Setiap kesultanan dinusantara ini pastilah memiliki benda pusaka. Terutama kerajaan di sepanjang pantai timur kalimantan (Kaltim). Salah satu benda pusaka itu adalah meriam. Hampir di setiap istana maupun keraton, kebanyakan memiliki koleksi berupa meriam.
Bisa dilihat di depan istana Paser ada sebuah meriam, di kerajaan kutai kertanegara juga terdapat dua buah meriam pusaka yang digunakan dalam perang “Tambak Maris” saat armada inggris memasuki Tenggarong. Begitu pula terdapat jajaran meriam di depan Istana Kesultanan Gunung Tabur, sedang kan di kerajaan Sembaliung, konon terdapat pula meriam-meriam yang pernah di gunakan oleh raja Alam dalam perang laut melawan belanda, bahkan salah satu meriamnya digunakan sebagai batu nisan Kubur Raja alam dari kesultanan Sembaliung.
Sedangkan di kesultanan Bulungan, terdapat pula beberapa buah meriam yang saat ini terpajang di halaman Museum kesultanan Bulungan. Beberapa diantaranya bernama Melati, Rindu dan Dendam. Serta dua buah lagi meriam polos tipe Eropa yang terpajang di depan Gerbang Museum Kraton Kesultanan Bulungan. Yang paling utama dari meriam itu adalah Meriam Si Benua. Meriam ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat adat Kesultanan Bulungan dan merupakan lambang Sembol Ningrat Bulungan.
Bagi sebagian masyarakat adat masing-masing kerajaan, tak jarang memilki semacam legenda tersendiri atas asal-usul dari meriam tersebut, kebanyakan berupa legenda-legenda yang membicarakan tentang kehebatan serta ke keramatan meriam tersebut, yang kita bicarakan saat ini adalah Meriam Si Benua, meriam kuno (Canon Ancient) dari Kesultanan Bulungan.
Menurut legenda yang tersebar di masyarakat, Meriam Sebenua adalah sebuah meriam yang dibuat dari kumpulan logam yang di kumpulkan atau di sumbangkan oleh seluruh masyarakat Kesultanan Bulungan atau Sebenua Kesultanan Bulungan, maka itulah disebut Sebenua. Disatukan potongan logam menjadi sebuah Meriam mengisyaratkan tentang bersatunya rakyat Kesultanan Bulungan. Meriam ini dicetak di Brunai dan di bawa kembali ke Bulungan, hal ini di sebab pada waktu itu rakyat Kesultanan Bulungan belum mampu mencetak sendiri meriam tersebut.
Tidak diketahui pasti kapan meriam ini di cetak, namun penulis menduga meriam ini dibawa ke Bulungan pada saat pemerintahan Sultan Alimuddin (1777-1817), dugaan ini disebabkan pada masa tersebut kapal-kapal Bulungan telah mengarungi Laut Sulawesi khususnya disepanjang jalur pantai dari kawasan Tanah Tidung hingga Tawao untuk melakukan serangan balasan terhadap kedatangan bajak laut yang kerapkali melakukan penyerangan ke wilayah Kesultanan Bulungan, ini bersamaan dengan politik penyatuan wilayah oleh Sultan Alimuddin, maka dapat dimengerti keberadaan meriam-meriam ini dibutuhkan sebagai pertahanan kota dimasa itu.
Informasi yang sangat berharga dapat diperoleh dari tulisan Christian Pelras dalam karyanya “Manusia Bugis”, dalam bukunya ia menyebutkan:
“… senjata api sudah mulai digunakan pada masa itu adalah senapan (ballili), dan sejenis meriam kecil yang dinamakan lela. Senjata sejenis itu, yang lebih ringan dari meriam biasa, dibawa untuk melengkapi perahu perang, sebagian besar dari senjata tersebut dibuat kuningan yang berasal dari Brunai...”.
Masa ini terjadi sekitar abad 18 dan 19 M. hal yang menarik lagi adalah jika benar meriam ini dibuat dari kumpulan logam-logam yang disumbangkan oleh rakyat Kesultanan Bulungan, ini artinya masyarakat pada masa itu sudah mampu mengolah logam dengan baik sebagai senjata walaupun belum semahir untuk mencetak meriam, atau mungkin logam-logam ini didapat berasal dari interaksi melaui jalur dagang dengan dunia luar, hal ini tidak sulit bagi Kesultanan Bulungan yang masuk dalam jalur dagang di pantai timur Kalimantan ini.
