian ini berbeda pula, dalam tarian jugit Paman hanya punya satu Syair yaitu Gandang Lais dan alat musiknya hanya kelantang atau kolintang dan itupun hanya tiga anak kolintang diman kan dua orang yaitu satu untuk bas dan yang lain memainkan dua anak kolintang lainnya. pada tari jugit Demaring ada dua Syair lagunya yaitu Kalau yang artinya Sore dan Jumalom atau jauh malam, dalam jumalom inilah ada potongan syair “Ayu Ane” tersebut, dalam Jugit demaring alat musiknya beragam, pada perkembangannya bukan hanya kelantang atau kolintang namun juga bisa menggunakan rebana dan biola khususnya pada syair lagu jumalom. sedikit catatan, dimasa lalu baik penyanyi syair dalam Jugit paman dan demaring, jumlahnya paling sedikit empat orang jika banyak bisa sepuluh orang karena lagu itu tidak boleh putus, dan sipenari mengikuti isyarat gerak dari syair tersebut, karena itu baik si penari maupun si penyanyi harus hapal mati dengan isi syair lagu tersebut.

Inilah sekelumit pengentar studi awal mengenai tari Jugit, tentunya tidak lepas dari kekurangan, peran serta budayawan, penikmat seni Bulungan dan seniman Bulungan akan membantu untuk mengekspose lebih dalam lagi mengenai karya seni budaya bulungan yang kita cintai ini.

Sumber:
Wawancara pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. dengan pengajar tari tradisional Bulungan, Ibu Iyay (Qamariyah), yang merupakan putri dari Datuk Aziz Saleh Masyur (DASMAN) salah seorang seniman multy talent yang pernah dimiliki oleh Kabupaten Bulungan.

Minggu, 19 September 2010

Seni membaca tanda-tanda alam; tradisi kuno orang Bulungan.


(ilustrasi suku kayan Uma Apan)

Sebelum kedatangan Islam di Bulungan, suku kayan Uma Apan, salah satu unsur cikal bakal dari suku Bulungan, memiliki kepercayaan tersendiri yang erat dengan pemujaan arwah nenek moyang mereka. Mereka inilah yang kemudian juga menurunkan kepercayaan tentang tanda-tanda alam kepada orang Bulungan.

Penulis berkesimpulan secara umum kepercayaan pra islam oleh suku Bulungan (Uma Apan pada masa lalu) tersebut dibagi dalam beberapa bentuk, dan sampai saat ini tidak sedikit bentuk-bentuk kepercayaan tersebut ada yang melekat menjadi tradisi yang merupakan bentuk ke arifan lokal suku bulungan antara mereka dan alam sekitar dimana mereka tinggali. Kepercayaan pra islam yang dapat penulis simpulkan pada masa itu adalah sebagai berikut:

1). Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang (arwah leluhur).
2). Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dalam benda-benda tertentu.
3). Kepercayaan terhadap tanda-tanda alam.

Para ahli ilmu kebudayaan (Antropolog) seperti E. B. Tylor berpendapat kepercayaan seperti itu dinamakan animisme, berasal dari kata Anima yang berarti Soul atau jiwa, karena itu menurut beliau setelah manusia meninggal jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati mahluk-mahluk hidup dan benda-benda material, karena itu, agar roh tersebut tidak mengganggu maka perlu diadakan penghormatan (pemujaan) pada arwah para leluhur atau benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Mereka juga mempercayai arwah nenek moyang mereka merupakan pelindung bagi mereka terhadap serangan musuh maupun memberikan kesuburan tanah dan ketentraman bagi penduduk desa.

Lebih jauh, selain animisme, ada pula yang dikenal dengan nama Dinamisme yaitu kepercayaan tentang kekuatan roh (soul), jiwa atau semangat (spirit) yang mendiami benda-benda tertentu seperti pohon, parang, tombak, guji dan lain sebagainya.


(ilustrasi burung isit)

Sama halnya dengan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib, mereka juga mempercayai tentang baik-buruknya sesuatu melalui tanda-tanda alam. Mereka mempercayai bahwa jika arwah leluhur mereka “menitipkan” pesan lewat tanda-tanda atau tingkah laku penghuni hutan yang mereka temui. Misalnya jika saat dalam perjalanan ada burung Isit terbang atau ular yang melintas dari kanan ke arah kiri, berarti pertanda ada hal buruk sehingga rute perjalanan di rubah. Begitupula jika mendengar leguhan rusa sambar (sejenis rusa hutan yang bobot badannya bisa mencapai dua Kwintal) pada saat mereka mencari lokasi mendirikan pemukiman, itu artinya mereka sebaiknya menjauh dari lokasi tersebut dan mencari lokasi pemukiman lainnnya.

