(Ilustrasi mengenai Tari Jugit)
Tari jugit, hampir semua orang Bulungan tahu, paling tidak pernah mendengar namanya. Memang tari jugit merupakan salah satu pencapaian seni tertinggi di bidang tari pada zamannya, saat budaya istana Bulungan masih tegak berdiri.
Membahas tari jugit agaknya kurang rasanya bila tak menyelami hikayat penarinya, pengalaman dan pelatihan yang pernah di alami dan di lakoni sang seniman.
Tari Jugit, pencapaian tertinggi seni tari istana Bulungan.
Bila merujuk hikayat yang menyelubunginya, tari jugit yang dikenal saat ini tidak lahir dengan sendirinya, menurut riwayat tradisional Bulungan, kreator tari jugit adalah pendekar sekaligus seniman istana saat itu.
Sama halnya dengan tari balet di istana Tsar Rusia maupun Kaisar Austria-Hongaria, para instruktur balet menjadikan seni tari ini menjadi orientasi hidup para balerina, artinya Balet bukan hanya sekedar seni tapi juga bagian penting dari hidup mereka. Cara yang sama sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi diistana Bulungan, jangan kira para penari jugit dimasa itu adalah sebuah pekerjaan yang mudah, butuh pendalaman seni yang dalam tapi juga kerja keras yang tinggi.
Para balerina diasuh, didik dan dilatih sejak belia oleh para instruktur mereka, tak beda jauh dengan para penari jugit, hanya mereka yang benar-benar lulus seleksi yang akan menjadi penari jugit.
Untuk menjadi seorang penari jugit, dibutuhnya persyaratan yang tidak ringan, salah satu yang paling penting adalah calon penari tak punya ikatan politik, artinya keluarganya bukanlah orang yang memiliki akses ke istana raja maupun orang-orang menjadi tokoh penting dilingkungan kesultanan seperti tokoh agama maupun tokoh adat.
Umumnya para instruktur akan mencari seorang gadis Bulungan yang cantik, berambut panjang terurai, tubuh dan mental yang sehat, setelah itu para calon penari bisa diboyong ke istana untuk didik setelah mendapat persetujuan orang tua atau wali dari si gadis.
Kehidupan para penari tentu saja akan berubah setelah meraka masuk dan menjadi bagian istana kesultanan Bulungan, demikian juga keluarga mereka, ini tak lain penari jugit adalah salah satu status tertinggi yang dimiliki oleh gadis Bulungan selain bangsawan dan tokoh agama di Bulungan. Para penari mendapat perhatian penuh dari Sultan bahkan kabarya saat mereka menikah -juga keperluan lainnya selama aktif sebagai seniman istana-, biayanya di tanggung oleh istana.
Tahap-tahap pelatihan penari jugit.
Dalam seni tari jugit, penari setidaknya menguasai olah seni dan olah tubuh, olah seni mengacu kepada kemampuan sang penari dalam menguasai tiap jengkal tari jugit, mampu membedakan bagaimana gerak tari jugit paman atau demaring dan mampu menyuguhkan etika seni yang santun.
Kemudian ada juga yang disebut oleh tubuh, yaitu kemampuan mengolah tubuh khususnya untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kemampuan dan stamina sang penari saat pementasan, sebab tari ini adalah tari istana, durasinya bisa tidak pendek.
Ada beberapa tahapan yang harus dijalani dalam latihan yang tidak ringan itu, menurut ibu Qamariyah, salah seorang instruktur tari daerah Bulungan yang juga putri dari seniman legendaris Bulungan Alm. Datuk Aziz Saleh Mansyur, menuturkan pada penulis bagaimana cara-cara pendidikan dan pelatihan tari jugit yang berdisiplin tinggi itu.
Konon pagi sebelum azan sholat subuh dikumandangkan, mereka sudah bangun untuk ritual mandi, itupun tak langsung mandi seperti orang kebanyakan, -pakaian para penaripun sangat tertutup, umumnya saat menjadi penari mereka akan memiliki dua orang pengawal dan seorang instruktur tari di istana-, mereka akan mengalami proses pelemparan atau dalam istilahnya “di timbai” dengan posisi punggung yang jatuh dahulu di air sungai, ini berlangsung tidak satu dua kali untuk meleturkan bagian tubuh tersebut, dan hal ini hanya dilakukan orang-orang yang khusus dan terlatih, jadi tidak sembarangan.
Menurut kisah yang dituturkan, untuk menjaga keamanan para penari saat mandi, dahulu dibuatlah semacam pagar yang rapat berukuran besar yang terbuat dari kayu laut, ini dimaksud untuk melindungi si penari dari ancaman buaya dan sebagainya, sayangnya baik penulis dan narasumber tidak mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan kayu laut oleh para tetua dulu.
Proses lain akan dilanjutkan lagi setelah mandi adalah senam yang melatih fisik, ada beberapa tahapan yang dijalankan:
Pertama: Paha dimasukkan kebawah tangga, duduk katak badan ditarik dari belakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tentu saja tangga yang dimaksud memang khusus dibuat untuk keperluan tersebut.
Kedua: Badan atau punggung diikat ditiang rumah dengan selendang setelah itu badan ditarik kebelakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tiang-tiang ini memang khusus dimiliki perorang / perpenari, di dalam keraton, tempat dimana mereka dilatih dan didik sejak awal mereka sudah memiliki tiang-tiang latihan tersebut.
Ketiga: Kedua jari tangan dimasukkan (digenggam), siku tangan dimasukkan antara 2 lutut lalu dirapatkan oleh si pengawal.
Keempat: Jari tangan direndam di air hangat selama beberapa menit lalu dilentingkan oleh sipengawal. proses ini dimaksud memudahkan gerak tangan sipenari saat pergelaran, ini tak lain karena gerak tangan erat kaitannnya dengan tarian jugit baik Jugit Paman maupun Jugit Demaring.
sumber lain menyebutkan bahwa Badan si penari diguling didalam tilam lalu digulingkan di anak tangga oleh sipengawal berulan-ulang. Hal ini dilakukan di pagi hari, berguna supaya badan penari tidak kaku dan mudah dalam mempelajari gerakan jugit.
Demikian rangkaian senam yang dilakukan saban pagi oleh penari jugit, setelah itu mereka bisa beraktivitas normal seperti shalat subuh dan sebagainya, menariknya tidak ditemukan dalam catatan sejarah maupun kisah-kisah yang menyebutkan pelatihan ini menyebabkan cacat ataupun luka-luka serius, hal ini tidak lain karena program pelatihan para penari ini telah diperhitungkan dengan matang dan dilakukan oleh instruktur dan pengawal yang profesional di bidangnya, hukuman yang berat bisa dijatuhkan pada para pengawal dan instruktur tari bila terjadi kelalain, sebab para penari ini langsung dibawah perlindungan Sultan Bulungan.
Lalu bagaimana dengan hikayat mengenai tubuh penari jugit yang konon sangat langsing namun berisi itu? penelusuran saya serta beberapa catatan tertulis mengenai hal tersebut membuat saya terkejut sekaligus rasa takjub, bagaimana tidak untuk menjaga proposi tubuh mereka menjalani semacam diet yang ketat.
Menurut kisah yang saya ketahui, diet ketat ini terlihat dari alat-alat makan yang digunakan, misalnya makan seujung sendok nasi, dan minum setakaran telur ayam, maksudnya alat makan yang digunakan dengan takaran seperti itu, tentu saja boleh menambah namun dengan alat makan yang disediakan, makanan ini dipadukan dengan buah-buahan segar dan susu, sehingga kesehatan dan proporsi tubuhnya terjaga.
Pada siang hari para penari beristirahat dikamarnya masing-masing, mereka duduk diatas semacam tempat khusus atau tikar selain di tilam mereka yang di taruh semacam pelebah kelapa, dalam kondisi seperti ini mereka dianjurkan untuk tidak tidur siang berlebihan, sebagai gantinya mereka melakukan perawatan tubuh dengan berlulur khas Bulungan yang disebut “Bekasai”.
Epilog.
Tari Jugit sebagai bagian dari maha karya seni Bulungan bukan tak pernah memasuki masa yang suram, jatuhnya istana Bulungan tahun 1964 juga di ikuti kajatuhan seni istana, yang paling terkena imbasnya tentu adalah tari jugit, ini tak lain karena jenis tari ini hanya boleh digelar di istana Bulungan dan dilakukan oleh gadis Bulungan diluar kasta bangsawan, namun instrukturnya hanya boleh melatih atas sepengetahuan sultan, dalam hal ini orang Bulungan menjaga betul hal tersebut.
Disisi lain timbul juga ketakutan, ada anggapan bahwa jika ada yang mencoba menarikan tari jugit sama artinya mencoba menghidupkan lagi kenagan lama kesultanan Bulungan yang pada imbasnya akan juga terkenang kejadian yang tidak menyenagkan pada tahun 1960-an itu. Wajar saja timbul kekhawatiran saat itu tari jugit ini akan musnah.
Namun bupati Bulungan yang berpikiran terbuka seperti Kol Soetadji, Yusuf Dali dan juga di ikuti oleh R.A Besing, mencoba membuka kekakuan tersebut dengan menggelar Birau (pesta rakyat) yang juga diikuti oleh pegelaran seni tari Bulungan seperti tari jugit. Usaha ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat Bulungan, selain itu tak dapat di tampikkan juga ada usaha dan kesadaran tokoh-tokoh masyarakat dan seniman Bulungan agar tari jugit ini tetap lestari.
Sejak itu tari jugit kembali digelar di sanggar-sanggar tari maupun sekolah, ini tentu positif walaupun tidak lagi menjalani pelatihan seperti dulu. Saya harap kedepannya tari ini tetap lestari, dikenang dan dikembangkan oleh segenap masyarakat Bulungan hari ini hingga yang akan datang.
tulisan ini tentu jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran sangat dibutuhkan. Demikian sedikit ulasan saya mengenai hikayat penari jugit, semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat. Amin.
Sumber:
Wawancara Ibu Iyay (Qamariyah), pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. Pengajar tari tradisional Bulungan.
http://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/2010/11/ragam-seni-tari-tradisional-bulungan.html
http://amaliayoshiokachangmi.blogspot.com/2011/05/jugit-keraton.html
blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Minggu, 11 Desember 2011
Rabu, 12 Oktober 2011
Hikayat Naga Dalam Cerita Lisan Orang Tidung dan Bulungan.
