Entri Populer

Sabtu, 05 September 2009

Asal –Usul Nama Suku Bulungan Dalam Legenda Masyarakat.


Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. Cerita-cerita yang berisi tentang kisah orang-orang terkemuka diantara mereka maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya disampaikan dari mulut kemulut selama beberapa generasi. Hal ini dapat dipahami karena Suku Bulungan pada dasarnya adalah suku bangsa penutur (menyampaikan sebuah peristiwa dengan cara dilisankan, Oral Tradition), oleh karena itu, mereka tidak memiliki abjad atau alfabet tersendiri, setelah agama islam masuk dan berkembang di Bulungan serta dipeluk oleh mayoritas suku Bulungan, barulah mereka mengenal tulis-menulis huruf arab murni maupun huruf Jawi (arab-melayu).

Konon cerita asal-usul suku Bulungan dimulai dari kisah kehidupan Ku Anyi, Ku Anyi adalah seorang kepala Suku Dayak Hupan (Dayak Kayan Uma Apan) mereka tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan.

Hingga masa tuanya Ku Anyi ternyata belum dikaruniai seorang anak. ketika suatu hari, pada saat Ku Anyi berburu di hutan, ia mendengar suara aneh. Anjing berburunya menyalak keras kearah sebatang bambu betung dan sebutir telur diatas pohon Jemlai. Karena rasa penasarannya, bambu betung dan sebutir telur tersebut dibawanya pulang dan diletakan di perapian dapur. Keesokan harinya kedua benda tersebut berubah menjadi dua sosok bayi mungil laki-laki dan perempuan. Akhirnya, Ku Anyi dan Istrinya memberikan nama Jau Iru yang artinya “si Guntur Besar” pada bayi laki-laki dan Lemlai Suri pada bayi perempuan tersebut, keduanya dipelihara dengan baik hingga dewasa.

Peristiwa aneh ini oleh masyarakat dinamakan Bulongan (bambu dan telur), pada perkembanganya menjadi Bulungan. Versi lainnya menyebutkan Bulungan berasal dari perkataan “ Bulu Tengon”, karena perubahan dialek dari bahasa bulungan kuno ke bahasa melayu menjadi Bulungan. sebutan ini digunakan sampai saat ini.
Karena keduanya bukan saudara Kandung maka merekapun dinikahkan oleh Jua Anyi. Sejak itu keturunan dari pasangan Jau Iru dan Lemlai Suri menjadi pemimpin suku beturut-turut mulai dari Putranya Jau Anyi kemudian Paren Jau, Paren Anyi, Putri Pren Anyi yaitu Lahai Bara yang bersuamikan Wan Peren.

Pada masa pemerintahan Lahai Bara, menurut penuturan sumber Tradisonal masyarakat suku Bulungan, terjadi sebuah peristiwa ajaib, ini terjadi pada saat kematian ayahnya Paren Anyi tiba, Peren Anyi berpesan pada putrinya Lahai Bara untuk menguburkan jenasahnya didalam sebuah peti (Lungun) kearah hilir sungai Kayan.
Ternyata, saat kematian Paren Anyi tidak seorang pun warga menyimpan perahunya didaratan. Oleh karena itu Lahai Bara berjalan dari pesisir berputar hingga kearah hilir sungai kayan sambil menyerat dayung (besai) miliknya sambil meyeret Lungun atau peti mati ayahnya.

Riwayat lain menyebutkan bahwa lahai bara meyeret dayungnya mulai dari tepi sebelah barat menuju tepi sebelah timur Tanjung Sungai Payang, dari situ putuslah tanah bekas goresan dayung tersebut.

Akibatnya, terjadi sebuah keajaiban, bekas seretan dayung Lahai Bara tersebut justru membelah kawasan tersebut dan menghasilkan sebuah daratan baru yang dinamakan Pulau Mayun (Pulau Hanyut). (Pulau ini terletak di muara sungai Batang di Hulu kampong Long Pelban, tempat ini kemudian dianggap keramat oleh para bagsawan Bulungan, akibatnya seorang Controleur van Bulungan bernama Mayers (1921-1922) mengirim sebuah ekspedisi untuk membongkar kawasan pekuburan batu yang terdapat ditempat tersebut dengan tujuan agar kawasan itu dapat dilalui oleh bangsawan Bulungan, namun tidak begitu lama iapun diserang penyakit yang hebat sehari kemudian iapun meninggal dunia).

Selain itu ada pula peninggalan lain, sumber tradisional Bulungan menyebutkan ada sebuah Mandau (parang tradisonal suku dayak) yang bernama Batu Besi Kelu yaitu sejenis obsidian, batu kaca berwarna kehitaman yang terbentuk dari lahar cair yang cepat membeku. Ada pula yang meyebut Batu Besi Kelu merupakan serpihan dari pecahan batu Meteor.

Generasi selanjutnya adalah setelah Lahai Bara adalah Simun Luwan. Simun Luwan memiliki dua orang anak yaitu Sadang dan adik perempuannya yaitu Asung Luwan
Pada masa Sadang tercatat tahun pemerintahannya terjadi pada 1548-1555, sesuai catatan Datuk Mansur. Dari periode inilah babak baru suku Bulungan yang pada masa itu bernama Uma Afan di Mulai, yaitu terjadinya pernikahan antara Datuk Mancang, konon seorang Pengeran Brunai dengan Asung Luwan terjadi, dari keturunan dari keduanya inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Bulungan.