Konon Meriam si benua sendiri lebih banyak di bunyikan dalam kegiatan kenegaraan seperti penobatan Sultan maupun pembukaan acara pesta rakyat atau Birau. Bahkan di katakan pula dahulu meriam ini di bunyikan sebagai tanda berbuka di waktu puasa Ramadhan. Sebagai rasa penghormatan meriam ini, masyarakat Bulungan membungkus meriam dengan kain berwarna kuning. Warna kuning sendiri merupakan warna kebesaran bangsawan Bulungan dan juga bangsawan melayu pada umumnya.
Secara umum pengertian dari meriam sendiri adalah sebagai berikut, Meriam digunakan untuk menyebut senjata api besar yang menggunakan tabung untuk menembakan sebuah proyektil yang berukuran besar juga. Dalam persenjataan modern, istilah ini dipakai untuk mendeskripsikan senjata yang memiliki laras yang kaliber pelurunya lebih dari 20 mm.
Kata meriam juga digunakan untuk menyebut peralatan perang jaman dahulu, yaitu artileri yang diisi dari bagian depan, yang menembakan proyektil bundar yang berisi bahan peledak.
Pada sore hari tanggal 26 agustus 2007. pukul 05.10 PM. Dihalaman Museum Kraton Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas. Telah dilakukan pengukuran terhadap meriam Si benua. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mengetahuai ukuran kaliber dari meriam Si Benua.
Kaliber secara umum menyatakan ukuran peluru yang dipakai pada senjata api maupun meriam. Kaliber dilihat dari diameter atau garis tengah peluru, atau dari diameter isi lorong laras.
Kaliber dapat dinyatakan dalam inci maupun dalam milimeter. Biasanya penyebutan dalam inci digunakan untuk produk komersial, dan penyebutan dalam milimeter untuk produk militer. Dalam inci, kaliber disebut dalam desimal dan bisa ditambahkan satuan kaliber "cal". Jadi untuk peluru dengan diameter 0,45 inci biasa disebut .45 cal ("kaliber empat-lima"). Dalam milimeter kaliber tidak diberi satuan cal, untuk peluru 5,56 milimeter disebut 5.56 mm.
Dalam pengukuran ini, satuan hitung yang digunakan adalah Inci, Data yang terkumpul adalah sebagai berikut :
Diameter atau garis tengah Meriam Si Benua adalah : 2,5 Inci
Diameter isi lorong laras Meriam Si benua adalah : 9 Feet / 108 Inci / 2,74 M
Karena kaliber juga dapat di gunakan untuk menghitung panjang laras Kaliber meriam Si Benua, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Panjang efektif laras akan dibagi dengan diameter lorong laras. diameter isi larasnya 2,5 inci, dan panjang larasnya adalah 108 inci.
108 inci di bagi 2,5 Inci = 43,2. Jadi caliber panjang laras dari Meriam Si Benua adalah 43,2 Cal (Kaliber “empat tiga koma dua”) Inci. Karena itu Meriam Si Benua dapat pula di sebut dengan Meriam Kaliber 2,5”/43,2. Maksudnya, diameter isi larasnya 2,5 inci, dan panjang larasnya adalah 108 inci (2,5 * 43,2 = 108).
Sebagai tambahan, ukuran proyektik dari Meriam Si Benua adalah 2,5 Inci, ini dapat di ketahui dari diameter isi laras atau garis tengah dari Meriam si Benua.
DAFTAR RUJUKAN.
“ Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H. ditulis oleh Alm Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur. (menteri ke-II Kerajaan Bulungan) de Tweede Lansgroote.
Manusia bugis, chistian pelras. Jakarta; Nalar Bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO. 2005.
Hasil pengukuran laras meriam si Benua oleh M. Zarkasyi pada tanggal 26 agustus 2007. pukul 05.10 PM. Di Tanjung Palas.
blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Jumat, 25 Juni 2010
Rabu, 23 Juni 2010
Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo?
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sosok kontroversi yang bernama Brigjen. Suharyo Padmodiwiryo alias Hario Kecik ini.