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung)
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Naga di Kalimantan, tentu saja Naga yang dimaksud bukan seperti dalam penggambaran budaya timur khususnya dalam budaya Tionghoa, Naga dikalimantan lebih digambarkan sebagai ular raksasa terkadang dengan hiasan dikepala tanpa kaki dan tentu saja tanpa misai.
Kisah mengenai Naga di Kalimantan rupanya juga sempat membuat kepicut sutradara Hollywood dengan menampilkan ular besar Kalimantan dalam filmnya “Anacondas the Hunt For the Blood Orchid”, setidaknya seperti itulah spirit yang diangkat dalam film tersebut. Kita pun pernah dikejutkan dengan beredarnya foto-foto mengenai ular besar di kalimantan, walaupun beberapa darinya dianggap Hoax alias tak nyata.
Namun demikian, kisah ular-ular besar itu bukan tak pernah ada, sebuah fosil yang ditemukan di kawasan hutan hujan Kolumbia -yang penggambaran wilayahnya kurang lebih sama dengan hutan hujan kalimantan- memunculkan dugaan kuat bahwa hewan yang menjadi legenda itu memang pernah ada.
Titanoboa Cerrejonensis, begitulah para ilmuan menyebutnya, tak main-main Panjangnya mencapai 12,8 hingga hampir 14 meter, dan berbobot 1,25 ton. Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global.
Menurut para ahli baik dari American Museum of Natural History di New York dan University of Toronto Missisauga, monster melata itu di masa lalu mungkin saja melahap dan mengunyah buaya di hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60 juta tahun lalu.
(Titanoboa, ular raksasa yang menjadi legenda)
Lalu bagaimana cerita mengenai kisah ular-ular raksasa itu dalam hikayat lisan yang ada dimasyarakat Kalimantan, khususnya dalam masyarakat Tidung dan Bulungan? Saya mencoba untuk menelusuri cerita-cerita lisan yang berkisah mengenai hewan legendaris bahkan dianggap mahluk mitologi itu.
Hikayat Naga Dalam Lindungan Kabut.
Naga hidup dalam alam pikiran dan kisah-kisah lama yang tak lengkang dipukul waktu, namun kisah itu layaknya kabut tebal yang terkadang memang tak mampu dijangkau oleh logika kita.
Sejak kecil saya sudah sering mendengar kisah-kisah penampakan mahluk legendaris itu, cerita-cerita mengenai keberadaan mereka tak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Semakin jauh mereka dari manusia semakin kental keberadaan mereka baik dalam alam pikiran maupun masuk dalam relung-relung budaya.
Naga dalam cerita lisan pada masyarakat Tidung dan Bulungan bervariasi bentuknya, sebagian masyarakat ada yang percaya mereka merupakan mahluk supranatural yang mampu berkomunikasi dengan manusia-manusia yang memiliki kemampuan khusus tertentu. Bahkan ada pula sebagian yang percaya mereka dapat berubah bentuk menyerupai manusia di alam mereka, tentu jika tingkatan ilmunya sudah pada tahap sempurna.
Naga-Naga ini digambarkan hidup tak jauh dari sungai, konon ada yang bercerita bahwa pernah ada seekor Naga menjadi penunggu didasar sungai Buaya, maklum waktu itu kawasan sungai Buaya tak seramai sekarang, mereka yang matanya “Tembus”, -istilah masyarakat tempatan pada orang yang mampu berkomunikasi dan melihat wujud mahluk halus-, mengatakan bahwa mata sang Naga, lebarnya kurang lebih sebesar piring makan, saking besarnya si penunggu sungai tersebut. Cerita lain menyebutkan bila terjadi hujan di kawasan hulu, namun kawasan Tanjung selor dan sekitarnya baru banjir sekitar tiga hari kemudian, itu pertanda bahwa Naga-Naga yang tak kasat mata itu menahan arus air selama tiga hari tiga malam.
(Titanoboa salah satu ular terbesar yang pernah hidup di bumi)
Namun ada pula kisah lain yang menceritakan dan percaya bahwa Ular Naga itu memang pernah ada, mereka bukan sekedar mahluk supranatural, tapi berawal dari seekor ular, -khususnya sejenis ular Tedung, Sawa, Phiton atau Boa-, yang konon bertapa untuk mendapatkan mestika yang tumbuh disekitar kepala mereka, hewan-hewan ini bertapa atau tidur untuk membesarkan badannya, melahap apa yang ada disekitar mereka atau yang lewat dihadapan mereka. Dikisahkan pula tak jarang mereka melilitkan tubuhnya pada sebatang pohon yang besar dan rimbun di dalam hutan untuk bertapa. Untuk menjadi seekor Naga tidak hanya harus membesarkan badan, namun juga harus mampu bertahan hidup menghadapai ujian akhir, yaitu menangkap batu petir, yaitu sebuah batu yang dipercaya muncul saat petir menyambar pepohonan besar didalam hutan, jika tubuhnya kuat, ia akan hidup namun sebaliknya, hikayat Naga itu hanya sampai disitu.
Dalam budaya Tidung khususnya, Naga digambarkan cukup kental merembes dalam budaya mereka, gambaran itu dimanifestasi dalam bentuk seni ukir. Menariknya setidaknya Naga digambarkan dalam dua bentuk, bentuk pertama dua ekor Naga yang kepalanya berpaling, dalam bentuk ini gambaran mengenai Naga tersebut lebih berbentuk simbolik dengan sisik-sisiknya, sedangkan bentuk kedua yaitu dua buah Naga yang saling berhadapan memperlihatkan wujud Naga berupa ular besar yang saling bersentuhan.
Dimasa lampau, pelaut-pelaut Tidung, konon mengukir Naga pada lambung-lambung kapal mereka, terkadang diukir penuh dari kepala hingga ekor, sebagai bentuk kebersamaan mereka dengan mahluk legendaris itu tapi juga dimaksud untuk menolak maksud-maksud jahat dari mahluk lainnya dilautan.
Naga Dalam kisah Lama Para Penebang Kayu.
Setidaknya kisah-kisah penampakan mahluk legendaris terdengar di medio tahun 1970 hingga 1980-an, cerita mengenai keberadaan nyata mereka didengungkan oleh sebagian kecil para penebang kayu. Maklum saja itu masa-masa awal penebangan kayu dan pembukaan hutan oleh perusahaan. Kisah mengenai ular-ular besar dihutan-hutan Bulungan memang kerap saya dengar semasa kecil dulu, khususnya dari kakek saya, almarhum Djamaloeddin Bin Haroen.
Kakek dimasa itu sempat bekerja menjadi sopir damtruk yang mengangkut pekerja atau tim survai lapangan di perusahaan kayu, -sebelum pindah dari BPM (Batafche Petroleum Mastchapic) di Tarakan-, khususnya yang beroperasi disekitar hutan diantara kawasan Bulungan dan Tanah Tidung, kakek bercerita bahwa hutan-hutan itu memiliki nuansa mistik yang kental, bukan hanya penuh dengan mahluk-mahluk aneh tapi juga kisah-kisah seram termasuk mengenai keberadaan ular-ular yang memiliki ukuran yang besar.
(Foto seekor Naga atau Nabau dalam sebutan masyarakat Sungai Kajang di daerah Serawak, legenda mengenai keberadaan mahluk seperti ini juga ada dalam cerita-cerita lisan masyarakat khususnya dikalangan orang Tidung dan Bulungan).
Kisah-kisah mengenai ular-ular besar itu umumnya dianggap tabu untuk dikisahkan secara terbuka, khususnya para penebang kayu seangkatan kakek yang pernah mengalami kejadian bertemu dengan mahluk tersebut. Para penebang memiliki perasaan yang sungkan untuk mengisahkan keberadaan Naga-Naga tersebut karena mereka percaya mahluk itu dapat merasakannya, ular-ular besar itu dipercaya membalasnya dengan menyergap para penebang dengan bersembunyi dibalik kerimbunan hutan maupun pinggir kawasan sungai dalam.
Banyak dari mereka tidak ingin berurusan dengan mahluk tersebut, kakek bahkan tidak menyebut nama “ular” namun menggunakan perumpamaan seperti istilah “benda itu” atau “barang itu” bahkan kadang menyebutnya dengan istilah “akar atau pendeng”, sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa sungkan terhadap keberadaan mahluk tersebut.
Dalam kehidupan sebagian kecil orang di Bulungan memang ada yang tabu menyebut nama hewan-hewan tertentu dengan nama aslinya, mereka senang menyebutnya dengan perumpamaan seperti istilah “akar atau pendeng” untuk ular, “putri” untuk sebutan tikus dan “nenek atau datuk” untuk menyebut buaya.
Umumnya ada kepercayaan lama dikalangan orang-orang Bulungan tentang tanda-tanda alam, bila bertemu dengan seekor ular saat melakukan perjalanan, disarankan untuk mengubah haluan karena dianggap membawa hal yang kurang baik, para penebang kayu dimasa itu memiliki kepercayaan biasanya orang-orang yang kepuhunanlah yang bisa bertemu dengan mahluk tersebut, tentu saja bertemuan seperti itu bukan pertanda yang bagus.
Beberapa kisah penampakan mengenai keberadaan ular Naga tersebut menjadi kisah tersendiri dikalangan mereka yang sebenarnya enggan untuk dikisahkan, misalnya tentang sebatang pohon tumbang yang berukuran sangat besar secara tak sengaja diduduki oleh salah seorang penebang, bentuknya seperti batang kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi lumut, iseng-iseng salah seorang dari mereka menancapkan parang, mereka terkejut bukan buatan karena dari batang kayu tua berlumut itu, tersembur darah segar, tak banyak pikir para penebang lari pontang-panting dibuatnya.
Kakek pernah bercerita saat ia dan para penebang kayu melintas jalan hutan atau jalan loging, butuh waktu cukup lama untuk memberi jalan seekor ular besar yang sedang melintas, keadaannya jadi serba salah, walaupun truk yang mereka gunakan cukup besar, namun tidak akan cukup kuat untuk mengusik seekor ular dengan tubuh dua atau tiga kali dari ukuran normalnya, kalau sudah begini lebih baik biarkan saja benda itu lewat. Menurut kakek nasib mereka cukup mujur kala itu sebab mereka tidak berpapasan langsung dengan kepala ular besar tersebut.