KISAH PERJUANGAN AL-ALIMUL’ ALLAMAH HABIB. IDRUS BIN SALIM AL-DJUFRI DALAM MEMBANGUN BULUNGAN



Habib Idrus Bin Salim Al-Jufri adalah nama yang tak asing lagi bagi para pencinta habaib di indonesia, Guru tua ( guru sepuh ) demikian panggilan akrab beliau, sempat menjalani hidup dan mengajar di Bulungan yang pada waktu itu masih dikenal dengan nama Kesultanan Bulungan. Tak banyak memang tulisan yang mengungkapkan kisah-kisah Guru Tua semasa di Bulungan, padahal beliau merupakan pelopor sekaligus pendiri institusi pendidikan klasikal Islam modern pertama di Bulungan, almarhum begitu dikenang dihati masyarakat Bulungan bahkan hingga saat ini.

Pendidikan Islam di Bulungan sebelum kedatangan Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie.

Tak seperti saat ini, dimasa lampau pendidikan agama di Bulungan awalnya dilakukan secara sederhana, anak-anak didik oleh para Imam mesjid membaca Alqur’an, tulis-menulis huruf Arab murni maupun Jawi (tulisan Arab Melayu), mengenal pembelajaran agama Islam seperti Fiqih dan Aqidah. Kegiatan ini biasanya dilakukan di Mesjid atau di Surau maupun Langgar yang berada diwilayah Kesultanan Bulungan dimasa itu. Untuk keluarga kesultanan biasanya memilki guru mengaji yang khusus dan tinggal di istana.

Barulah pada masa pemerintahan Sultan Kasimuddin (1901-1925), Sultan Bulungan yang ke delapan, pendidikan di Bulungan mulai menampakkan hasil yang cukup baik. Dengan dalih menerapkan politik etis, sistem pendidikan klasikal mulai diperkenalkan oleh Belanda di Bulungan. Tercatat pada masa Sultan Kasimuddin, Sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda mulai dibangun. keberadaan sekolah-sekolah ini diketahui dari catatan Datuk Perdana bin datuk mansyur, Menteri ke-II Kesultanan Bulungan:

… Tahun 1911 barulah mulai didirikan dua buah sekolah jang dinamakan sekolah desa pertama Tandjung Selor kedua Tandjung Palas.
Didirikan disana klas I sampai klas III tammat, tahun itu djuga menjusul pembukaan sekolah Gouvernement klas II untuk sambungan sekolah desa tersebut berdjumlah tingkat pertama dan kedua itu didjadikan 5 klas.
Di bahagian pedalaman dimulai pada tahun 1923 barulah sekolah disana dibuka hingga sekarang. Sekolah-sekolah diperuntukan untuk kaum bumi putra ini adalah sekolah kelas II, untuk mendidik calon-calon pegawai rendah sedangkan untuk sekolah kelas I diperuntukan bagi anak-anak dari golongan atas.

Namun sayangnya sekolah yang berada dibawah pemerintah belanda ini umumnya bersifat Skuler, lebih dari itu ada kesan bahwa melalui model pendidikan seperti ini mendidik generasi muda Bulungan bermental Belanda. Untuk menandingi pengaruh pemerintah Kolonial Belanda di bidang pendidikan, Sultan Kasimuddin yang memang dikenal dekat dengan para Habaib dan ulama ini mengundang seorang ulama yaitu H. Syahabuddin Ambo Tuwo dari Wajo sebagai guru agama Islam di Istana Kesultanan Bulungan, beliau pula yang kemudian menulis naskah Alqur’an dengan tangan beliau sendiri dan dalam waktu yang cukup lama disimpan oleh kerabat Kesultanan Bulungan.

Selain H. Syahabuddin Ambo Tuwo, di Bulungan tercatat beberapa ulama-ulama yang di undang dan mengunjungi Kesultanan Bulungan untuk mengadakan ceramah-ceramah agama, antara lain : Sayyid. Alwi bin Abd. Rachman Idrus dari Hadramaut, Sayyid. Muchsin Al-Attas dari Bogor dan Sayyid Hasan bin Sayyid Yamani dari Bogor.

Guru Tua dan Institusi Pendidikan Islam di Bulungan

Syukur Alhamdulillah, sekitar tahun 1940-an, kebangkitan pendidikan Islam di Bulungan mencapai eskalasi (peningkatan) yang sangat berarti. Dapat pula dikatakan sebagai Nahdah Al-Islamiah atau kebangkitan Islam khususnya dalam bidang pendidikan. Momentum kebangkitan pendidikan agama Islam di Bulungan salah satunya ditandainya dengan kedatangan A’lim ulama dari Palu (Sulteng) beserta rombongannya
di Bulungan yaitu:

1. Al-Alimul’ Allamah Habid Idrus bin Salim Al-Jufri.
2. Ustaz Sayyid. Saggaf bin Syeckh Al-Jufri.
3. Ustaz Rustam Arsyad.
4. Ustaz Yunus.
5. Ustaz Syamsudin.
6. Ustaz Abd. Hay.
7. Ustaz Nuh.
8. Ustaz Abd. Hamid.

Para Ulama ini datang di Tanjung Selor dan tinggal dirumah salah seorang pemuka masyarakat Arab yang bernama Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal. Menurut riwayat yang terpercaya, bahwa Al-Alimul’ Allamah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri dan Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal pernah mengenyam pendidikan yang sama di Hadramaut di bawah asuhan Sayyid. Abdullah bin Umar Syatri.

Dikarenakan Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal seorang peranakan arab namun belajar di Hadramaut, itulah sebabnya Al-Alimul’ Allamah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri langsung menuju kediaman Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal, begitu tiba di Tanjung Selor.