Membaca tanda-tanda alam, seperti yang dilakukan oleh moyang orang bulungan seperti itu, juga telah lama digunakan oleh bangsa-bangsa kuno lainnya, bangsa Romawi misalnya. Dalam tradisi romawi kuno, membaca tanda-tanda lama tersebut di bebankan kepada para pemuka agama yang dinamakan “Augur”, para Augur bergabung dalam sebuah badan yangh dinamakan “Collegium”.

Tugas para Augur mencari dan mencatat tanda-tanda alam seperti tanda-tanda yang diberikan burung yang dianggap suci oleh mereka, serta mencatat tempat suci dimana tanda itu terlihat kemudian menafsirkannya. Khusus mengenai pedoman teknis dilapangan, mereka memiliki kumpulan buku acuan yang dinamakan “Libri Augurales”.


(ilustrasi seorang Augur)

Tidak hanya itu, dalam satuan Augur, ada yang disebut “Auspicia”, yang artinya penyelidik burung, para Auspicia memperhatikan tanda-tanda bukan untuk mendapatkan jawaban atas kejadian dimasa depan, tapi apakah perbuatan tersebut direstui atau tidak oleh dewa mereka, perlu diingat sama halnya dengan moyang orang Bulungan yang percaya bahwa para roh leluhur mereka menitipkan pesan melalui tanda-tanda alam, bangsa romawi kunopun percaya bahwa pesan-pesan tersebut disampaikan oleh Dewa Jupiter melalui tanda-tanda alam juga.

Jadi walaupun setiap orang pada masa itu boleh menafsirkan tanda-tanda alam menurut pandangan mereka dan untuk keperluan mereka sendiri, namun jika berhubungan dengan negara khususnya pada tanda-tanda yang diberikan oleh burung, maka hanya badan khusus yang disebut “Auspicia Publica Populi Romani’” yang boleh menafsirkan tanda-tanda burung tersebut secara resmi, dan badan khusus ini berada di bawah tanggung jawab Augur.

Tanda-tanda alam menurut bentuknya oleh bangsa romawi lebih kompleks lagi, setidaknya ia dibagi lima macam yaitu:

1). Tanda-tanda yang diberikan oleh burung (signa ex avibus). Dalam hal ini hanya Auspicia yang dipercayai untuk menafsirkannya.

2) . Tanda langit (signa ex caelo), yang dikaji khususnya pergerakan kilat atau guntur, kilat yang dianggap baik apa bila nampak disebelah kira Augur dan berjalan kearah kanan, dan tidak baik kalau sebaliknya.

3). Tanda yang terlihat dalam gerak-gerik anak ayam apbila makan. Dianggap sebagai tanda baik kalau anak ayam itu berlarian u7ntuk makan dengan lahap bahkan sapai berceceran, tapi kalu nafsu makannya tidak terlihat saat makan, maka dianggap pertanda buruk. Pertanda macam ini konon digunakan saat tentara sedang pergi berperang, biasanya anak ayam itu khusus dibawa dan dirawat oleh petugas yang khusus juga namanya “Pullarisius”.

4). Tanda-tanda yang diberikan apabila binatang bersuara atau bergerak, seperti hewan berkaki empat atau ular yang bergerak ditanah.

5). Tanda yang diberikan oleh gejala yang menakutkan, seperti apa bila ada barang yang jatuh, suara yang tiba-tiba terdengar atau orang tergelincir dan sebagainya.

Sama halnya dengan para Augur dan Auspicia yang hilang ditelan zaman, tradisi membaca tanda-tanda alam dikalangan orang Bulungan ini lama-lama sudah tidak lagi terdengar atau dipercayai lagi.

Sumber:

Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII).

Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.

Soetomo Mangoen Rahardjo. 1976. “ Ikhtisar pokok dan tokoh Mitologi Yunani-Romawi”, Bandung: PT. Terate.

Jumat, 10 September 2010

Sultan Datu Alam Muhammad Adil (1873-1875)

Dalam sejarah bulungan, ada salah seorang Sultan yang menurut penulis pantas untuk dibicarakan di pentas sejarah, ia tidak lain adalah Sultan Datuk Alam Muhammad Adil. Ia adalah Sultan pertama yang terang-terangan menantang kolonial Belanda di Bulungan. begini hikayatnya.

Datuk Alam gelar Sultan Muhammad Adil, begitulah ia dikenal, naik tahta sebagai Sultan Bulungan pada tahun 1873. Ia adalah putra pangeran Maulana, seorang anak yang lahir dari pernikahan Sultan Alimuddin dengan Aji Aisyah dari Tanah Tidung.