Dalam sejarah modern Bulungan, khususnya periode 1960-an ke atas, mantan Pangdam IX Mulawarman ini memang sangat tenar khususnya dikalangan tua masyarakat Bulungan, apalagi kalau bukan mengenai “Insiden 1964”, sebuah peristiwa bersejarah yang pahit bagi masyarakat Bulungan, dalam peristiwa pahit tersebut Istana Kesultanan Bulungan di bakar dan tak kurang dari 50 orang bangsawan dan para cerdik pandai Bulungan di culik hingga kini tidak diketahui lagi dimana keberadaan mereka.
Para sesepuh di Bulungan bahkan tidak sedikit yang menuding bahwa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Haryo Kecik inilah sebagai dalang dalam peristiwa berdarah tersebut. Namanya tercatat dengan jelas dalam buku-buku mengenai sejarah Bulungan, sebagai sosok yang dapat dikatakan tidak mendapat simpati dihati sebagian masyarakat Bulungan kala itu, kalau memang tidak ingin dikatakan dibenci.
Terlepas dari hal tersebut, penulis mencoba untuk menggali sejarah mengenai sosok kontroversial ini, tidak mudah memang untuk melakukan hal itu apa lagi jika kekurangan bahan pustakanya. Syukurlah penulis mendapatkan beberapa buah buku memoir orang-orang yang cukup mengenal cukup dekat sepak terjang Brigjen Suharyo Padmodiwiryo, khususnya pada tahun 1960-an. Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Harjo Kecik ini? itulah pertanyaan besar yang coba kita gali, setidaknya sebagai study awal.
Dalam memoarnya, mantan Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Soemitro, -pengganti Suharyo- menceritakan mengenai Suharyo yang ia kenal, Suharyo sering disapa oleh beliau dengan sebutan “Cik” atau “Kecik”, mereka berdua dizaman gerilya dulu memang saling kenal, seperti yang dipaparkan oleh Soemitro:
“Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suharyo) komandan Korps Mahasisiwa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958 saya ketemu dengan dia di Ford Benning (Infantry Cantre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean (Jendral), Brotosewoyo, Priatna, Kris Sudono dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono, Iskandar Ranu. Suharyo tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan di-gips”.
Hubungan keduanya nampaknya sempat agak tegang justru ketika Brigjen Soemitro ditugas kan Jendral Ahmad Yani untuk menggantikan Suharyo. Jendral Ahmad Yani nampaknya paham sepak terjang Suharyo di Kaltim, ia juga dianggap dekat dengan Presiden Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Pangti (Panglima tertinggi) sekaligus Presiden. Mungkinkah presiden Sukarno mengatahui sepak terjang Suharyo di Kaltim? apakah Sukarno mengetahui Istana Kesultanan Bulungan di bakar? apakah Suharyo benar sebagai dalang utama atau justru hanya sebagai pelaksana dilapangan? sejauh mana hubungan Suharyo dan Sukarno?, pertanyaan-pertanyaan ini tentunya perlu studi yang dalam untuk menjawab dan menemukan benang merahnya. Diluar dari itu, Brigjen Soemitro menceritakan mengenai sebab mengapa Suharyo oleh para petinggi di AD, nampaknya tidak begitu disenangi, Soemitro mengatakan:
“Saya mengerti mengapa pimpinan AD mau menarik Brigjen Suharyo. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar, bahwa Bahwa Brigjen Suharyo yang jadi Panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Haryo ke Jakarta, dia keluar masuk Istana tanpa diketahui seizin Jendral Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno, Sekali ia pernah kepergok oleh Jendral (Ahmad) Yani di Istana”.
Banyak hal yang menarik diceritakan Brigjen Soemitro dalam memoarnya tersebut, antara lain suasana kota Balikpapan menjelang kepergian Suharyo, saat itu sambutan organisasi onderbownya PKI terhadap dirinya sangat dingin, belum apa-apa saat baru menginjakkan kaki dibandara sepinggan, ia sudah diteror dengan sepanduk bertuliskan “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jendral Suharyo”, lalu dibelakangnya ada sepanduk “Selamat datang saudara Brigadir Jendral Soemitro”. Brigjen Soemitro jelas berang dibuatnya; Wah, kok ini ada “bapak” dan ada “saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung. Tapi saya diam saja sementara saya berfikir: “apa-apaan ini!” Massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suharyo dengan saya”.