Menurut salah satu sumber tertulis Al-Khairaat, kedatangan Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie ke Bulungan (Kalimantan) sebagai bagian dari rencana perjalanan panjang ke Sumatra melalui Kalimantan dan jawa, namun perjalanan hanya sampai di Bulungan (kalimantan timur). Sultan Bulungan yang berkuasa saat itu, Maulana Mohammad Djalaluddin (1931-1958) meminta secara langsung agar Habib Idrus bin Salim Al-Jufri untuk menetap dan mengajar di Bulungan dalam waktu yang lama. Pada waktu diadakan rapat, pemuka masyarakat Bulungan sangat berantusias dan mendukung penuh rencana pembangunan madrasah tersebut.

Madrasah di Tanjung Selor didirikan secara swadaya oleh masyarakat Tanjung Selor, di sponsori oleh Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal dan Enci Muhammad bin Enci Hamid, maka didirikanlah sebuah madrasah bernama Madrasah Al-Ma’arif yang resmi dibuka pada tanggal 15 april 1940. Tenaga pengajarnya antara lain:

1. Al-Alimul’ Allamah Ustaz Sayyid. Idrus bin Salim Al-Jufri.
2. Al-Ustaz Sayyid. Saggaf bin Syeckh Al-Jufri.
3. Al-Ustaz Rustam Arsyad.
4. Al-Ustaz Yunus.

Madrasah tersebut didirikan diatas sebuah lahan yang di wakafkan oleh seorang saudagar yaitu H. Mohammad Saleh bin Lapunding. Semoga Allah SWT melapangkan beliau dalam istiratnya yang panjang.

Di Tanjung Palas, ibu Kota Kesultanan Bulungan dibangun pula Madrasah yang bernama Al-Ulum yang disponsori oleh Alm. H. Andi Adam bin Petta Lolo dan H. Abdul Fatah bin Abdul Gani. Peresmiannya pun sama dengan Madrasah Al-Ma’rif yaitu pada 15 april 1940. Madrasah Al-Ulum berdiri ditanah wakaf Sultan Bulungan yang berdekatan dengan lokasi Mesjid Jami’ Kasimuddin. Tenaga pengajarnya antara lain:

1. Al-Ustaz Syamsudin.
2. Al-Ustaz Abd. Hay.
3. Al-Ustaz Nuh.
4. Al-Ustaz Abd. Hamid.

Pada peresmian kedua madrasah tersebut, Masyarakat menyumbang dua ekor sapi pada masing madrasah ungkapan rasa syukur atas berdirinya kedua pilar pendidikan agama Islam di Bulungan tersebut.

Sejatinya Al-Ma’rif dan Al-Ulum merupakan Al-Khairaat itu sendiri, - para tetua dahulupun paham betul hal itu, bahkan ada yang mengatakan bahwa Al-Ma’rif dan Al-Ulum hanyalah nama gedung sekolahnya saja - ini tak lain karena para guru dan institusi yang membawahinya berada langsung dibawah pengawasan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Disinyalir penamaan Al-Ma’rif dan Al-Ulum hanyalah upaya mengecoh pihak Belanda yang ada di Bulungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa Belanda tidak menginginkan adanya Al-Khairaat sebagai institusi tandingan terhadap sekolah Belanda di Bulungan, belum lagi kharisma Guru Tua yang menawan hati banyak orang.

Namun apa bila Belanda mencoba mengganggu Al-Ma’rif dan Al-Ulum, sama artinya mereka mengganggu Sultan Bulungan. Apalagi Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sendirilah yang secara langsung meminta Habib Idrus Bin Salim Al-jufri untuk menetap dan mengajar di Bulungan dalam waktu yang lama. Controleur Belanda di Bulungan ternyata lebih memilih untuk tidak berpanjang mulut dalam hal ini.

Kegiatan madrasah yang berlangsung antara tahun 1940-1941 di Bulungan sempat terhenti pada saat 20.000 tentara Jepang yang merupakan gabungan Nihon Rikugun (AL) dan Teikoku Kaigun (AD) menyerbu dan menduduki pulau Tarakan pada 12 Januari 1942 dibawah komando Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi dan Kolonel Kyohei Yamamoto atas perintah Admiral Takeo Kurita.

Letkol (overstee) S. de Waal yang saat itu mempertahankan Tarakan dengan kekuatan 1.300 personil gabungan Angkatan Darat Belanda / KNIL (Koninkluk Nederlandsch Indisch Leger), Angkatan Udara Belanda (Militaire Luchtvaart) dan Angkatan Laut Hindia Belanda (Zeemach Nederlands Indie) serta pegawai BPM (Bataafsce Petroleum Maatschapij) ternyata gagal menjalankan tugasnya.

Berita kekalahan Belanda oleh tentara Jepang disatu sisi tidak hanya menimbulkan kekaguman namun juga kekhawatiran, hanya masalah waktu sampai pasukan Jepang memasuki istana dan meminta kesetian Sultan Djalaluddin pada mereka. Kondisi ini makin diperparah dengan kenyataan bahwa di Tanjung Selor masih ada garnisun KNIL Bulungan yang masih utuh, tentara Jepang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyamakan nasib tentara KNIL Bulungan itu dengan rekan-rekan meraka yang ditenggelamkan secara masal di Tarakan .

Kekhawatiran ini menjadi nyata ketika tanggal 05 February 1942 pada jam 03.00 tentara Jepang memasuki kota Tanjung Selor dan Tanjung palas. Akibatnya masyarakat mengungsi, termasuklah rombongan Al-Alimul’ Allamah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri di bawa ke kampung Sekang oleh Syech Salim Djumaan. Jarak dari Tanjung Selor ke kampung Sekang sekitar 1 jam perjalanan menggunakan perahu Tempel pada saat itu.Tidak berapa lama kemudian, beliau beserta rombongan kembali ke Palu dengan menumpang perahu bugis (Pinisi) dan menetap disana.