(Bentuk Ukiran lain tentang naga yang secara simbolik digambarkan pada sisik-sisiknya)
Kisah lain yang juga menarik adalah, pada suatu hari tim survai lapangan sedang melakukan pemetaan dan pengukuran kawasan hutan yang akan di tebang, mereka menemukan sebatang pokok kayu aneh yang berdiri, disekitar pokok tersebut ada kayu-kayu yang bertumbangan, bau yang kurang nyaman terasa dibawa angin, kebetulan tak jauh di depan terdapat semacam gundukan yang menyerupai sebuah bukit kecil, beberapa orang sempat naik keatas gundukan bukit yang nampaknya ditumbuhi lumut itu, namun setelah diamati dengan baik, rupanya seekor ular Sawa berbadan besar sedang bertapa, mau tak mau survai lapangan hari itu langsung dihentikan, dari kejauhan terlihat batang pohon tersebut bergoyang seperti dihisap angin, nampaknya ia hidup dengan cara menghisap apa dan siapa saja yang lewat dihadapannya. Konon begitu pohon tunggal itu mampu tercabut dari tempatnya, itu artinya sang Naga telah siap untuk turun ke Sungai.
Banyak kisah-kisah tak lazim mengenai Sang Naga yang hanya diketahui sebagian orang, Selain itu penampakan yang tak banyak tersebut makin menambah mitos dan legenda yang menyelubunginya.
Terpulang lagi bagaimana cara kita menanggapi cerita-cerita lisan yang beredar dimasyarakat kita mengenai hikayat Sang Naga. Apapun itu tulisan ini hanya dimaksud untuk menambah penghargaan kita terhadap alam disekitar, bahwa dihutan yang lebat itu, tersimpan banyak rahasia-rahasia alam yang patut kita jaga dan kita hargai, sekaligus memotret pandangan masyarakat setempat mengenai hikayat Sang Naga yang bersembunyi diantara kabut tebal mitos dan legenda. (dihimpun dari berbagai sumber).
Daftar Pustaka:
27574-fosil_ular_terbesar_di_dunia.htm.
http://andiherman.wordpress.com/2009/02/21/ular-naga-raksasa-kalimantan-sepanjang-33-meter/
http://internasional.kompas.com/read/2009/02/21/05450289/Heboh.Ular.Raksasa.Kalimantan.Sepanjang.33.Meter
Memanen Sejarah Sarang Burung Walet Di Bulungan.
(Desain bubungan istana Bulungan yang unik ternyata menyimpan rahasianya tersendiri, satu lagi master piece Bulungan yang patut di kenang).
Siapa yang tak kenal sarang burung walet, di Bulungan sudah bejibun rumah-rumah walet di buat, maklum selain soal rasa, harga sarang burung walet memang menggiurkan, namun tahu kah kawan, dibalik cita rasanya sebagai barang mewah, ia juga punya sejarah panjang di Bulungan yang layak untuk kita dipanen.
Sekilas Sejarah Sarang Burung Walet Dalam Perdagangan Dunia.
Sarang burung walet, bukan barang baru dalam sejarah perdagangan dunia, bila merujuk catatan sejarah, sarang burung walet menjadi barang yang diperdagangkan dimasa Dinasty Tang (618-907 SM), iapun masuk dalam daftar menu wajib di istana.
Kemudian pada masa Dinasty Ming di tahun 1430, Zeng He alias Cheng Ho dikirim dalam sebuah muhibah resmi keberbagai negera melakukan misi diplomatik dan perdagangan, salah satu komuditi yang diperdagangkan adalah sarang burung walet.
“Berdasarkan catatan sekitar tahun 1587, China mengimpor sarang walet dalam jumlah besar dan mengenakan bea impor. Pada 1618, jumlahnya meningkat pesat karena adanya pengurangan bea impor yang diberikan kaisar dari Dinasti Ming. Pada waktu itu, sarang walet diterima dengan baik sebagai makanan berharga oleh penduduk Provinsi Guangdong dan Fujian,” tulis www.birdnestsoups.com
Jejak rekam sarang burung walet sendiri makin bersinar dengan adanya dua karya pengobatan yang mengharumkan namanya, dimasa Dinasti Qing akhir abad ke-17, karya tersebut tak lain adalah: Ben Cao Bei Yao (Catatan-catatan Penting tentang Bahan Obat-obatan) karya Wang pada 1694 dan Ben Cao Feng Yuan (Bahan Obat-obatan di Alam Terbuka) karya Zhang pada 1695. Orang China percaya sarang burung walet punya daya penyembuh untuk beragam penyakit seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Ia juga dianggap mampu meremajakan kulit atau memperlambat proses penuaan. Inilah sebabnya Sarang burung walet menjadi mahal karena khasiat yang dimilikinya, mereka sendiri menyebut sup sarang burung tersebut dengan nama Cia Po.
Dimasanya makanan ini menjadi barang mewah, itulah sebab tak semua dapat mengkonsumsinya, walaupun demikian permintaan ekspor impor China yang merupakan konsumen terbesar didunia juga ternyata tidak surut, inilah yang nampaknya membawa berkah bagi perdagangan sarang burung walet di nusantara, apa lagi menu sarang burung walet ternyata telah merata dikonsumsi para penguasa baik di wilayah selatan China seperti provinsi Guangdong dan Fujian, tren yang sama juga terjadi di luar wilayah kekaisaran China.
Kualitas sarang walet ditentukan oleh lingkungan alam dan kondisi gua. Tapi yang terpenting, waktu pengambilan sarang itu sendiri. Sarang terbaik adalah yang didapat dari gua lembab yang dalam dan diambil sebelum burung walet bertelur. Sedangkan yang terjelek, setelah walet muda berbulu. Warna sarang terbaik adalah putih, minim warna gelap, tak tercampuri darah dan bulu. Burung walet umumnya tinggal dan beranak-pinak di gua-gua dekat laut, jauh dari jangkauan manusia. Ada juga walet yang memilih gua-gua pedalaman, termasuk di gua-gua pegunungan kapur.
Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam.
Hikayat Sarang Burung Walet Dalam Lintasan Sejarah Bulungan.
Kapan sebenarnya perdagangan sarang burung walet di Bulungan?, tak dapat dijawab dengan pasti, namun melihat arus kuno rute perdagangan yang disinggahi para pedagang China seperti kepulauan Sulu, Laut China Selatan (sekitar Brunai) dan Selat Makassar yang pada dasarnya melalui Bulungan, maka sangat mungkin usia perdagangan sarang burung ini sudah sangat tua.
Menariknya sarang burung walet yang juga disebut lubang batu dalam istilah setempat khususnya dikawasan pantai timur kalimantan ini nampaknya mempunyai makna lebih dari tersekedar barang dagangan, lebih jauh ia sudah masuk dalam ranah politik.
Bahkan hikayat yang diceritakan oleh Johansyah Balham dalam rubrik Khas Kaltim B-Magezine menyebutkan bahwa seorang raja Kutai pernah memimpin penyerbuan terhadapat sebuah kerajaan kecil yang tak jauh dari wilayah kekuasaannya karena tergoda dengan kepemilikan sarang-sarang Burung walet yang menyebabkan kekayaan melimpah raja kecil tersebut.
Di masa kesultanan Bulungan, sarang burung walet juga memiliki rekaman sejarah panjang, beberapa kisah menyatakan bahwa Sultan membagi-bagikan kawasan lubang batu atau sarang burung walet kepada para bangsawan untuk menjamin kesetian mereka demi mewujudkan stabalitas kerajaan.
Yang lebih menarik lagi, menurut cerita yang disampaikan oleh Datuk Krama, salah seorang sepuh di kampung Tanjung Palas secara tak sengaja berjumpa dengan saya di warung kopi dekat kawasan Museum Bulungan.
Datuk Krama menceritakan pada saya bahwa desain istana Kesultanan Bulungan yang bertingkat dua itu, mempunyai fungsi untuk mengembang biakan sarang burung walet, itulah sebab bentuk atap istana yang khas dekat bubungan dimaksudkan sebagai jalan masuk bagi burung-burung walet yang pergi di pagi hari dan kembali menjelang sore, rungan itu gelap. Ada ruangan yang terletak disudut belakang yang digunakan jalan masuk dan keluar manusia untuk mengambil sarang burung walet tersebut. Kisah ini diaimini oleh salah seorang tua yang mengaku sewaktu kecil sering melihat pemandangan keluar masuknya burung-burung walet melalui bubungan istana tersebut.
Sejauh yang penulis ketahui, sarang burung walet memang menjadi salah satu komuditi ekspor penting khususnya pada abad ke-19. Di pantai timur, pelabuhan Samarinda misalnya menjadi salah satu pelabuhan yang didatangi. Kita beruntung J. Zwager, salah seorang Asisten Residen Belanda di Borneo Timur meninggalkan menuskrip berharga berupa laporan perdagangan di tahun 1853 yang bersisi barang-barang yang diperjual belikan lengkap dengan daftar harganya.
Sarang burung walet dalam catatan J. Zwager dibagi dalam dua jenis yaitu putih dan hitam serta dibagi lagi dalam beberapa jenis dengan daftar harga yang berbeda-beda seperti berikut:
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 10.—f.12.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 40.—f.50.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 2 : f 25—f.30.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 3 : f 15—f.20.- per kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 1: f 250—f.350 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 2: f 100—f.200 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 3: f 80 —f.100 per 120 kati.
Bila melihat daftar diatas nyatalah harga sarang burung walet putih dengan kulitas kelas satu mampu mengungguli sarang burung walet hitam walaupun memiliki kualitas yang sama. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sarang burung walet menjadi rebutan, bukan hanya pada tingkat pasar tapi juga ketingkat istana, tidak hanya itu sarang burung walet juga telah lama menjadi incaran para perompak maupun perampok, bahkan sejak masa perdagangan kuno terjadi di pantai timur kalimantan ini.
Harga sarang burung walet sampai hari ini bahkan tak pernah mengalami penurunan, ini menarik, sebuah situs internet yang saya baca memuat catatan perkembangan sarang burung walet dalam harga pasaran. Pada tahun 1999 saja data penjualan sarang burung walet mencapai kisan harga yang pantastis. Misalnya harga sarang walet yang dihasilkan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg atau setara dengan Rp 25 juta/kg. (dihimpun dari berbagai sumber).
Daftar Pustaka:
Abdullah, Dr Taufik. 1985.“Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan”. Jakarta : Gajah Mada University Press.
majalah histioria/berita-376-liur-yang-lezat.html
http://blogqunian-safran.blogspot.com
Tips Trik Blog: sejarah-burung-wallet.html.
Rabu, 14 September 2011
Menerangi Sejarah Kelistrikan Di Bulungan (1925-1964)
(Logo perusahaan Ruston, namanya sempat menjadi legenda di Bulungan)
Listrik sudah merupakan hal yang amat diakrapi dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Tak lengkap rasanya jika tidak ada listrik di rumah, bukan hanya sekedar untuk penerangan, listrik juga digunakan urusan bisnis dan menghidupkan barang elektronik, maka jangan heran jika banyak yang mengeluh jika terjadi gangguan listrik, kegiatan rumah tangga dan industri bisa terganggu.