Pada malam harinya, Kodam mengadakan acara perpisahan untuk Brigjen Suharyo dan memperkenalkan Brigjen Soemitro di gedung bioskop. Suharyo berpidato tidak kurang empat jam, telinga Brigjen Soemitro di buat berdiri ketika Suharyo mengatakan “Sebenarnya saya masih senang disini, masih mau lebih lama disini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti Revolusi”. Jelas saja Soemitro di buat tidak senang, apa lagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepada Brigjen Soemitro; “Jendral kanan yang nggak tahu Revolusi”. Hal ini sempat pula dipertanyakan Barigjen Soemitro pada Suharyo pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Sheel Guest House. Bagi Soemitro, Suharyolah yang berada dibalik kejadian-kejadian teror poster tersebut, Suhayo sendiri tidak mengakui hal itu. Disitulah kekesalan Soemitro tidak bisa dibendung, seperti yang tertulis dalam memoarnya:
“Jangan Bohong”, kata saya. “kamu di Belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato disana Berapa tahun kamu disini? Njeplak seenakmu sendiri! Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengerti revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? saya tahu, Cik, Kamu pandai menembak. Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang.” begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding suharyo dengan telunjuknya. Namun karena mereka berkawan, masalahnya hari itu juga selesai.
Beberapa hari setelah kepergian Suharyo, Brigjen Soemitro kemudian “menggulung” PKI dan onderbownya, macam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Gerwani, Pemuda Rakyat dan Perbum. Menariknya selain dari sipil diketahui beberapa oknum militer juga di tahan karena diketahui “dekat” dengan PKI.
Brigjen Soemitro sendiri menyayangkan sikap Suharyo yang dianggapnya berlebihan, seperti yang ia tulis: “Yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutei sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!”. Ya wajar saja Brigjen Soemitro menyayangkan hal itu, karena bagaimanapun hal itu akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika Istana Kesultanan Kutai saja di rusak, walaupun begitu oleh Moes Hassan sempat diselamatkan dengan cara disegel, bukan hal yang musthil, Istana Kesultanan Bulungan jauh di utara, jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama kala itu. Hanya Allah yang tahu.
Apakah Brigjen Suharyo punya kedekatan yang “mesra” dengan PKI? itu bukan hal yang mudah untuk dijawab, walaupun demikian, memoar Brigjen Soemitro memberikan gambaran bagaimana sikap PKI yang berbeda dengan Suharyo dan Soemitro. Brigjen Soemitro sendiri nampaknya kurang yakin kalau Suharyo dekat dengan PKI, ia tidak begitu percaya hal itu, seperti yang ia tulis sendiri:
“ Sebenarnya, seingat saya, Haryo bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana ia bisa dikatakan PKI! hidupnya di Ft. Benning mewah. Di samping punya used car saya dengar ia punya kendaraan baru”.
Apakah penyataan Brigjen Soemitro itu hanya sebagai bentuk ketidak percayaan karena Brigjen Suharyo dapat dikatakan berkehidupan mewah, karena memang saat itu PKI justru menjauhi hal-hal tersebut atau mungkin karena nalurinya sebagai kawan lama. Namun jangan pula kita lupakan informasi yang penting. Datuk Iskandar Zulkarnaen memberikan informasi dalam bukunya, saat terjadi insiden 1964 tersebut, Brigjen Suharyo memerintahkan seluruh harta benda di Istana Bulungan sebelum dibakar, dikeluarkan dan menjarahnya. Suharyo bahkan dikabarkan membutukan dua kapal, masing-masing KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya ke Surabaya. (Datuk Iskandar Zulkarnaen:82:2008). Apakah ada benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang disampaikan Brigjen Soemitro? tentunya perlu studi lebih dalam mengenai masalah tersebut, karena sampai hari inipun “National Treasure” dari Kesultanan Bulungan itu tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.
Lain Brigjen Soemitro, lainpula Moeis Hassan. dalam memoarnya, ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suharyo, Gubernur Moeis Hassan kala itu hanya menyinggung hal-hal yang “positif” saja. Sebagian masyarakat menilai Brigjen Soharyo terlalu banyak mencampuri urusan pemerintahan daerah khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Dimata Moeis Hassan, Suharyo digambarkan orang yang periang, suka goyon tapi bisa keras dalam tindakan. Ia kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Dia tidak segan-segan menggunakan tangannya, bila perlu. (Moeis Hassan: 166: 1994).