Salah seorang yang ikut dalam rombongan Habib Idrus kembali ke Palu adalah Mahfud Godal, seorang pemuda keturunan Arab kemudian kelak dikenal sebagai Kyai Haji Mahfud Godal, seorang ulama lulusan Al-Khairaat kelahiran bulungan yang harum namanya.

Pada tahun 1948, setahun sebelum Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung secara resmi dengan Republik Indonesia, ustadz mahfud Godal kembali ke Tanjung Selor membuka kembali Madrasah Al-Ma’rif dari tahun 1948-1949 dengan tenaga pengajar ustadz H. Masykur. Sayangnya sekolah ini tak lama, namun keberadaannya menjadi berkah yang tak terhingga sekaligus mengobati rasa rindu terhadap Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Sekitar tahun 1952 ustadz Mahfud Godal kembali ke Palu, sebelumnya antara tahun 1950-1952 beliau diminta untuk membantu Kantor Urusan Agama Kabupaten Bulungan yang pertama kali baru dibuka, disini beliau sempat menjabat sebagai Kepala Bagian Kepanghuluan.

Kegitan madrasah kembali hidup pada tahun 1969 hingga 1979, sekolah Al-Ma’rif dipimpin oleh Ustadz M. Said sedangkan Al-Ulum dipimpin oleh Ustadz Aidid Palisando, keduanya sama-sama berasal dari Al-Khairaat Palu. Tahun 1979 Ustadz M. Said pindah ke Tarakan, Madrasah Al-Ma’rif tetap berjalan dan sempat diasuh oleh Ustadz Syahabuddin imam Mesjid Jami Al-Hidayah – sekarang bernama mesjid Said Ahmad Al-Kaff,- sedangkan di Tanjung Palas sejak Ustadz Aidid Palisando hijrah kembali ke Palu, madrasah ini di asuh oleh Ustad Yahya dibantu oleh H. Abd. Fatah.

Dikemudian hari nama Al-Ma’rif perlahan berubah menjadi nama Madrasah Al-Khairaat sebagaimana mestinya, disinilah kurikulum pendidikan Al-Khairaat disatukan. Gedung bangunan ini masih berdiri kokoh hingga sekarang walau sudah diganti dengan bangunan kayu menjadi bangunan beton. Sedangkan Al-Ulum tidak demikian, bangunan ini sempat dibongkar sebelum akhirnya dibangun lagi menjadi sekolah TK.

Pada tahun 2003 secara resmi Pondok Pesantren Al-Khairaat Bulungan resmi berdiri dibawah kepemimpinan Kepala Pondok Pesantrennya Drs. Sayyid Muthahar Al-Jufri, seorang Ustadz kelahiran Kampung Arab Tanjung Selor (Bulungan) yang lama mengenyam pendidikan dan kemudian menjadi pengajar di Al-Khairaat Palu. Pesantren ini adalah bentuk manifestasi dari kurikulum Al-Kahiraat dan dipadukan dengan pendidikan umum.

Untuk saat ini Pondok Pesantren Al-Khairaat memfokuskan untuk mendidik santri ditingkat SMP dan Aliyah, sedangkan Madrasah Al-Khairaat yang sebelumnya sudah lama berdiri memfokuskan diri untuk mendidik anak-anak pada tingkatan Ibtidaiyah dengan kepala sekolahnya saat ini Ustadz Riduan L. Labago yang juga merupakan pengajar tetap pada Ponpes Al-Khairaat Bulungan.

Al-Khairaat memiliki struktur organisasi yang telah mapan. Di Bulungan saja saat ini juga terdapat organisasi Wanita Islam Al-Khairaat (WIA) yang dipimpin oleh Ustadzah Hj. Sy. Aminah Al-Jufri yang aktif menyokong Al-Khairaat dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Al-Khairaat bulungan juga memiliki komisaris Daerah (KOMDA) dibawah tanggung jawab Drs. Alwi Al-Jufri.

Walaupun terbilang muda Pondok Pesantren Al-Khairaat antara rentang waktu 2003 hingga 2010 mencatat prestasi yang mengagumkan tak hanya pada tingkat Kabupaten melainkan juga Provinsi. Para pelajar lulusan Al-Khairaat yang berprestasi akan disekolahkan lagi ke luar negeri di antaranya di Yaman, Mesir bahkan hingga sampai di Syiria. Pengiriman alumni Al-Khairaat ke madrasah-madrasah ke luar negeri memang merupakan kebijakan yang telah lama di jalankan oleh Al-Khairaat pusat, namun bagi Al-Khairaat di Bulungan, pengiriman anak-anak Bulungan di madrasah-madrasah luar khususnya di Yaman memiliki nilai history tersendiri.

Sekolah ke Yaman bagi anak-anak bulungan merupakan bentuk rekatnya kembali transper keilmuan dan poros dakwah Yaman-Bulungan yang telah lama terputus bertahun-tahun lamanya, sekaligus melepas rasa rindu pada kampung halaman yang Abi dan Uminya belum tentu menginjakkan kaki di tempat tersebut. Sebagian dari pelajar tersebut memang merupakan keturunan Arab di Bulungan yang jumlahnya memang tidak sedikit. Di kalimantan Timur khususnya di Bulunganlah terdapat komunitas keturunan Arab yang beragam.