Sebelum Sultan Datuk Alam Muhammad Adil naik tahta, Kesultanan Bulungan sempat memasuki kondisi politik yang kurang stabil, ini dipicu adanya kubu-kubu politik yang mulai muncul kepermukaan, istana pada saat itu terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu Sultan Muhammad Kaharuddin (sultan yang sebelumnya berkuasa) dan kubu Datu Alam. dimasa Sultan Kaharudiin inilah Belanda sempat mencoba menanamkan pengaruhnya kepada Kesultanan Bulungan yang kemudian di tandai sebuah perjanjian kontrak politik atau Korte Verklering pada 12 November 1850.

Para sejarawan berpendapat perjanjian tersebut mengakhiri kedaulatan Kesultanan Bulungan, baik secara de fakto maupun de jure secara hukum Kesultanan Bulungan berada dibawah pengaruh Belanda.

Memang jika mengacu pada informasi tentang poin-poin kontrak politik atau Korte Verklering secara umum, Kesultanan Bulungan berada dalam posisi sulit, poin-poin dari Korte Verklering secara umum adalah sebagai berikut:
1) Raja mengakui dan tunduk pada Pemerintah Belanda sebagai penguasa tertinggi.
2) Raja mengakui dan mentaati semua peraturan yang di keluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
3) Raja tidak mengikat perjanjian dengan Negara-negara lain.

Perjanjian Korte Verklering inilah yang dianggap tidak berlaku oleh beliau, ini dikarenakan sifat dari Korte Verklering tidak mengikat lagi pada Sultan selanjutnya, itulah sebabnya terkadang perjanjian yang dibuat antara Sultan yang sebelumnya berkuasa dengan Sultan penggantinya tidak sama bentuknya, itu artinya perjanjian dengan raja yang digantikan tidak secara otomatis berlaku pada raja yang menggantikannya.

Karena itu sikap Sultan Datu Muhammad Adil yang tidak mengakui perjanjian antara Kesultanan Bulungan dengan Belanda tahun 1850 itu, dapat dikatakan gugur pula demi hukum, karena pada dasarnya tidak satupun ada perjanjian yang sah sifatnya jika hanya di akui oleh satu pihak, apalagi jika menyangkut hubungan diplomatik antar kedua negara.

Sultan bahkan merealisasikan sikap tersebut dengan membangun istana baru dan terbesar dalam sejarah Kesultanan Bulungan yang kemudian hari dikenal dengan nama Darul-Aman di sebelah hilir istana lama, seolah menegaskan kembali bahwa perjanjian 12 November 1850 atas Bulungan tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya.

Dimasa pemerintahannya Sultan dikenal dekat dengan rakyat dan ulama, dalam menjalankan pemerintahannya, beliau lebih banyak menggunakan pendekatan keagamaan, karena memang beliau juga seorang ulama, sikap yang diambil Datu Alam yang tidak mau bekerja sama (Non-Kooperatif) dengan Belanda merupakan sikap umum yang hampir dimbil oleh para ulama dimasa itu, beliau juga sempat merenovasi masjid lama, Mesjid Jami’ Tanjung Palas sehingga dapat menampung lebih banyak jamaah shalat disana.

Dilain pihak Belandapun nampaknya paham bahwa Inggris tidak akan menarik diri dari kawasan Kalimantan bagian utara. Bagi Inggris Kalimantan utara sangat penting mengingat posisinya yang strategis di Laut Cina Selatan. karena itu perjanjian yang dibuat nampaknya dimaksudkan oleh belanda agar dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk mengusir para pedagang Inggris atau yang dikenal dengan nama County Traider.

Keberadaan para Country Trader di perairan Nusantara ternyata menyadarkan pemerintah Hindia Belanda akan ancaman pemerintahan Kolonial Inggris, wilayah-wilayah yang bebas dari pengawasan pemerintah Hindia Belanda tidak sedikit yang menjalin hubungan dengan para pedagang Inggris dari Singapura, mereka menukarkan hasil bumi negeri mereka dengan berbagai jenis senjata api dan meriam, terutama meriam putar milik Inggris, para pedagang Inggris dengan senang hati memasarkan barang produksi persenjataan mereka serta megajarkan pada kerajaan-kerajaan pribumi yang menjalin hubungan dengan mereka cara menggunakan dan merawat senjata api itu. kepemilikan senjata-senjata api oleh kerajaan-kerajaan yang berdaulat semakin menegaskan kekuasaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan tersebut, dilain pihak kemajuan teknologi persenjataan kerajaan-kerajaan tersebut akan semakin mengancam kedudukan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di kawasan Nusantara.