Nasib Brigjen Suhayo sendiri, digambarkan tidak begitu beruntung, khususnya setelah Pak Harto menjadi President. Saat ia melangsungkan College War di Moskow Rusia, Indonesia telah berganti kepemimpinan. Brigjen Suharyo memilih untuk tidak pulang ke indonesia, barulah tahun 1977 ia pulang ke Indonesia dan sempat di tahan. Setelah reformasi nama Suharyo muncul lagi ke publik, sebagai penulis novel produktif, diantaranya, Si Pemburu, Badak Terakhir dan Lesti.
Sumber pustaka:
Ramadhan K. H. 1994. “Soemitro; Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.
Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.
Http: // Mas-Sugeng.blogspot.com
Http://isandri.blogspot.com
Http://anusapati.blogdetik.com
Senin, 21 Juni 2010
Datuk Mohammad Saleh gelar Datuk Perdana bin Datuk Mansyur.
Sejarah banyak diukir oleh orang-orang besar yang berjasa, mungkin kalimat tersebut tepat pula kita sematkan pada salah seorang putra terbaik Bulungan ini, beliau adalah Datuk Mohammad Saleh gelar Datuk Perdana bin Datuk Mansyur. Putra dari Mangkubumi Bulungan ini lahir di Tanjung Palas pada tahun 1895.
Datuk Perdana ternyata dimasa mudanya suka merantau keberbagai negeri untuk menuntut ilmu, pendidikan pertamanya adalah Sekolah Rakyat di zaman Belanda, rasa haus akan ilmu membawa langkahnya mengembara sampai ke negeri Langkat dan berguru dengan Syekh Ibrahim Haitami, dengan rahmat Allah Swt. pula beliau menjadi orang yang ahli tidak hanya dalam hal agama tapi juga bahasa, beliau setidaknya diketahui mengusai Bahasa Arab dan Belanda dengan sangat fasih, selain itu beliau juga seorang yang hafadz Al-Qur’an.
Datuk perdana kemudian pulang ke Bulungan, beliau kemudian di tunjuk sebagai District Hoofd van Tanjung Palas pada tahun 1933 hingga 1935. Antara rentang tahun 1936 hingga 1937 beliau aktif membina pengajian yang dilaksanakan dirumah beliau di Tanjung Palas, konon beliaulah yang mencari anak-anak tersebut untuk didik dengan biaya beliau sendiri.
Nasib manusia telah di tulis dalam kitab-Nya, ayah beliau, Mangkubumi Kesultanan Bulungan atau Regent van Bulungan Datuk Mansyur bin Datuk Muluk kemudian berpulang ke Rahmatullah pada 15 Agustus 1938. Beliau kemudian diamanahi sebagai Menteri ke II Kesultanan Bulungan atau De Tweede Landsgroote hingga masa penyerahan kedaulatan dan bergabungnya Kesultanan Bulungan dalam pelukan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1949.
Di era kemerdekaan peran Datuk Perdana semakin cemerlang, ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Urusan Agama Kabupaten Bulungan. Ada peristiwa unik pada saat itu, maklumlah beliau termasuk perintis kantor Jawatan Urusan Agama Kabupaten Bulungan yang pertama, segalanya serba kekurangan mulai dari alat kantor hingga rumah beliaulah yang digunakan sebagai kantor.
Datuk Krama, salah seorang putra beliau pernah menceritakan pada penulis bagaimana dulu kaki lima rumah beliau digunakan sebagai kantor yang hanya dibatasi dengan meja saja, bila berkunjung ke rumah beliau, penulis kadang terharu bila berada dikaki lima rumah tersebut, bayangkan saja seorang Mentri Kesultanan Bulungan, untuk membangun kantor Jawatan Urusan Agama saja serba kekurangan.
Pada tahun 1951, Kantor agama itu pun akhirnya dipindah ke Tanjung Selor dengan menyewa rumah tuan Qorban Hussein. Karena saat itu segalanya masih serba kekurangan, apalagi kantor agama terdiri dari 4 bagian sedangkan kepala dan personalianya belum terisi secara penuh, sesuai SK bersama Sultan Bulungan, Maulana Muhammad Djalaluddin II dan Kepala Kantor Urusan Agama Nomor 01 tahun 1951 beliau kemudian menjabat sekaligus sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Bulungan, Kepala Pendidikan Agama Kabupaten Bulungan, Kepala Penerangan Agama Kabupaten Bulungan dan Kepala Peradilan Kabupaten Bulungan tentu dapat dibayangkan bagaimana repotnya beliau saat itu, apa lagi diusianya yang tidak lagi tergolong muda.