Dari lembah-lembah bebatuan yang dingin hingga ke perairan teduh yang hangat, beribu-ribu Habaib hijrah dari tanah kelahirannya menuju kepulauan Indonesia termasuk guru kita, Al-Alamah Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufri membawa cahaya kebenaran Agama Allah. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka dalam istarahatnya yang panjang. Amin

Epilog

Habib Idrus bin Salim Al-Jufri merupakan orang yang meletakan pertama dasar pendidikan Islam modern di Bulungan, mengapa demikian? pada masa itu sekolah milik Gouvernement Belanda yang menerapkan sistem klasikal dan cendrung berkurikulum skuler, sehingga jauh dari nuansa keagamaan maka pendirian madrasah yang dirintis oleh beliau dan masyarakat Bulungan dengan sistem klasikal Modern merupakan usaha untuk mendobrak sistem pendidikan agama Islam di Bulungan yang pada masa itu yang masih menganut system pembelajaran tradisional, itulah sebabnya Madrasah Al-Ma’arif dan Madrasah Al-Ulum merupakan model pendidikan berbasis agama Islam pertama di Bulungan yang setara dengan pendidikan modern Belanda yang mengabaikan pendidikan agama Islam.

Beliau mengajarkan semangat untuk meraih pendidikan modern tanpa harus meninggalkan yang pendidikan dasar bagi kita yaitu pendidikan agama Islam sebagai pondasi berpijak kita baik kehidupan dunia maupun diakherat kelak. Kepergian Almarhum Habib Idrus merupakan sebuah kehilangan yang teramat sangat dirasakan oleh masyarakat, pun demikian pula di Bulungan, sebuah kepergian dibayar dengan manis, jejak-jejak luhur yang dikenang sepanjang masa.

Catatan.

Saya sebagai penulis menghaturkan terimaksih sebesar-besarnya kepada para pembaca, terkhusus lagi pada Said Mohammad Al-Jufri (Ami Abang) dan Ustadz Yahya yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca dan memberikan kritik serta saran agar tulisan ini layak dipandang sejalan dengan sejarahnya.

Sayapun mengucapkan syukur atas nikmat yang Allah berikan, tak lupa sayapun mengucapkan terimaksih kepada Drs. H. Said. Muttahar Al-Jufrie dan Ustadzah Aminah Abdillah Al-Jufrie karena memperkenankan tulisan kecil ini menjadi salah satu ulasan dalam Buletin kedua Pondok Pesantren Al-Khairaat tempat saya mengabdi saat ini, tepatnya pada Edisi II, tahun 1433 H / 2012 M, hal. 25 - 31. 

Teruntuk beliau semua, saya doakan agar dilimpahkan kesehatan selalu. sayapun berharap tulisan kecil ini dapat berguna bagi pembaca budiman dan kita dapat meneladani perjuangan Alayarham Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie. Amin

Sumber:

Copy naskah ketikan Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur. “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.

H.E. Mohd. Hasan dkk, “Sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Bulungan” oleh Panitia Abad XV H. Kabupaten Bulungan, Tanjung Selor. 26 November 1981 M / 29 Muharram 1402.

Sofian B. Kambay, “Perguruan Islam AlKhairaat Dari Masa Kemasa”. Palu, April 1991.
Ali Amin Bilfaqih, H. Sayyid. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Dialog, “Khazanah Pemikiran Ulama Melayu”, no. 64. Tahun XXX, November 2007.

Majalah Kisah Islami Alkisah, No.4 / Tahun VI / 11-24 Februari 2008.

TANJUNG PALAS, KAB. BULUNGAN, DALAM LINTASAN SEJARAH


(Istana kesultanan Bulungan Darul Aman).

Kota Tanjung Palas memiliki warna tersendiri dari perjalanan sejarah kesultanan Bulungan, secara administratif kota yang dulunya merupakan pusat pemerintahan dan sekarang ini menjadi ibu kota kecamatan tanjung palas ini menurut penuturan sejarah dibangun pada masa Aji Ali gelar Sultan Alimuddin atau Alimuddin the Concuare yang berkuasa pada tahun 1777-1817, beliau memindahkan ibu kota lamanya yaitu Salim Batu ke Tanjung Palas, ada dua versi yang menjelaskan sebab kepindahan Ibu Kota dari Salim Batu Ketanjung Palas ini, versi yang pertama menyebutkan bahwa Ibu kota dipindahkan karena saat itu Salim Batu dijadikan sebagai lumbung pangan bagi kerajaan, versi kedua menyebutkan bahwa tanjung palas menjadi ibukota pada tahun 1122 H atau 1710 M. peristiwa ini dipicu oleh keberhasilan pasukan Sultan Alimuddin mengusir bajak laut disekitar teluk Tawau, pada masa Sultan Alimuddin ia mengarahkan angkatan perangnya untuk mengusir gerombolan bajak laut disekitar perairan Tawaw dibawah komando putranya Raja Muda Ni’ dan menyatakan menaklukan wilayah Tawaw pada pada tahun 1122 H tersebut.

Menurut legenda, nama Tanjung Palas berasal dari kata Tanjung Kilas, hal ini disebabkan karena dahulu ditanjung tersebut pernah terdapat pernah tumbuh sepohon kayu kilas, sama halnya seperti “kembarannya” yaitu tanjung selor, nama tempat itu dahulu disebut Tanjung Kelor, karena di ujung tanjung tersebut pernah terdapat sebuah pohon kayu yang bernama kelor, dengan berjalannya waktu maka nama kedua tempat itu sekarang mengalami perubahan seperti yang dikenal sekarang yaitu tanjung palas dan tanjung selor.

Seberapa pentingkan kedudukan tanjung palas dalam lintasan sejarah bulungan? Menurut Robert Heine Geldern memberikan penilaian pentingnya ibukota kerajaan pada masa itu ia mengatakan bahwa“Ibu kota bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan suatu bangsa; ia juga merupakan pusat magis dari kerajaan”.