Namun pernah kah kita bertanya, bagaimana asal mula keberadaan Listrik di Bulungan? Percaya atau tidak listrik sebagai penerangan mempunyai hikayat yang panjang dimasa lampau, bicara soal listrik, maka tak lengkap bila kita tidak mengupas soal Ruston, legenda kelistrikan bulungan yang coba penulis hidupkan kembali sejarahnya.
Ruston dan Sejarah listrik di zaman Kesultanan Bulungan.
Apa itu Ruston? Mungkin bagi sebagian orang, Ruston adalah nama yang asing, namun dimasa lampau Ruston merupakan salah satu legenda sejarah yang sejujurnya masih dbicarakan oleh sebagian kecil orang-orang tua di Tanjung Palas demi mengenang keberadaannya. Ruston tak lain adalah mesin pembangkit listrik pertama dalam sejarah Bulungan.
(Ilustrasi mesin pembangkit listrik Ruston, bentuk yang kurang lebih sama dengan ada di Tanjung Palas tempo dulu)
Mesin-mesin listrik di bulungan dimasa lampau menggunakan merk produksi Ruston, itulah sebabnya mesin tersebut dikenal dengan nama tersebut. Nama Ruston yang melegenda itu sendiri diambil dari perancang dan pendiri pabrikanya Joseph Ruston.
Titik penting kemajuan raksasa industri Ruston nampaknya dimulai Pada tanggal 11 September 1918, perusahaan digabung dengan Richard Hornsby & Sons. Hornsby adalah pemimpin dunia dalam mesin minyak berat, yang telah berkarya sejak 1891, delapan tahun penuh sebelum Rudolph Diesel memproduksi mesin disel secara komersial.
Kapan mesin-mesin pembangkit listrik buatan Ruston masuk ke Bulungan? Dalam catatan sejarah, penggunaan listrik mulai masuk dan berkembang dimasa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan melakukan program listrik murah di seluruh Tanjung palas, listrik-listrik di sambung ke rumah-rumah penduduk dengan bayaran yang miring. Mesin-mesin ini nampaknya dibawa bersamaan dengan kemajuan industri minyak di Tarakan sebelum perang pasifik pecah.
(Perhatikan tiang listrik di dekat istana, pemandangan seperti ini dulu lazim ditemukan, untuk saat ini ting listrik zaman kesultanan Bulungan sudah tidak ada lagi. Galeri foto: www.bulungan.go.id)
Menurut kisah yang dituturkan penduduk setempat, Basran Umar 53 th, ia menceritakan dahulu “neneknya”, Abdul Rasyid sempat mengoperasikan mesin-mesin berat tersebut dibantu dua orang pegawainya.
Mesin Ruston di Bulungan, tambahnya terdiri dari dua buah, ukurannya sangat besar dan bentuk bagunannya menyerupai leter “L”, jangkauan mesin ini sendiri, hampir mengkover seluruh tanjung palas saat itu, jarak jangkauannya jika ke tanjung Palas Ulu hampir mendekati jalan trans kaltim atau jembatan tanjung palas saat ini, sedangkan ke arah tanjung Palas Hilir menjangkau hingga daerah pabrik dekat daerah lebong sekarang, bahkan konon hingga dekat daerah karang anyar.
Ruston masih dioperasikan setelah kemerdekaan, jasa sangat besar untuk memajukan taraf hidup penduduk saat itu, bisa dikatakan jaman dahulu Ruston merupakan ikon penting kemajuan kota Tanjung Palas. Jalan-jalan di tanjung palas terang benderang dengan lampu-lampu neon di sepanjang jalan, konon Tanjung Selor sendiri masih belum merasakan kemewahan ini, tentunya jadi kenangan manis bagi yang merasakannya.
(Sisa-sisa kejayaan Ruston yang terlupa oleh kita)
Sayangnya nasib Ruston yang legendaris itu ternyata tak semanis namanya besarnya, pada saat istana Bulungan jatuh dalam huru-hara tahun 1964, Ruston mengalami kerusakan parah, hampir-hampir tak dapat difungsikan, saking sulitnya dihancurkan, mesin-mesin raksasa ini konon harus dirusak dengan air raksa oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Bak jatuh tertimpa tangga, Ruston akhirnya hanya menjadi kenangan yang nyaris terlupakan, terlebih setelah sisa-sisa bagkainya dilego menjadi besi tua, setelah itu Ruston seakan hilang dalam ingatan sejarah Bulungan.
Sisa-Sisa Kejayaan Ruston Yang Terlupakan.
Saya pikir tak ada salahnya jika saya harus berterimaksih dengan salah seorang sahabat saya Datuk Isa Anshari, sebab dari dialah saya mengenal Ruston pada awalnya.
Saat pertama kali saya mendekati puing-puing bangunan Ruston, ada rasa takjub dalam diri saya, bagaimana tidak, mendekati umur setengah abad bangunan itu di hancurkan, namun pondasinya masih sangat kokoh, seolah saya menemukan sisa-sisa reruntuhan benteng kuno.
(Tangga di salah satu sisi reruntuhan)
Kualitas bangunan betonnya memang nomor wahid, ketebalan pondasi dan luas ukurannya, membuat saya dapat menimbang betapa besar dan beratnya mesin-mesin raksasa tersebut. Saya tak habis pikir mengapa bagunan seindah ini luput dari perhatian.
Walaupun tak digubris waktu, reruntuhan Ruston ini masih menyimpan Aura kemegahannya, ada tangga disisi bangunan, mungkin dahulu pintu masuknya dari situ, pun demikian dengan tempat pemutar roda-roda raksasa, masih ada disitu, sedikit terendam air hujan, demikian pula dengan beberapa baut-baut besi yang sudah berkarat, dengan sedikit sisa nafas, Ruston ternyata masih mampu menceritakan kisahnya pada saya.
(Bekas landasan roda-roda raksasa Ruston, tergenang air dan kurang terawat)
Tak dapat saya pungkiri dibalik ketakjupan saya pada sisa-sisa reruntuhan Ruston, ada sedikit rasa sedih di hati saya, Sebab Ruston tak seperti Warmound yang selalu dikenang, Ruston terlupakan oleh kita dan waktu, sama seperti waktu yang sudah mengaratkan sisa-sisa besi yang terongkok lesu disitu, disinilah awal dan berakhir kisah Ruston yang legendaris itu. (ditambah dari berbagai sumber).
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ruston_(engine_builder).
Selasa, 13 September 2011
Mengepak Sayap Sejarah Penerbangan Di Bulungan
PBY-5A Catalina milik AU Belanda, jenis yang sama yang juga pernah ditempatkan di Bulungan)
Bila menilik sejarah bulungan, kita pernah memiliki bebarapa legenda sejarah peninggalan belanda yang masih dibicarakan oleh orang tua-tua di Tanjung Palas, seperti Warmound, menjadi legenda yang saat ini menghuni dasar sungai kayan, kitapun juga pernah “punya” pesawat amphibi yang sempat menghiasi langit Bulungan, nah bagaimana hikyatnya?
Hikayat Si Perahu Terbang dan Si Nyonya Besi yang melegenda.
Kisah mengenai sejarah pesawat Amphibi di khususnya di Tanjung Palas dan Tanjung Selor, telah lama saya dengar, menurut catatan Iwan Sentosa dalam bukunya “Tarakan Pearl Harbour Indonesia”, maupun data sejarah yang dikeluarkan oleh Pemkot Tarakan, diketahui terdapat pesawat Amphibi yang terkenal yaitu “si perahu terbang”, Dornier DO-24K yang mashur digunakan dalam angkatan laut Belanda. Selain DO-24K, langit Bulungan juga sempat dihiasi pesawat PBY-5A Catalina yang legendaris itu.
Menurut sejarahnya DO-24K memang diperuntukan untuk misi angkatan laut untuk mengganti pesawat Wals Dornier yang sempat digunakan di Hindia Belanda, ironisnya pesawat justru ini paling banyak digunakan oleh Luftwaffe alias AU Jerman.
Pesawat ini dirancang oleh Flugzeugwerke Dornier untuk misi penyelamatan dan patroli maritim, produsennya adalah Dornier Aviolanda. DO-24K mulai debut penerbangannya pada bulan juni dan diperkenalkan ke publik secara umum pada Noverber 1937, sejak itu ia masih diproduksi hingga 1945, bahkan dibawah masa pendudukan Jerman, tentu saja dibawah pengawasan yang ketat oleh pemerintah pendudukan Jerman di Belanda. Beberapa dari DO-24K sempat dibawa kabur ke Hindia Belanda, diantaranya ditempatkan di Tarakan.
Menjelang perang fasifik, Colonial Belanda memang gencar-gencarnra melakukan modernisasi armada tempur tak terkecuali di Tarakan dan Bulungan khususnya pesawat tempur mereka yang merupakan warisan dari PD I, setidaknya menurut catatan iwan sentosa, terdapat Bomber Glenn-Martin dan pesawat tempur “ si gendut” Brewster Buffalo yang dioprasikan oleh Militaire Luchtvaart (AU Kerajaan Belanda), kemudian Dornier DO-24K yang dioprasikan oleh penerbang angkatan laut belanda alias Marine Luchtvaartdiens, digunakan khusus sebagai pesawat intai.
Tak ada yang benar-benar tau pasti sejak kapan “Si Perahu Terbang” ini masuk dalam daftar arsenal AL Belanda khususnya yang ditempatkan di Bulungan, namun yang pasti pesawat ini sudah sering hilir mudik Bulungan-Tarakan sebelum Jepang menyerang kota Tarakan.
Nasib DO-24K tak banyak juga yang mengetahuinya, ada yang mengatakan pesawat ini hancur saat pendaratan Jepang, terlebih lagi pesawat ini pula yang kedapatan bertemu langsung dengan armada Kekaisaran Jepang di sekitar perairan pulau Bunyu pada 10 Januari 1942, namun ada pula kabar yang menyebutkan pesawat tersebut sempat dilarikan ke Australia dan digunakan oleh RAAF (AU Australia).
Sungai Kayan Sempat Jadi Landasan.
Lain hikayat “si perahu terbang” DO-24K, lain pula cerita “si nyonya besi” PBY-5A Catalina. Si Nyonya besi lahir dari pabrikan Amerika dan memulai debutnya pada Maret 1935, dan terus diproduksi hingga tahun 1940-an oleh perusahaan Consolidated Aircraft dan American Aircraft Manufactures. Pesawat ini terlihat sekitar tahun 1947-an di Bulungan.