Walaupun begitu beliau menjalani hari-harinya dengan tenang dan bersahaja, asam garam kehidupan telah lama beliau jalani. Disela kesibukannya beliau sempat pula menulis sebuah risalah sejarah dengan mesin ketik yang sudah uzur. Naskah ketikan beliau yang berjudul “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.”, kemudian menjadi karya penting mengungkap sejarah Kesultanan Bulungan, salah satu cendra mata yang beliau tinggalkan untuk terus digali lagi. Beliau kemudian pensiun pada tanggal 1 April 1968.
Datuk Perdana, menjalani hari-hari tuanya dengan sangat sederhana dan bersahaja, terlalu banyak kenangan manis dan kebijaksanaan yang ditinggalkan beliau bagi siapapun yang pernah mengenal beliau dalam hidupnya. Datuk Mohammad Saleh gelar Datuk Perdana bin Datuk Mansyur kemudian pulang kerahmatullah dengan tenang diusia 90 tahun pada hari senin tanggal 05 Oktober 1981 atau 07 Zulhijjah 1401 H di RSU Tanjung Selor. Beliau diantar dengan upacara pemakaman Adat Kesultanan Bulungan, sebagai perhormatan atas dedikasi yang ditunjukannya selama hidupnya.
Beberapa tahun sebelum beliau berpulang, Datuk perdana pernah menulis sebuah syair, mungkin beliau mencoba mengingatkan pada dirinya sendiri dan keluarga yang akan ditinggalkannya bahwa dunia ini memang hanya sekedar persinggahan saja. Penulis sendiri terharu bila membaca syair tersebut, syair yang pendek saja tapi dalam maknanya. sebagai iktibar atau pelajaran, penulis mencantumkan sepotong syair yang pernah beliau tulis itu.
Asmaul ana Saleh Perdana
Menulis syair tidak terlena
Hamba ini orang yang hina
Itulah hidup di alam fana…
Sumber: H.E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”, (Tanjung Selor: Panitia Abad XV H Kabupaten Bulungan. t.th) dan ditambahkan beberapa sumber lainnya.
Foto: Koleksi foto pribadi Datuk Krama, Tanjung Palas.
Sabtu, 19 Juni 2010
ADAT PERNIKAHAN ORANG BULUNGAN.
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan orang Bulungan dan suku bangsa lainnya di kabupaten Bulungan ini.
Pernikahan dalam tradisi Bulungan memang sangat unik, tata cara pernikahan ini melewati setidaknya melewati beberapa tahap.
Proses awal adalah lamaran dan jujuran, dalam bahasa Bulungan disebut dengan Beseruan Mengka Ngantot Sangot, proses awal dari perkawinan adat Bulungan diawali dengan cara melamar dari pihak keluarga laki-laki serta mengatar jujuran disebut dengan Antot Sangot. Dalam acara ini, pihak keluarga laki-laki melakukan pembicaraan dengan pihak keluarga perempuan untuk melakukan peminangan atau dalam bahasa Bulungannya Lungkap Beba atau Beseruan.
Bila pinangan di terima, dan masing-masing pihak keluarga sepakat maka dari pihak keluarga laki-laki menyerahkan sebuah benda berupa meriam kecil yang dinamakan Rentaka. Dimasa lampau jika pihak lelaki adalah anak Sultan, maka jujurannya atau Sangotnya ditambah sebesar 2000 ringgit. Jika sekarang tentunya menggunakan uang Rupiah yang besarnya sesuai kesepakatan keduabelah pihak.
Mengantar jujuran atau Ngantot Sangot dalam adat Bulungan ada tata caranya tersendiri. Setelah peminangan selesai tibalah acara mengantar jujuran tersebut pihak keluarga perempuan menyiapkan potongan balok ulin yang akan dipergunakan untuk melakukan pengujian bahwa jujuran berupa uang ringgit yang diserahkan benar-benar asli. Bila seandainya uang ringgit tersebut palsu, maka kepada pihak lelaki diharuskan menggantinya dengan yang asli.
Selanjutnya setelah tiga hari dilaksanakannya antar jujuran tersebut, calon pengantin pria dibawa kerumah calon pengantin wanita guna mengadakan silaturahmi. Acara ini dimaksudkan untuk saling kenal mengenal antar calon pengantin, dimasa perkenalan ini pengantin pria hanya boleh melihat dengan mencuri-curi pandang saja, tidak bisa bertatap muka secara langsung.