Pada saat pertama dibangun, tanjung palas memiliki fungsi sebagai wilyah pusat kegiatan politik diseluruh wilyah kerajaan, untuk menyatukan wilayah bulungan yang luas setelah Sultan Alimuddin berhasil melakukan perluasan wilayah, ia menjadikan tanjung palas sebagai pusat pemerintahan, disinilah Sultan Alimuddin (1777-1817) membangun Kraton pertamanya, berturut-turut kemudian di ikuti oleh Datu Alam dan bergelar Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil (1873-1875) yang membangun kraton yang ke II tidak jauh dari Kraton pertama dan yang terakhir Karaton ke III dibangun oleh Datu Tiras dan bergelar Sultan Djalaluddin (1939-1951) Sedangkan untuk rumah para bangsawan dan rakyat umumnya biasanya terletaka tidak jauh dari kompleks istana raja, saat ini sisa-sisa arkeologis Kraton-Kraton tersebut bisa disaksikan dengan adanya sisa-sisa monumen didepan bekas-bekas Kraton tersebut, dibangunnya Kompleks kraton di Tanjung Palas memberikan pemahaman bahwa tanjung palas pada masa itu menjadi pusat pemerintahan sekaligus aktifitas politik yang terpenting.

Menurut penulis letak Tanjung Palas yang dipilih oleh pendirinya sebagai ibukota bukan tanpa sebab, jika diperhatikan lebih lanjut tanjung palas ternyata diapit oleh perkampungan suku-suku yang tidak begitu jauh dari pusat kota, bisa jadi Sultan Alimuddin sengaja melakukan pemindahan ibukota agar dekat dengan basis-basis suku-suku yang ada di wilyah hulu tanjung palas yang secara tradisional merupakan pendukung sekaligus kekuatan utama dalam angkatan perang yang pernah dimilikinya saat melakukan perluasan wilayah, dengan kata lain dengan keberadaan tanjung palas yang berada tidak jauh dari pemukiman suku-suku yang tunduk pada pengaruhnya, sultan Alimuddin menjadikan tanjung Palas sebagai benteng pertahanan yang alami dalam menghadapi musuh tradisionalnya yaitu Bajak laut. Kedua Tanjung Palas terletak ditepi sungai besar (Sungai Kayan), ini memungkinkan Sultan mengontrol jalannya pemerintahan karena di wilayah ini sungai kayan merupakan jalan keluar masuk yang menghubungkan wilayah hulu dan hilir dalam wilayah kesultanan Bulungan. karena letaknya yang strategis ini, tidak terlalu ke arah muara, maupun terlalu menjorok ke arah hulu sungai, menjadikan tanjung palas strategis untuk dibangun menjadi pelabuhan dagang kesultanan bulungan. Tanjung palas juga dianggap sebagai tempat yang memiliki tuah atau tempat yang sakral bagi orang-orang bulungan disinilah nilai magis dari kota tersebut.

Sebagai pusat politik, Tanjung palas juga memiliki peran terhadap lahirnya kretifitas seni dan budaya beberapa jenis kesenian yang pertama adalah seni tari, yang berfungsi sebagai persembahan terhadap tamu kehormatan yang berkunjung ke istana, begitupula kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas kerajaan seperti naik tahtanya sultan dan lain sebagainya, biasanya didalam lingkup istana seni tari tidak sembarangan dapat dipamerkan, mengingat sifatnya yang formal dan sakral. seni tari juga berkembang dilingkungan rakyat kebanyakan, misalnya adalah Jepen Bulungan yang merupakan perpaduan budaya bulungan dan arab, selain itu berapa suku bangsa lain diluar suku Bulungan seperti suku Tidung, Arab, Dayak Banjar Bugis dan Cina lain sebagainya juga membawa seni tari yang menjadi ciri khas dari mereka yang semakin memperkaya khazanah seni dan budaya pada masa itu, selain seni tari adapula seni pertunjukan rakyat yang dikenal dengan nama Mamanda bulungan, selain seni tari dan pertunjukan rakyat juga berkembang seni ukir khas bulungan yang bermotifkan tumbuhan, juga tidak ketinggalan kaligrafi arab. seni ukir bulungan bukan hanya khas tapi juga memiliki cita rasa yang tinggi sebagai bentuk apresiasi masyarakat bulungan atau khususnya suku bulungan terhadap seni, contoh warisan seni ukir bulungan bisa dilihat dari ornamen yang banyak tedapat disudut masjid bersejarah Sultan Kasimuddin, seni ukir pada masa itu banyak digunakan untuk menghiasi istana, mesjid, rumah, nisan kubur maupun monumen penting pada masa itu. seni arsitektur juga berkembang, pada masa kesultanan bulungan, seni arsitektur berkembang pesat contoh kongkritnya adalah istana, mesjid juga tidak ketiggalan pada makam keluarga bangsawan tinggi bulungan pada saat itu. mahakarya yang masih tersisa saat ini hanyalah mesjid kasimuddin dan sebuah rumah yang tidak jauh dari museum kesultanan Bulungan mewakili bentuk arsitektur rumah orang bulungan pada masa silam. Selain keempat cabang seni diatas, juga berkembang seni mengolah masakan (Kuliner), seni mengolah masakan berkembang terutama dilingkungan istana, mengingat sultan sering menjamu para tamu kehormatan dan keluarganya, maka berkembanglah seni mengolah masakan pada masa itu, walaupun demikian seni mengolah masakan dikalangan rakyat juga berkembang cukup pesat.

pada momen-momen tertentu misalnya pada saat dilaksanakannya pesta rakyat atau Birau, seni khas bulungan akan sangat terlihat terutama seni tari seperti Jepen, seni ukir dan seni mengolaha masakan, sedangkan Mamanda Bulungan, beberapa tahun ini mulai ada usaha dari para seniman bulungan untuk diangkat kembali setelah sekian lama tenggelam. Birau sendiri menurut catatan sejarah berkembang pada masa pemerintahan Sultan Kaharuddin II (1875-1879), pada momen-momen inilah dipertunjukan perpaduan kesenian kraton dan kesenian rakyat hingga saat ini. jadi dapat disimpulkan bahwa ditanjung palas pada masa itu dan hingga sampai sekarang juga merupakan pusat kebudayaan bagi masyarakat bulungan, keterkaitan antara seni dan istana pada masa itu sangat kental mewarnai perjalanan kebudayaan diwilayah kesultanan Bulungan. maka tidaklah salah bahwa tanjung palas bukan hanya sebagai pusat politik namun ia juga menjadi pusat kerkembangan perdagangan dan kebudayaan yang menjadi Ikon bagi masyarakat bulungan khususnya suku bulungan itu sendiri.