Menurut beberapa cerita yang terdengar dari mulut ke mulut, Catalina dahulu hanggarnya diletakkan di sekitar Tanjung Palas, bila akan berangkat akan terdengar suara lonceng dipukul bertalu-talu. Pemandangan seperti ini sudah sering dilihat oleh orang-orang baik di Tanjung selor dan di Tanjung Palas pada zamannya.
Catalina sempat menjadi pesawat angkut kesayangan Belanda di Bulungan pasca kembalinya Tarakan ke tangan sekutu, karena kapasitas angkutnya yang cukup besar, tujuh hingga delapan orang muat dalam pesawat ini. Si nyonya besi dianggap pas selain mampu memangkas waktu perjalanan dari Bulungan ke Tarakan, kemampuannya sebagai pesawat amphibi juga dianggap cocok untuk kontur istana kesultanan Bulungan yang terletak dipinggir Sungai kayan. Istilah PB sendiri mengacu pada Patrol Bomber, itu karena Catalina mampu menggotong ranjau laut, aneka bom, torpedo dan senapan mesin kaliber 50 milimeter.
Sayang nasib si nyonya besi itu tak diketahui pasti, mungkin diangkut pulang kembali ke Belanda setelah Bulungan menyatakan bergabung dengan republik secara resmi 1949.
Apapun itu, sejarah mengenai DO-24K maupun PBY- 5A Catalina tetaplah menjadi kenangan tersendiri setidaknya bagi mereka yang pernah berjumpa dengannya atau mungkin sekedar menjadi cerita untuk anak cucu saat bersantai diwaktu luang. Demikianlah sekilas riyawat penerbangan di zaman kesultanan bulungan yang dapat penulis kisahkan.(ditambahkan dari berbagai sumber).
Daftar Pustaka:
Iwan Sentosa “Tarakan Pearl Harbour Indonesia.
WIKIPEDIA: Dornier DO-24K.
WIKIPEDIA: PBY-5A Catalina.
Minggu, 26 Juni 2011
Menikmati Keindahan Gua Gunung Putih.
Gunung Putih, begitulah orang-orang sering menyebut salah satu objek wisata yang terkenal di kabupaten bulungan ini. Tempat ini merupakan Gunungan Kapur yang merupakan ikon penting bagi Tanjung Palas yang pada masanya dahulu merupakan ibukota salah satu kesultanan yang paling berpengaruh di utara Kaltim.
Siapapun yang berkunjung ke bulungan, khususnya melewati jalur sungai, jika dari kejauhan melihat Gunung Putih, maka orang-orang akan mahfum jika mereka sudah dekat dengan gerbang Kota tanjung Selor sekaligus memasuki pusat kebudayaan bulungan di Tanjung Palas.
Itulah sebabnya ada semacam pandangan bahwa dimasa lampau ada keterikatan yang penting antara Istana kesultanan Bulungan dengan Gunung putih, keduanya memiliki ikatan yang erat karena bagi sebagian orang bulungan percaya bahwa sejarah Bulungan bukan hanya berbicara mengenai manusia dan segala aktivitas keduniaannya namun juga berbicara antara manusia dengan dunia lain yang ada disekitar mereka, atau dalam bahasa sederhanya mereka percaya sebagian sejarah bulungan dibentuk berdasarkan sejarah mistis, dan gunung putih merupakan salah satu tempat yang dipercayai dihuni oleh mahluk lain sekitar kita yang memiliki keterikatan penting dengan istana bulungan dimasa lampau sekaligus memberi warna tersendiri dalam sejarah mistis bulungan.
Pemandangan Eksotis Gunung Putih.
Dewasa ini gunung putih merupakan salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi sekedar melepas lelah, keindahan gunung putih memang sangat natural, kita disuguhi keindahan pemandangan yang menyejukan mata, ada sungai kecil disisi gunung, kemudian bebatuan yang ukuran cukup besar serta pemandangan hijau yang menyenangkan.
Untuk sampai ke puncak gunung, kita bisa melewati gundukan anak tangga yang lumayan cukup panjang, cocok bagi penggemar Hiking, selain itu jika sudah sampai di teras gunung, pengunjung dapat menikmati pemandangan sambil duduk-duduk santai diatas gudukan bebatuan yang cukup besar, tempat ini bisa juga digunakan sebagai tempat alami menantang adrenalin untuk para pemanjat tebing.
ada dua titik utama yang biasa di kunjungi orang di gunung putih, yaitu dipuncak gunung yang paling tinggi, dari atas sana kita bisa memandang hamparan perumahan penduduk, biasanya para pencinta alam tidak akan melewati momen yang indah itu.
Titik lain yang juga dikunjungi adalah gua bawah tanah yang teletak dibelakang lereng gunung, untuk sampai kesana mungkin sekitar 10 sampai 15 menit dari teras gunung, jalan memutari gunung memberikan pemandangan yang asri bagi pengunjung, sebab dari sisi gunung tersebut belum banyak terjamah tangan-tangan manusia, sehingga menambah keindahan pemandangan di bawahnya. Jalan-jalan yang sudah disemenisasi semakin memanjakan pengunjung untuk menikmati keindahan lereng gunung masih natural tersebut.
Mengintip keindahan gua gunung putih.
Umumnya para pengunjung biasanya berhenti di depan gua, jarang ada yang masuk hingga ke dalam, beberapa tahun belakang ini Pihak Pariwisata Kabupaten Bulungan dan pihak pengembang berusaha melakukan eksplor lebih jauh memasuki dalam gunung, walaupun sejauh ini masih belum cukup terbuka untuk umum karena masih mengalami perbaikan disana sini.
Penulis termasuk yang cukup beruntung menyaksikan keindahan pemandangan bawah tanah gunung putih. Sebelum masuk melalui pintu gua, biasanya ada semacam hawa dingin yang dirasakan pengunjung, disarankan untuk menjaga sikap begitu memasuki area tersebut.
Penulis sendiri pernah melakukan kegiatan susur gua bersama beberapa rekan saat masih kuliah tingkat sarjana sewaktu mengunjungi gua-gua bawah tanah yang alami di kabupaten Tanah Laut, pemandangan digunung putih tak kalah menakjubkan mengingat kawasan ini memang jarang dimasuki manusia.
Untuk memudahkan memasuki gua kita melewati anak tangga yang telah di buat oleh pihak pengembang, dari situ kita sudah disuguhi keindahan lukisan alami yang sangat indah, lengkung gua yang dipadukan hamparan stalagmit memberikan sensasi pengalaman tersendiri.
Ada sedikitnya 42 titik lampu sorot yang di tempatkan pihak pengembang untuk memudahkan dan memandu pengunjung di dalam gua tersebut, ada semacam undakan yang cukup luas di dalam gua, kita masih bisa turun lebih dalam lagi bila berminat, hanya saja menurut penulis masih perlu perbaikan sedikit khususnya jalan berada dibagian bawah dasar gua.
Dari kejauhan kita mendengar suara burung walet, kerena memang kawasan ini merupakan sarang alami bagi burung-burung tersebut, sejauh ini pihak pengembang maupun pengunjung belum ada yang mencoba lebih jauh untuk memetakan labirin-labirin didalam gua, masih banyak misteri yang belum terpecahkan dan masih banyak lagi petualangan yang masih menanti untuk di jelajahi.
Kamis, 14 April 2011
Selayang Pandang Sejarah Mesjid Sultan Kasimuddin.
(Mesjid Sultan Kasimuddin diwaktu senja)
Salah satu harta kekayaan sejarah Bulungan adalah Mesjid Sultan Kasimuddin atau dikenal dengan nama Mesjid Kasimuddin, nama itu sudah sangat dikenal sebagian besar masyarakat Bulungan, namun sejarah yang melikupinya, ternyata tidak setenar namanya. saya akan mengajak kawan-kawan merefres ingatan kita mengenai mesjid bersejarah ini.
Riwayat Singkat Mesjid Kasimuddin.
Mesjid Jami’ Kasimuddin merupakan sebuah masjid bersejarah yang dibangun Peninggalan Sultan kasimuddin(1901-1925), seorang Sultan yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan dikenal sangat dekat dengan para ulama, beliau amat gigih melawan pengaruh Belanda di Bulungan, Hal itu tergambar dari ucapannya yang sangat terkenal saat ia menghentikan kebiasaan protokoler yang mengharuskan Sultan menjemput di dermaga ketika pejabat Belanda hendak berkunjung ke isana raja;
“kalau kami sendiri harus menjemput tuan Belanda dari kapal untuk menghadap raja, maka raja mana lagi yang harus dikunjungi, karena saya adalah raja !,“
(teras luar mesjid Kasimuddin, ditempat inilah anak-anak biasanya mengaji Al-Qur'an)
Menurut H. E. Mohd Hasan, dkk, Mesjid Kasimuddin di Bangun sekitar tahun 1900-an, letaknya tak begiru jauh dari bekas mesjid pertama yang dibangun oleh Sultan Datu Alam Muhammad Adil yang berada di dekat tepi sungai Kayan.
Konon pengerjaan mesjid ini langsung diawasi oleh sultan sendiri. asal lokasi tempat mendirikan mesjid kasimuddin, menurut sumber tertulis letaknya kurang lebih 150 meter ke arah darat dari lokasi mesjid pertama, ini artinya dahulu mesjid tua sebelum mesjid Kasimuddin di bangun, lokasinya sangat dekat sekali dari pinggir sungai, sehingga mungkin di khawatirkan pondasinya bisa rubuh dan membahayakan jemaah. kondisi tanah agak becek karena berupa tanah rawa sehingga masyarakat bergotong royong membersihkan dan menimbunnya. uniknya waktu penimbunan tanah pada siang hari untuk kaum laki-laki sedangkan pada malam hari dikerjakan oleh kaum wanita. tidak hanya masyarakat biasa, Sultan Kasimuddin, beserta staf istana dan pegawai mesjid juga turut terlibat penuh dalam pembangunan mesjid bersejarah ini.