Dimasa lampau perempuan Bulungan yang akan dipinang tidak diperbolehkan keluar rumah, dalam istilah adat Bulungan disebut dengan kenurung atau berdiam diri didalam rumah.
Masa perkenalan calon pengantin pria dan perempuan ini berlangsung antar 7 hingga 9 hari atau bisa lebih. Dalam masa perkenalan ini, masing-masing calon penganting memberi tanda mata berupa cincin sebagai tanda bukti telah melakukan pertemuan.
Setelah acara perkenalan calon pengantin, maka tahap selanjutnya adalah persiapan akad nikah, dimana calon pengantin pria dibawa kerumah pengantin wanita guna dilaksanakan akad nikah tanda resmi sebagai pengantin. Setelah akad nikah selesai, pengantin pria boleh tidur bersama, makan bersama, namun perempuannya masih tetap berkurung dalam sarung tanpa boleh diliat oleh pengantin pria. Pada saat menjelang tidur, pengantin ditemani oleh kedua keluarganya. Setelah acara kawin suruk selama tiga hari tiga malam dilaksanakan, maka pengantin pria kembali dibawa pulang untuk persiapan hari persandingannya.
Sebelum hari persandingan dilaksanakan, maka pada malam harinya dirumah pengantin pria dilaksanakan acara Bepupur atau pupuran yang diisi dengan hiburan musik gambus dan tari jepen. sedang dirumah pengantin wanita diadakan acara Bepacaran atau memakai inai dijari tangan dan kaki yang hanya dapat disaksikan oleh pihak pengantin wanita saja.
Dalam acara bepupur ini, dilakukan acara tukar menukar pupur dan pacar (Inai) antara pengantin pria dan pengantin wanita. Pada acara ini pihak keluarga pengantin pria mengantarkan pupur dan pacar kerumah pengantin wanita, dan pihak keluarga pengantin wanita menukarkan dengan pupur dan pacarnya. Pupur dan pacar tersebut dibawa dengan menggunakan talam yang dilapisi dengan kain kuning serta diterangi dengan lilin. Setelah acara tukar menukar pupur dan pacar, maka acara pupuran dilaksanakan dimana pengantin pria dipupuri secara bergantian oleh tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan yang dituakan.
Selesai acara bepupuran, selanjutnya pengantin pria diangkat kekamar secara beramai-ramai dengan menggunakan tikar pandan, kemudian para tamu dan undangan juga ikut bepupur satu sama lainnya.
Konon menurut cerita, bahwa para undangan dalam acara pupur-pupuran ini sengaja mencari anak gadis dan bujang dengan harapan sigadis atau bujang tersebut dapat lekas menyusul untuk melaksanakan pernikahannya.
Hari berikutnya setelah acara berpupur, maka acara selanjutnya adalah persiapan hari persandingan, dimana pada hari tersebut pengantin pria dibawa keluarganya ke tempat pengantin wanita. Disertai dengan membawa perlengkapan makanan yang dinamakan Seduleng serta perlengkapan pakaian perempuan yang disebut dengan Pesalin.
Pada acara peresmian perkawinan yakni tibanya hari persandingan, pengantin pria diantar oleh keluarga dan kerabatnya disertai pendamping yang berpakaian lengkap dengan membawa Seduleng dan Pesalin.
Tiba dirumah pengantin wanita Seduleng dan Pesalin yang dibawa oleh rombongan pengantin pria tersebut diserahkan kepada keluarga pengantin wanita yang sudah siap menerima dipintu masuk.
Acara selanjutnya sebelum masuk ke pelaminan terlebih dahulu pengantin pria diharuskan menginjak batu gosok serta menggigit pisau dan meminum air yang sudah disiapkan oleh pihak pengantin wanita. Hal ini dimaknai bahwa, pengantin pria setelah memasuki bahtera rumah tangga memiliki hati yang teguh dan tidak mudah goyah terhadap berbagai macam cobaan dan godaan.
Berikutnya sebelum duduk dikursi pelaminan masih ada satu tahap yang harus dilalui oleh pengantin pria yakni membuka tabir atau tirai kain penutup serta Dedap atau kain penutup wajah pengantin wanita. Untuk dapat membuka tabir atau tirai serta Dedap ini, maka pihak pengantin pria harus menyerahkan sejumlah uang yang diberikan pada Sina Pengantin atau Perias Pengantin, setelah itu barulah membuka tabir atau tirai serta Dedap bisa dibuka. Dan tahap selanjutnya adalah acara persandingan.