Sumber Foto: koleksi Muhammad Zarkasy.

Jumat, 04 September 2009

MENELUSURI JEJAK SEJARAH & MITOS WARMOND



Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, namun di Kabupaten Bulungan Khususnya yang menetap di kota Tanjung Selor maupun Tanjung Palas, Warmond merupakan legenda sekaligus kebanggaan masa silam yang pernah dimiliki oleh daerah ini.

Keberadaannnya yang terkadang dikait-kaitkan dengan suasana mistis memang cukup popular, lebih dari puluhan tahun tidak sedikit peminat sejarah di Kabupaten Bulungan ingin sekali sekali menyibak misteri sejarah keberadaannya, termasuk penulis yang sejak duduk di sekolah lanjutan tingkat atas sudah tertarik untuk menyibak sejarah keberadaannya.

Pernah mendengar tentang kapal Onrust, sebuah kapal uap milik Zeemach Nederlands Indie alias Angkatan Laut Hindia Belada yang ditenggelamkan oleh Tumenggung Surapati dan anak buahnya dalam salah satu episode perang Banjar pada 27 Desember 1859, (Kandil, Edisi 13, Thn IV, Mei-Juli 2006) sama halnya dengan Onrust, Warmond sejatinya adalah sebuah kapal namun bukan kapal perang melainkan sebuah kapal pesiar milik Sultan Bulungan yang konon diberikan sebagai tanda persahabatan oleh Ratu Wihelmina, kepala Negara kerajaan Belanda di kala itu. Ratu Wihelmina sendiri memang cukup popular, di Museum Kesultanan Bulungan saja, terdapat wajah ratu Walanda tersebut tersebar di lempengan tehel, teko berlapis kaca, gelas dan piring-piring bernuansa Eropa.

Kesultanan Bulungan, pada masa lampaunya memang memiliki pengaruh dan kekayaan yang cukup melimpah, Kesultanan ini sebenarnya merupakan salah satu Kesultanan termuda di wilayah pantai Timur Kalimantan dikala itu, ini disebabkan Kesultanan ini berdiri sekitar tahun 1731 M bertepatan pada 1144 H oleh Founding Fathernya yang pertama bernama Wira Amir yang kemudian dikenal dengan Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777), karena itu wajar Negarakertagama tidak menyebut keberadaannya, seperti halnya Kerajaan Paser dan Kutai, sumber-sumber tradisional Kesultanan Banjarmasinpun demikian, tidak sekalipun meyebut Bulungan sebagai wilayah Kekuasaannya hanya menyebut Kerajaan Pasir, Kutai dan Berau saja.

Salah satu sumber pendapatan terbesar dari Kesultanan Bulungan pada saat itu adalah tambang emas hitam di Pulau Tarakan, sebuah pulau yang terletak satu jam perjalanan dari Keraton Kesultanan Bulungan, Darul Aman di Tanjung Palas. Tambang minyak di Tarakan pertama kali eksploitasi pada tahun 1899 yang dilakukan oleh perusahaan minyak bumi Pemerintah Kolonial Belanda yaitu Koninklijke Nederlandsche Petroleum Company, perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi BPM (Bataafsche Petroleum Maatscapij). Pada tahun 1906 saja, produksi minyak bumi di Tarakan mencapai 23.000 BPOD (Barells Of Oil Per Day).

Menurut Informasi, pada waktu itu produksi Bataafsche Petroleum Maatscapij di pulau Tarakan saja 80.000 ton minyak perbulan. Minyak Tarakan pada masa itu memiliki kualitas yang sangat baik, Amsterdam Effectenblad tahun 1932 yang berkomentar “ … Kwaliteit minjak boemi di Tarakan tjoekoep baik, bisa dikasi masuk dalam tank (maksudnya tangki minyak) dengan begitu saja.” Menurut catatan pihak sekutu, sebelum perang dunia kedua, Tarakan menghasilkan 6 juta barel minyak setiap tahunnya dengan kualitas “ World Purest Oil “. (Iwan Sentosa, Tarakan Pearl Harbour Indonesia, 2003) Kemapanan finansial (keuangan) yang berasal dari Royalti pembayaran minyak bumi ini memungkinkan Kesultanan Bulungan membangun sarana-sarana umum untuk kepentingan rakyatnya. Salah satu bukti kekayaan Kesultanan Bulungan pada masa itu ditandai dengan sebuah kapal yang melegenda yaitu “Kapal Warmond”

Menurut sejarahnya, Kapal Warmond dirancang oleh seorang arsitek perkapalan Belanda, H. S. de Vries, pada tahun 1939 beberapa tahun sebelum pecah perang Fasifik yang berujung ekspansi tentara Jepang ke wilayah Kesultanan Bulungan, yaitu Pulau Tarakan pada 12 Januari 1942 yang juga memiliki andil didudukinya kota Tanjung selor dan Tanjung Palas pada 05 February 1942. konon kapal Warmond yang dirancang oleh Mr. H. S. de Vries pada 1939 tersebut bertepatan dengan kelahiran putranya yang bernama Huib de Vries.