(suasana hening dan tenang didalam mesjid Kasimuddin)
Mesjid Kasimuddin memiliki luas 21 X 21 meter dengan model bangunan lama mempunyai tiang penyangga langsung ditengah berjumlah 16 buah yang panjangnya kurang lebih 20 meter dengan besar 25 X 25 centi meter. Mesjid Kasimuddin memiliki 12 buah daun pintu yaitu: 3 buah daun pintu di depan, 3 buah daun pintu di kiri dan 3 buah di kanan masjid, dan 2 dua buah daun pintu lagi di belakang dekat mimbar menghadap ke kompleks kuburan Sultan Bulungan dan keluarga. Pada awalnya lantainya hanya dilapisi oleh tikar, kemudian dengan biaya Sultan Kasimuddin sendiri lantai tersebut dipercantik dengan tehel (marmer) sampai sekarang. Sumber lain menyebutkan marmer dimesjid Kasimuddin diperindah ulang dimasa Sultan Djalaluddin. Juga tak kalah menariknya seni kaligrafi Islam, Khat yang sangat indah bisa dijumpai disetiap sisi dalam mesjid bersejarah ini.
Relasi Mesjid dan Istana.
Dimasa lampau, mesjid Kasimuddin memiliki relasi yang kuat dengan istana Bulungan. pada awalnya para imam mesjid dipilih beradasarkan garis darah turun temurun alias garis keturunan yang terpilih. ini artinya jabatan imam dimasa lampau merupakan jabatan penting yang bersifat otonom, dimana istana tidak ikut campur namun tetap mengakui eksistenisi dan kepemimpinan Imam mesjid tersebut.
(tiga belas pejabat keagamaan yang di lantik oleh Sultan Djalaluddin di Istanan Bulungan pada tahun 1933, penujukan dan penetapan Mufti, Qadi dan para Imam ini, merupakan kelangsungan dari tradisi yang dijalankan dimasa Sultan Kasimuddin. penulis mencoba menelusuri sejarah para Qadi dimasa tersebut berdasarkan sumber lokaL, kemungkinan besar Qadi yang dilantik adalah Hadji Baha'Uddin, ulama asal Minangkabau, sedangkan Mufti kemungkinan besar adalah Hadji Syahabuddin Ambo' Tuwo, ulama asal Wajo yang juga guru mengaji di Istana Bulungan tempo dulu.)
Hal ini dapat dipahami, bahwa ada semacam pandangan bahwa jabatan seorang imam akan lebih baik jika diturunkan pada generasi keluarganya, tentu bukan hanya soal asal usul keluarga namun juga karena pemahaman tentang agama islam mereka yang mumpuni diatas rata-rata masyarakat biasa. Hal ini setidaknya terjadi sebelum reformasi total yang dilakukan oleh Sultan Kasimuddin.
Dimasa Sultan Kasimuddin berkuasa, ia melakukan langkah-langkah penting melakukan islamisasi politik di dalam istana, jabatan keagamaan disatukan dalam satu jawatan dimana Mufti Negeri, Qadi dan Imam Besar memiliki peran dan pengaruh yang semakin besar untuk melakukan pembinaan terhadap umat, namun disisi lain jabatan ini,-Khususnya Imam Besar- tidak lagi otonom karena istana akhirnya masuk lebih jauh lagi.
Dizaman kesultanan, khususnya pada bulan-bulan hijriyah yang penting, ada semacam tradisi berkumpulnya para pemuka agama dan masyarakat serta kerabat kesultanan di istana Bulungan, biasanya diawali dengan tembakan salvo "Meriam Sebenua", khususnya pada awal dan akhir Ramadhan serta malam 1 Syawal.
(ukiran khat yang indah pada langit-langit mesjid Kasimuddin, disinilah agama dan seni menemukan kata sepakat)
Sehari menjelang awal Ramadhan, semua pengawai mesjid termasuk khususnya yang termasuk dalam jawatan agama islam, berkumpul bersama di istana untuk mengadakan tahlilan menyambut ramadhan. selesai acara Sultan biasanya memberikan uang panjar kepada pegawai mesjid atau jawatan keagamaan dimana Qadi dan juga Mufti 35 gulden para Imam 25 gulden, khatib 15 gulden dan Santri 10 gulden. selama Ramadhan seluruh pegawai mesjid dan staf istana tidak ada yang meninggalkan tempat khususelaksanakan tugasnya. sepanjang malam biasanya mesjid ramai dengan acara Tadarus Al-Qur'an baik di Mesjid Kasimuddin maupun istana raja, bahkan makan untuk yang mengaji atau tadarus alquran langsung ditanggung oleh istana, sepanjang Ramdhan Kesultanan juga menyediakan buka puasa dimesjid dan istana Bulungan.
Pada pertengahan Ramadhan, oleh pegawai mesjid besar diadakan acara khataman Al-Qur'an di istana, biasanya mereka kemudian akan diberi hadiah uang panjar, kataman juga dilakukan diakhir bulan ramadhan sekaligus pembagian zakat fitrah oleh pegawai mesjid.
Setiap tanggal 27 ramadhan Sultan mengeluarkan Zakat Maal (harta) dimesjid, tempat sembahyang Tarwih juga disediakan tidak hanya di dalam, namun juga diluar mesjid.
Benda-benda peninggalan di dalam Mesjid Kasimuddin.
peninggalan-peninggalan bersejarah dapat pula kita temui dimesjid ini, diantaranya adalah Beduk dan Mimbar mesjid yang usianya sudah ratusan tahun.
(tampak dari depan tabuh keramat mesjid Kasimuddin)
Beduk di mesjid ini merupakan salah satu peninggalan Islam di Bulungan. Beduk tersebut sekarang ini tersimpan di teras Mesjid Sultan Kasimuddin, usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun namun sampai hari ini kayunya masih bagus, menurut kisah yang beredar, beduk tersebut merupakan potongan kayu tabuh (beduk) di mesjid tua yang berada di Baratan.
Konon kayu ini hanyut dari hulu dan terdampar didalam parit dekat lokasi mesjid kasimuddin saat ini, kayu tersebut sudah berbentuk beduk dari awalnya. Maka oleh ketua-ketua kampunga, potongan kayu beduk yang mereka sebut "nenek kayu" tersebut mereka jadikan tabuh mesjid agung tersebut.
Riwayat lain menceritakan ada satu masa orang-orang yang tinggal di hilir kampung Penisir, dihulunya kampung Baratan sekarang, pada malam tanggal 15 bulan Hijriyah yang bertepatan dengan malam jumat, pada tengah malam sering terdengar suara pukulan tabuh atau beduk berirama panjang dan bertalu-talu, kesaksian lain dari masyarakat bahwa disungai pernah dilihat oleh masyarakat berupa dahan-dahan kayu yang masih hidup timbul dan mudik melawan arus air, kemudian tenggelam lagi ke lokasi asalnya, potongan kayu tersebut dipercayai berasal dari lokasi yang sama dimana terlihat fenomena potongan kayu yang melawan arus tersebut.
(ukuran panjang keseluruhan beduk Mesjid Kasimuddin)
Penulis telah melakukan pengukuran terhadap beduk tersebut pada tanggal 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, hasilnya diketahui beduk tersebut memiliki panjang 274 cm, dengan diameter garis tengah 47 cm, dan memiliki ketebalan kayu sekitar 1 inci atau 2,4 cm.
Selain tabuh atau beduk, benda bersejarah lainnya adalah Mimbar yang saat ini terdapat didalam Mesjid Sultan Kasimuddin, merupakan mimbar yang cukup tua umurnya, keistimewaan dari mimbar ini adalah ia sepenuhnya merupakan representasi dari seni ukir Bulungan yang begitu indah.
Pola hias berupa dedaunan sangat menonjol dihampir semua bagian mimbar terutama pada tangga mimbar, kepala mimbar, bagian dalam mimbar yang semuanya diukir dengan sangat teliti serta dilapisi cat berwarna keemasan, mimbar Mesjid Sultan Kasimuddin merupakan salah masterpiech yang sampai sat ini masih dapat dinikmati keindahan dan keberadaannya. Menurut penuturan sumber lokal, mimbar tersebut dibuat dan dihadiahkan oleh seorang kerabat Kesultanan yang sangat ahli dalam seni ukir Bulungan.
(keindahan ukiran pada mimbar mesjid Kasimuddin, salah satu mahakarya Bulungan yang masih bisa kita saksikan hari ini)
demikianlah selayang pandang sejarah mesjid Kasimuddin, semoga kita, generasi mudah bisa lebih menghargai nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelum kita.
Sumber:
H.E. Mohd. Hassan, ddk.“Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”,Tanjung Selor 26 November 1981.
Catatan hasil ukuran beduk mesjid kasimuddin, 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, oleh Muhammad Zarkasy. lokasi Mesjid Sultan Kasimuddin Tanjung Palas.
Foto:
Koleksi pribadi Muhammad Zarkasy.
Koleksi Siti Harna Hamad.
Sabtu, 26 Februari 2011
Sniper dari hutan yang gelap (misteri penembakan sultan Kasimuddin).
Sultan Kasimuddin yang merupakan Raja kedelapan dari Dinasty Bulungan merupakan salah satu pigur kontroversial dalam sejarah Bulungan, pada masa kepemimpinannya Bulungan dapat dikatakan memasuki masa keemasan dengan kekayaannya yang melimpah dari kilang-kilang minyak dari perut bumi Tarakan, bukannya hanya itu dimasa pemerintahannya pulalah rakyat bulungan mulai mengenal pendidikan, bahkan putranya Sultan sulaimanpun ia siapkan menjadi penerusnya dengan mengenyam pendidikan barat, tanda bahwa ia seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan untuk kesultanan bulungan, dimasa pemerintahannya, ia juga melakukan perubahan dalam administrasi kerajaan pada masa itu.
Namun walau begitu, ada sisi lain dari pemerintahannya yang membuatnya memiliki catatan “buram” khususnya pada masa-masa awal ia berkuasa, yaitu kebijakan pajak yang akhirnya “meletuskan” pergolakan di hampir sepertiga wilayah kesultanan Bulungan akibat bayang-bayang dan campur tangan kolonial Belanda di Bulungan. Sebut saja perlawanan panglima Wan Pai Luhung dari suku bangsa Segai, begitu pula perlawanan Maharaja Pandhita di tanah tidung (disekitar wilayah malinau). Inilah yang nampaknya memicu rentannya keselamatan sultan Kasimuddin.
Hal ini dapat dipahami, sebab pengaturan pajak sebenarnya bukan atas kehendak sultan melainkan dinas perpajakan kolonial belanda alias Commissie Aanslag dengan sistem pemungutan pajak bernama Collectellon yang diawasi oleh Controleur. di Bulungan tempo itu, pajak dikenakan pada tiap-tiap orang f.15 hingga f.25, tiap orang tambah 0,75 uang kemit atau sen untuk kepala-kepala kampung.