Setelah selesai acara persandingan, maka tiga hari berikutnya atau dalam istilah bahasa Bulungan, Genop Telu Malom, pihak pengantin pria menyerahkan salah seorang dipon atau hamba sahaya, dapat pula diartikan sebagai pembantu kepada pihak pengantin wanita dalam bahasa Bulungan disebut Buka Seluar. Bila tidak ada bisa diganti dengan uang sebesar 250 ringgit.
kemudian setelah acara penyerahan dipon atau hamba sahaya tadi barulah kedua pengantin naik keatas pelaminan, sambil dinyanyikan lagu-lagu Sulai Mambeng, Dindeng Sayeng, dan Sayeng Tuan yang dibawakan oleh para orang tua. tembang ini dinyanyian hingga sampai menjelang subuh.
Tahap Selanjutnya dari prosesi perkawinan adat Bulungan ini adalah membangunkan pengantin, dalam bahasa Bulungannya adalah Metun Pengantin dengan cara membunyikan alat musik tradisional berupa gendang rebana. Setelah pengantin dibangunkan, maka tahap berikutnya adalah mandi pengantin. Dalam bahasa Bulungan mandi disebut Mendus.
Pada acara mandi pengantin ini pasangan pengantin didudukan diatas persada atau tangga tujuh tingkat. Sebelum acara mandi-mandian dilaksanakan masing-masing pengantin diangkut, pengantin wanita digendong, dalam bahasa Bulungan disebut Tenanggung. Sedangkan pengantin pria diangkut dengan kursi. Sebelum duduk ditempat pemandian yang sudah disiapkan berupa baki atau talam yang dilapisi kain, pengantin wanitanya dibawa berkeliling mengitari tangga hingga pada tingkat yang paling atas. Barulah acara mandi pengantin dilaksanakan.
Air yang digunakan untuk mandi pengantin berasal dari kawasan Limbu atau Long Baju dengan menggunakan biduk bebandung, serta mereka yang mengambilnya diharuskan menggunakan pakaian pengantin. Air diambil sehari sebelum acara mandi pengantin dilaksanakan yang banyaknya dua kibut atau guci dan diletakan pada tingkat paling atas persada dilengkapi dengan bunga-bungaan.
Rangkaian akhir dari prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini adalah bertamu kerumah mertua, dalam bahasa Bulungan dinamakan Nyengkiban. Acara ini dilaksanakan pada sore hari setelah acara mandi-mandian atau Mendus. Dalam acara nyengkiban ini kedua pengantin disertai keluarga pengantin wanita, dengan menggunakan kereta kencana diarak menuju rumah keluarga pengantin pria.
Sesampainya dirumah keluarga pengantin pria, dilaksanakan acara sembah sujud oleh kedua pengantin, setelah selesai acara sembah sujud tersebut, maka berakhirlah seluruh rangkaian acara prosesi perkawinan adat Bulungan yang sacral dan sarat nilai-nilai budaya tersebut. Selanjutnya seluruh keluarga saling bersilaturahmi.
Sebagai tambahan, pada masa lampau, jika Sultan Bulungan atau keluarga dekat yang melaksanakan hajat perkawinan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara pesta rakyat sebagai tanda syukur yang oleh masyarakat Bulungan disebut dengan Birau, acara ini dibuka dengan tembakan salvo dari Meriam Sebenua dengan tujuan seluruh isi kampong mengetahui bahwa ada pesta yang dilaksanakan oleh kerabat Sultan.
Jika kita mengkaji prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini, tercermin nilai-nilai yang sarat makna, seperti nilai kejujuran, kesabaran, keberanian, kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisi yang tidak lain bersandar dari perkawinan nilai-nilai adat dan agama yang diresapi oleh masyarakat Bulungan, inilah yang kemudian melahirkan tradisi adat perkawinan Kesultanan Bulungan yang sakral ini.
Sumber: Datuk Iskandar Zulkarnaen “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”, (Samarinda: Pustaka Spirit, September 2008). hlm. 67-69.
Foto: Peta Ratna Pelaminan dari Museum Kesultanan Bulungan.
Langganan:
Postingan (Atom)