Sebagai kapal pesiar, Warmond memiliki ukuran yang bisa dikatakan sangat mewah untuk ukuran pada masa itu, sayangnya penulis tidak mengetahui secara pasti interornya, kapal pesiar yang dirancang oleh Mr. H. S. de Vries ini memiliki Kontruksi yang terbuat dari baja anti karat dengan ketebalan baja 5,6 hingga 7 mm, panjang dari buritan hingga haluan 28, 50 meter dengan lebar kapal 5 meter dan sketsanya berukuran 1, 90 meter. (Sugeng-Arianto.blogspot.files)

Keberadaan kapal pesiar mewah ini kerap dikaitkan sebagai politik pemerintah Kolonial Belanda untuk mengambil hati Kesultanan Bulungan sebagai upaya mempertahankan hak mengeksploitasi minyak di pulau Tarakan tersebut, sayangnya umur Warmond ternyata tidak begitu lama, seperti halnya Onrust yang di tenggalamkan oleh Tumenggung Surapati dan pengikutnya, Warmond juga bernasib sama, kapal pesiar milik Sultan Bulungan ini di tembak oleh para para Digger (sebutan untuk tentara Australia) diperkirakan dalam posisi Sitting Duck, penembakan ini terjadi karena tentara Australia mengira kapal tersebut milik Jepang saat operasi pembebasan Tarakan, yang dikenal dengan nama sandi Operation Oboe.

Sebuah sebuah Operasi pembebasan seluruh pusat perminyakan di Kalimantan terutama di Tarakan, Balikpapan, dan Teluk Brunei yang di Rancang oleh Jendral Douglas MacArthur, panglima Sekutu Mandala Pasifik Barat Daya atau South West Pacific Area Command (SWPA) yang bermarkas di Morotai (Maluku Utara) sejak 15 September 1944. Untuk pendaratan di pulau Tarakan di namakan Operasi Oboe one, Sedangkan Operasi pendaratan di Teluk Brunei dan Balikpapan masing-masing di namakan Operasi Oboe Two dan Oboe Six. Operasi pembebasan ini terjadi pada tahun 1945. (Iwan Sentosa, Tarakan Pearl Harbour Indonesia, 2003) Kapan tepatnya kejadian penembakan terhadap terhadap Warmond serta apakah ada korban tidak diketahui pasti sampai hari ini.

Dalam kondisi yang cukup rusak, Warmond kemudian sempat di dok dipinggir sungai kayan, namun saat di tarik menuju Tanjung Selor, kapal mewah yang badannya dilapisi besi anti karat itu tenggelam ditengah sungai akibat tali kawat yang menariknya putus. Agar kapal yang melintas di sungai tidak menabrak lokasi bangkai kapal ditengah sungai itu, maka sultan memasang rambu pengamanan, namun rambu pengaman itu hanyut dihantam kapal yang membawa kayu pada era kejayaan kayu log sekitar tahun 1980-an.

Pada masa pemerintahan bupati R.A. Besing, pemerintah kabupaten Bulungan berencana mengapungkan kembali bangkai kapal itu dengan tujuan di jadikan objek wisata budaya, sampai beliau meninggal dipertengahan masa jabatannya, hal itu belum terealisasikan. Aura mistis menyelimuti legenda tentang kapal tersebut, konon Warmond tidak dapat diangkat kepermukaan karena kapal tersebut dipercayai ada orang gaib menungguinya, dan hanya dapat dilepaskan kembali oleh Penunggunya dengan syarat-syarat tertentu. Terlepas dari silang pendapat mengenai sejarah maupun mitos yang berkembang tentangnya, Warmond tetaplah bagian dari kepingan sejarah Kesultanan Bulungan yang tetap hidup di hati orang-orang Bulungan, khususnya kerabat Kesultanan Bulungan hingga saat ini.

Selasa, 01 September 2009

Bulungan Dimasa Transisi

kalau kita melihat berita akhir-akhir ini, kita pasti sudah tau bahwa kerajaan Nepal kini sudah bubarkan, raja Gyanendra akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istananya Nrayanhiti setelah didesak oleh negara karena nepal telah menjadi republik.

ini mengingatkan kita 59 tahun yang silam, 17 agustus 1949 tepat didepan istana kesultanan bulungan, Sultan Muhammad Djalaluddin mengibarkan sangsaka merah putih sebagai tanda penyerahan kekuasaan dimana kesultanan bulungan kepada republik indonesia, sejak itu konstitusi kerajaan yang semula berwatak monarky bergeser ke watak republik yang yang lebih demokratis. sejak hari berakhir pulalah kesultanan bulungan yang berdiri 218 tahun itu.

perubahan konstitusi kerajaan yang monarky kemudian beralih menjadi bagain republik indonesia, bukan tidak menuai masalah, baik itu masalah sosial, ekonomi maupun budaya. tentu saja karena memang tidak mudah menghapus ingatan masyarakat terhadap kesultanan yang sudah berdiri selama 2 abad itu, apa lagi ciri kebudayaan bulungan bersifat tersentaral pada kraton bulungan. sayangnya kita tidak banyak mendapatkan catatan maupun dokumen tentang masa transisi kekuasaan tersebut, sampai akhirnya tahun 1964, 15 tahun setelah menyerahan kekuasaan, rakyat bulungan dihadapkan dengan tidak kecil. istana bulungan yang merupakan simbo-simbol terakhir dan merupakan pusat kebudayaan orang-orang bulungan akhirnya terbakar.

kisah transisi kekuasaan dan runtuhnya simbol-simbol kesultanan bulungan 1949-1964 harusnya menjadi bahan kajian sejarah untuk mendapatkan kejelasan tentang kedupan ekonomi, sosial, polik dan budaya orang-orang bulungan pada masa itu.