Sultan berusaha meredam pergolakan dan protes dengan cara damai, namun bagi pemerintah kolonial Belanda, menyelesaikan masalah tersebut bukan menggunakan "ujung lidah" -(diplomasi dan musyawarah yang sedari dulu menjadi tradisi bagi kesultanan Bulungan untuk menyelesaikan permasalahan)- melainkan "ujung bayonet", Sultan tidak menyetujui cara-cara seperti itu, karena dimasa ayahnya berkuasa, sempat terjadi kesepakatan damai dengan pihak-pihak yang sempat berseberangan dengan sultan tersebut. namun pendapatnya dianggap angin lalu. toh perlawanan itu tidak bertahan lama setelah campur tangan militer Belanda yang dibawah komando Kapten J.Cox, inilah yang nampaknya menjadi benih-benih perlawanan Sultan Kasimuddin kelak terhadap Belanda di Bulungan.
Sultan Bulungan yang kedelapan ini diketahui meninggal pada saat berburu karena tertembak oleh sniper, memang catatan sejarah kasus sniper bukan tidak pernah terjadi, tengok saja pemimpin pasukan belanda jendral kohler yang tewas saat menyerang aceh, ia tertembak oleh sniper yang masih belia asal Aceh di pekarangan mesjid raya aceh, kasus yang sama juga menimpa Mallabi, pimpinan pasukan pendaratan inggris di surabaya juga tewas ditangan sniper yang berasal dari senapan pejuang Surabaya, namun dalam sejarah Bulungan Sultan Kasimuddin diketahui wafat karena tertembak sniper misterius, sebuah peristiwa sejarah yang tak lazim, inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa motif dari pelaku penembakan tersebut? siapa dalang dibalik pembunuhan itu? Dimana tempat kejadiannya? Bagaimana peristiwa itu terjadi? Yang juga penting adalah kapan peristiwa itu terjadi?. Inilah yang membuat kasus tersebut menjadi warisan abadi dari sejarah Bulungan.
Selain itu sebuah fakta yang menarik adalah dalam kajian arkeologis yang dilakukan terhadap makam raja-raja bulungan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin sekitar tahun 2000-an, didapati fakta yang cukup mengejutkan penulis, pada nisan Sultan Kasimuddin, tidak ditemukan inkripsi yang memuat tanggal wafatnya beliau, sedang pada nisan Sultan bulungan sebelum beliau ditemukan nisan-nisan tersebut rata-rata memiliki inkripsi yang menunjukan tanggal wafatnya, begitu pula pada makam pemimpin setelah beliau, juga ditemukan inkripsi yang memuat informasi tanggal wafatnya. Inilah yang menyulitkan para peneliti untuk mengetahui kapan persisnya waktu meninggalnya sultan Kasimuddin.
Sebuah informasi berharga penulis dapatkan dari koleksi foto KITLV tentang Sultan Kasimuddin dari katalog yang uraiannya mayoritas ditulis oleh J.H. Maronier dengan Kode Gambar 34446 dan diperkirakan diambil pada tahun 1920-an, memberikan informasi tentang Sultan Kasimuddin.
“Maulana Sulthan Mohamad Kasimoedin, sultan van Boeloengan op Borneo vanaf januari 1903 tot aan zijn dood in oktober 1924.” Terjemahnya, Maulana Sulthan Muhammad Kasimuddin, Sultan Bulungan di pulau kalimantan (bertahta) sejak Januari 1903 dan dia meninggal pada Oktober 1924.
Dari keterangan yang diperoleh dari catatan Foto Sultan Kasimuddin bahwa beliau bertahta pada tahun 1903 dan wafat pada Oktober 1924, maka kita ketahui bahwa kejadian tersebut terjadi pada Oktober 1924, namun kita tetap mencari bahan bandingan terhadap informasi tersebut, lalu apa pula motif dari penembakan ini? agak sulit memang untuk mencari motif dari pelaku, sejauh ini penulis belum mampu mengunggap apa motif pasti dari pelaku tersebut, begitu pula dalang dibalik peristiwa itu, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan sniper tersebut adalah pelaku tunggal. Dan yang lebih disayangkan lagi tidak banyak memang catatan yang dapat kita manfaatkan karena minimnya sumber informasi.
Peristiwa yang menimpa Sultan Kasimuddin nampaknya bukan sesuatu yang mudah untuk “diketahui” untuk umum, terbukti dari adanya kesan yang nampaknya sengaja tidak memberi ruang informasi pada publik, hal itu dapat dilihat dari tidaknya adanya keterangan pada makam beliau, dan almarhumpun menutup kejadian tersebut untuk tidak diketahui oleh rakyatnya sampai akhirnya beliau menutup mata. Sejauh ini kita hanya bisa mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi di sekitar bulan Oktober 1924.
Jika dilihat dari kepemilikan senjata, tentunya pikiran kita baik secara langsung maupun tidak akan berfikir pemerintah belanda mungkin berada di balik kejadian tersebut terkait tentang kilang-kilang minyak di Tarakan yang memang memberikan pendapatan besar bagi Bulungan dan Belanda, seperti yang di klaim dalam sejarah bulungan, sultan kasimuddin pernah memutuskan kebijakan yang mulai menghapus sistem upeti, karena Sultan berpendapat bahwa uang bagi hasil dari produksi minyak di Pulau Tarakan untuk Belanda sudah lebih dari cukup, pastilah membuat marah di pihak Belanda, kejengkelan Belanda kian memuncak, karena Sultan menghilangkan tradisi Kesultanan Bulungan menjemput tamu Belanda sebelum merapat di depan istana Sultan.
Sultan Kasimudddin juga menggiatkan pengajaran agama islam dan memperbesar wewenang Qadi, bahkan sebelum ia meninggal, sultan sempat mengunjungi negeri, Belanda tahun 1923, menariknya walaupun Sultan menampakkan perlawanan terhadap pihak kolonial, namun pihak belanda tidak satupun yang meminta sultan mencabut atau meminta maaf atas sikapnya, ini menandakan bahwa beliau sangat diperhitungkan oleh pihak kolonial, pengalaman pahit dimasa awal ia berkuasa nampaknya semakin berpengaruh besar terhadap sikapnya untuk menentang kolonial belanda di bulungan.
Nampaknya memang logis, pendapat tersebut sejauh ini memang dipegang dan diyakini oleh beberapa pengkaji sejarah yang mengkaji sejarah kesultanan Bulungan khususnya pada masa Sultan kasimuddin, bahwa kolonial belanda terlibat penuh dalam konspirasi tersebut, sebagaimana yang pernah mereka lakukan terhadap Sultan Datuk Alam Muhammad Adil. namun kajian sejarahpun tidak menutup kemungkinan "terbuka" dalam hal pandangan-pandangan ataupun fakta-fakta baru tentang peristiwa tersebut, sejauh dapat dipertanggung jawabkan.
sumber:
Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.
Laporan Penelitian Arkeologi, Penelitian Arsitektur Makam Raja-Raja Di Wilayah Kalimantan Timur II Kabupaten Berau dan Bulungan. Tanggal 02 s/d 15 Agustus 2000.
Arianto, Sugeng. Agustus 2003. “Kerajaan Bulungan 1555-1959”. Malang : Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra UGM.
Monografi Daerah Tingkat II Bulungan diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DITJEN, Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan R.I., Jakarta, 1976.
Wadjidi, 2007.”Nasionalisme Indonesia Di Kalimantan Selatan 1901-1942”. Cetakan Pertama. Banjarmasin : Pustaka Benua.
Senin, 14 Februari 2011
Koleksi Unik dan Menarik Museum Kesultanan Bulungan.
Berbicara mengenai sejarah dan budaya Bulungan, kita tentunya tidak bisa melewatkan begitu saja mengenai koleksi-koleksi sejarah dan budaya Bulungan yang tak ternilai harganya itu yang saat ini disimpan dengan baik di Museum Kesultanan Bulungan, museum ini di bangun sekitar tahun 1999, dengan desain arsitektur yang mengacu pada model keraton kesultanan Bulungan dengan skala yang lebih mini.
Banyak hal yang unik dan menarik, seakan terlewat begitu saja disekitar kita, tak terkecuali jika kita berkunjung ke museum Kesultanan Bulungan atau yang lebih dikenal dengan nama museum Bulungan, namun percaya atau tidak museum kebanggan masyarakat Bulungan ini menyimpan koleksi yang “tak biasa” yang mungkin agak sulit ditemukan pada tempat sejenis.
Saya akan membawa anda berkelana untuk menyaksikan sebagian keunikan benda-benda tinggalan sejarah Bulungan yang mungkin akan jarang anda temukan di tempat lain, mudah-mudahan ini akan merubah sedikit persepsi anda mengenai museum Bulungan ini. inilah persembahan dari Bulungan untuk dunia! ...
1. Sikat gigi paling mahal di Bulungan.
Kalau saya ditanya, apa saja koleksi bulungan yang unik dan “tak biasa” , saya akan memulainya dengan koleksi sikat gigi paling mahal dan bersejarah dari Bulungan, anda boleh percaya atau tidak jauh sebelum produk sikat gigi menjadi bagian dalam kehidupan moderan masyarakat Bulungan, benda bernama sikat gigi itu sudah dikenal di lingkungan istana bulungan.
Salah satunya adalah koleksi yang diperkirakan milik Sultan Bulungan yang terakhir, sikat gigi ini menjadi istimewa karena bentuknya yang “tak biasa” terdiri dari bulu sikat yang lembut dipadukan dengan kemewahan gagang yang sepenuhnya terdiri dari besi putih atau mungkin perak murni, tersimpan dengan rapi dalam kotaknya yang berwarna putih. sayangnya belum tau pasta gigi seperti apa yang digunakan saat itu ^_^ .
2. Delphin Filter.
Jika melihat koleksi unik yang satu ini, saya jadi teringat dengan galon air mineral isi ulang, ya Delphil Filter adalah semacam galon isi ulang tempo dulu, tapi tentu saja dengan tambahan kemewahan yang menawan karena dilapis dengan keramik mahal bermutu tinggi. sayangnya koleksi ini mungkin hanya satu-satunya yang dapat diselamatkan di museum kesultanan Bulungan ini.
3. Meja yang berkilau dari Bulungan.
Sekilas, koleksi ini tampaknya hanya meja kayu kuno yang biasa-biasa saja, itu kalau anda tidak memperhatikannya dengan seksama, tapi tau kah anda bahwa meja kuno yang tampak tidak menarik ini sebenarnya dibuat dari lapisana potongan-potongan mutiara murni yang terbaik dikelasnya, secara artistik di sematkan sesuai pola-pola ukiran meja sehingga menambah keindahan meja kuno ini.