Belanda dibuat gelisah setelah James Brook, seorang petualang Inggris yang mengunjungi Kesultanan Brunei 1840 dan memberikan ganti rugi untuk menguasai Bandar niaganya, sikap James Brook mendapat rekasi protes dari pemerintah Kolonial Belanda, namun Inggris beralasan bahwa negaranya belum berniat menjadikan Brunei sebagai koloninya, walaupun sejarah akhirnya membuktikan Inggris akhirnya berhasil menjadikan kawasan Kalimantan utara (Nort Borneo) sebagai wilayah koloninya. Inggris memang cukup lunak dengan Belanda berhungan dengan masalah Bengkulu, mereka setuju menukar Bengkulu dengan Malaka pada 1824 sesuai dengan ketentuan Traktat London 17 maret 1824, Namun dalam hal Kalimantan, khususnya Serawak dan tentunya juga Sabah, Inggris tidak memberi tanggapan yang tegas terhadap protes Belanda, Inggris berkilah bahwa kegiatan James Brook tidak ada hubungan dengan pemerintah Inggris. Tetapi sejarah pula mencatat, dari Serawak Inggris mampu melebarkan pengaruhnya bahkan mulai bergerak mendekati kawasan Teluk Sebuku, pintu gerbang di utara Kesultanan Bulungan. Labuan yang dijadikan sebagai pangkalan Angkatan Lautnya pada tahun 1846 diperoleh berdasarkan perjanjian Sultan Brunei dengan James Brook, kecemasan pemerintah kolonial Belanda makin besar.

Sukses yang didapatkan oleh James Brook ternyata juga mengilhami para Country Trader lainnya, J. Erskine Murray salah satunya, ia mencoba mengadu untung mengikuti jejek James Brook, ia bermaksud membangun pengaruhnya di Kalimantan Timur, itulah sebabnya pada bulan February 1844, J. E. Murray membawa armada dagangnya yang dilengkapi dengan meriam-meriam besar, armada tersebut adalah kapal skunar bertiang tiga, The Young Queen dan The Anna, setibanya di Kutai J. E. Murray justru bukan hanya ingin berdagang, ia bahkan meminta pada Sultan Salehuddin untuk memberikan sebidang tanah untuk mendirikan Faktorij dengan alasan untuk melindungi para pedagang Inggris, dan mengancam akan menembaki Tenggarong jika permintaan itu tidak dipenuhi, Sultan tidak menerima sikap permusuhan tersebut, maka pecahlah perang antara Kesultanan Kutai dengan petualang inggris tersebut, J. E. Murray terbunuh dan armadanya diusir oleh Armada militer Kutai dibawah komando Sinopati Awang Long, perang ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Perang Tambak Maris.

Tidak hanya disitu, saat terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini, kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah ‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak James Brook namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan rencananya. keberadaan para pedagang Inggris tersebut di perairan kalimantan merupakan bukti bahwa perjanjian itu hanya terjadi di atas kertas saja.

Bagi belanda, menghentikan laju kekuatan inggris di utara di mulai dari Bulungan, Belanda berupaya mendapatkan hak atas wilayah kesultanan Bulungan, selanjutnya dijadikan kawasan penyangga untuk memblokade pengaruh Inggris khususnya dari wilayah Sabah. Siasat ini sejalan dengan politik pembulatan wilayah (Afronding Politiek) untuk mewujudkan apa yang mereka sebut dengan nama Pax Nederlandica (wilayah aman dan tertib dibawah naungan Belanda). Namun sikap tidak bersahabat yang ditunjukan oleh Sultan Datu Alam muhammad Adil, bagi Belanda akan menjadi duri yang besar bagi terciptanya keinginan tersebut, menariknya pihak kolonial Belanda ternyata enggan menggunakan kekuatan militer terhadap Sultan Bulungan ini.

Sikap Sultan Datu Alam Muhammad adil yang keras tersebut, akhirnya membuat beliau terhempas, pada sebuah jamuan yang dilakukan oleh Sultan dan di hadiri oleh pihak kolonial Belanda di Istananya, Darul Aman, Sultan tiba-tiba mendadak sakit dan akhirnya meninggal dunia, beliau diduga di racun saat perjamuan tersebut, Belanda dituding berada dibalik rencana konspirasi tersebut mengingat sikap permusuhan yang tujukan oleh Sultan terhadap pemerintah Kolonial Belanda selama ini. Pada tahun 1875 M / 1292 H, Sultan yang dicintai rakyatnya itupun akhirnya meninggal dunia.