Salah satu keistimewaan meja kuno yang berkilau ini adalah, meja ini sebenarnya tidak terdiri dari satu potongan, melainkan dari dua potongan meja yang disambung dan dilepas sesuai kebutuhan. itu sebabnya meja kuno ini tampak dari jauh terdiri dari empat kaki, walau sebenarnya kalau anda jeli, anda pasti kan tau kalau meja ini terdiri dari delapan kaki yang saling disambungkan.
4. Piring termahal dari Bulungan.
Sewaktu kecil saya pernah mendengan sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang sangat kaya sampai-sampai saat sang raja menjamu para tamunya, ia menggunakan piring, sendok dan gelas yang terbuat dari emas, dan setelah selesai jamuan sang raja memerintahkan untuk membuang semua perabot makan di kolam dibelakang istananya seolah memperlihatkan pada tamunya bagaimana kekayaan dan kebesaran yang dimiliki kerajaannya.
Saya menyadari hal tersebut bukan hanya sekedar dongeng belaka, percaya atau tidak dimasa jayanya Kesultanan Bulungan menjamu para tamunya dengan piring mewah yang uniknya, pada bingkai piring itu dibuat dari sepuhan emas murni, beberapa koleksi Bulungan yang dapat diselamatkan dapat kita saksikan sampai hari ini, mungkin di museum ini, saya menemukan sebuah piring yang setara dengan potongan emas.
inilah sebagaian dari koleksi-koleksi unik dan menarik dari museum kesultanan Bulungan yang bisa kita saksikan hari ini, semoga kita bisa lebih menjaga dan menghargai sejarah dan budaya yang telah ditorehkan para pendahulu kita. Sampai jumpa ^_^ .
Foto:
Koleksi Museum Kesultanan Bulungan.
Diplomasi dan dukungan Kesultanan Bulungan terhadap R. I.
(Peristiwa Penggerekan bendera sangsaka merah putih di halaman istana Bulongan)
Ada pepatah kuno mengatakan “lepas dari mulut singa jatuh kemulut buaya”, seperti itulah gambaran yang dialami oleh Kesultanan Bulungan sesudah tentara Australia menghancurkan Jepang di Tarakan dalam operasi Oboe One, Belanda berusaha mendapatkan kembali pengaruhnya dikawasan Kesultanan Bulungan, terutama karena hal ini berhubungan dengan kilang-kilang minyak di pulau Tarakan. Setelah Jepang menyerah pada sekutu dan meninggalkan Bulungan, bala tentara Nederland Indie Civil Adminitration (NICA) amembonceng sekutu menguasai kesultanan Bulungan dengan persenjataan lengkap. Sebelumnya di Tarakan, terjadi penyerahan kekuasaan dari Australia ke pihak Belanda yaitu kepada Commandeerrend Officier Vnd, J. D. Emeis Gress Major inf., menjadi penguasa baru di Tarakan sebagai perwakilan resmi Kerajaan Belanda. Pada masa-masa genting seperti inilah kepemimpinan “Dua Serangkai” Sultan Djalaluddin dan Datuk Bendahara Paduka Raja serta tokoh-tokoh lain yang pro Republik sangat cemerlang melihat peluang untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang memang sudah sangat lama tidak disukai oleh rakyat kesultanan Bulungan, uniknya dalam perlawanan ini politik diplomasi menjadi ciri khas dan begitu mendominasi dalam sejarah perlawanan Kesultanan Bulungan terhadap pemerintah Kolonial Belanda, ini tidak hanya terjadi menjelang masa kemerdekaan namun juga jauh sebelumnya, setidaknya sebelum Sultan Djalaluddin, kedua Sultan terdahulu Sultan Datu Alam Muhammad Adil dan Sultan Kasimuddin telah melakukannya, ini membuktikan bahwa perlawanan rakyat Kesultanan Bulungan terhadap Belanda sebenarnya tidak pernah terhenti.
Bukanlah hal yang mudah untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda pada masa itu, Sultan melakukan politik diplomasi yang begitu licin sehingga bukan hanya Belanda saja yang tertipu namun pemerintah Indonesia juga sempat tidak menyadari bahwa saat itu Kesultanan Bulungan dan rakyatnya berada di pihak Republik, ini disebabkan Sultan pada masa tersebut pernah mendapat anugrah gelar kehormatan berupa Letnan Kolonel Tituler (Letkol Kehormatan) dari Ratu Wihelmina (1890-1948) yang kemudian di tindak lanjuti dengan upacara Birau selama 40 hari 40 malam pada tahun 1947. Beliau mengambil jalan diplomasi untuk menghindari korban dari pihak sipil, itulah sebabnya beliau menerima “separuh hati” penggabungan Kesultanan Bulungan dalam “Dewan Kesultanan” yang berintikan Kesultanan Kutai, Berau (Gunung Tabur dan Sambaliung), Swpraja Gaya Baru (Nieuw Stijk Zelfs Bestuur) Pasir, dan Kesultanan Bulungan. Dewan Kesultanan sendiri diketuai oleh Sultan Kutai yang bernama Sultan Adji Mohammad Parikesit.
Dewan Kesultanan merupakan perwujudan dari suatu daerah yang oleh belanda diberi status satuan ketatanegaraan yang berdiri sendiri. Dalam melaksanakan pekerjaan pemerintahan sehari-hari, dewan kesultanan membentuk sebuah Bestuurs –college yang merupakan majelis pemerintahan yang diketui oleh A. P. sosronegoro, kemudian di ganti A.R. Afloes. Selain itu dibentuk pula sebuah badan perwakilan yang diberi nama Dewan Kalimantan Timur. sebagai ketua mula-mula di tunjuk M.D Saad, seorang hoofdcommies di kantor residen. Residen Van Oost-Borneo bertindak sebagai penasihat. Federasi kalimantan timur dan dewan kalimantan timur dilantik oleh Gubernur jendral H. J Van Mook bulan september 1947. H. J Van Mook sendiri marupakan penggagas dari federasi Dewan Kesultanan tersebut, sebagai upaya menciptakan negara-negara boneka yang berada dibawah pengaruh pemerintah Kolonial Belanda.
Tanpa diketahui oleh pihak Belanda, Sultan ternyata sangat aktif menggalang dukungan terhadap Republik melalui serangkaian pertemuan secara rahasia yang dilakukan oleh utusan beliau Datuk Bendahara Paduka Raja kepada Sultan Gunung Tabur dan Sultan Sambaliung untuk mendukung penuh republik Indonesia bersama rakyat Kesultanan Bulungan, lebih jauh dukungan secara terbuka diberikan oleh Kesultanan Bulungan terhadap Sutan Syahrir yang kala itu menjadi “Duta keliling” Republik Indonesia untuk menggalang dukungan menghadapi agresi Belanda terhadap Indonesia yang baru saja berdiri menjadi sebuah negara, Sultan juga terkesan membiarkan bahkan melindungi kader-kader partai pro Republik yang bergerak melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah Belanda, keberadaan Partai Ikatan Nasional Indonesia (INI) di Bulungan adalah contoh nyata keberpihakan Kesultanan Bulungan terhadap Republik.
(Pertemuan jang di gagas Datuk Bendahara Paduka Radja dengan dua Sultan dari Berau)
Perjuangan lewat Jalur politik melawan Belanda di Bulungan pada saat itu juga tidak lepas dari peran partai politik Ikatan Nasional Indonesia ( INI) yang berdiri di Balikpapan pada tanggal 5 Juni 1946 dengan Aminudin Nata sebagai Ketua Umumnya dan Mas Sarman sebagai Wakil Ketua, sedangkan Sekretariat di Pegang oleh A.B.S Muhammad (seorang Bestuurs-ambtenaar) dan Husein. Pengurus lainnya terdiri dari S. Mewakang Nata bidang Pertanian dan M. Junus sebagai Bendahara. Dalam Dewan Partai duduk antara lain Tajib Kesuma, Moedjio dan Abdul Samad. Sejak itu dengan cepat berdiri Cabang-cabang INI di luar Balikpapan seperti di Kota Bangun (A.B.M. Joesoef), Tenggarong (A.B. Djapri), Tanjung Redeb (M. Joesoef) dan untuk wilayah Bulungan (Tarakan) dibawah kendali Rasjid (Abdur Rasjid). Kemudian atas prakarsa Moeis Hassan bentuklah cabang INI di Samarinda tanggal 3 Desember 1946, menyusul kota lainnya seperti Sanga-sanga, Anggana, Samboja, Tanjung Selor, Sangkulirang dan beberapa tempat di pedalaman Kutai.
Pada konfrensinya yang pertama tanggal 31 Mei 1947 di Balikpapan yang dihadiri oleh sebagian cabang-cabangnya, INI dengan tegas menolak pembentukan Negara Kalimantan dan menyatakan bahwa dalam menentukan nasib rakyat Kalimantan, wakil-wakil rakyat harus diikutsertakan. Selain itu konfrensi juga menuntut dibebaskannya tahanan politik diseluruh Kalimantan Timur. dan pada konfrensinya yang kedua bulan April 1948 bertepat di Gedung Nasional di kota Samarinda menegaskan ulang sikap mereka yang tidak akan bekerja sama dengan Belanda. Delegasi dari Bulungan di hadiri oleh Rasjid (Abdur Rasjid). Beliau inilah yang kemudian berjasa menggalang kekuatan rakyat Bulungan dilapisan bawah untuk menentang Belanda lewat jalur politik.
Karena itu bukan hal yang tidak mungkin hubungan rahasia antara Sultan Djalaluddin dan Datuk Paduka Raja dengan kelompok pro Republik seperti partai Ikatan Nasional Indonesia atau INI yang menjadi penghubung kaum Republiken untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda sudah lama terjalin. Indiksi ini terlihat dari pembagian tugas yang rapi dimana ditingkat elit, Sultan Djalaluddin dan Datuk Paduka Radja berhasil melakukan lobi politik pada penguasa Kesultanan Sembaliung dan Gunung Tabur untuk mendukung sepenuhnya Republik Indonesia, sedang dilapisan bawah, Abdur Rasjid dan kelompoknya yang tergabung dalam Dewan Rakjat Kesultanan Bulongan melakukan lobi politik untuk meyakini rakyat bergabung sepenuhnya dibelakang Republik, kelak pertemuan tokoh-tokoh politik dan negarawan ini dalam upacara penaikan bendera merah putih di halaman istana Kesultanan Bulungan pada 17 Agustus 1949, menjadi semacam bukti yang nampaknya meyakinkan bahwa tokoh-tokoh yang terkesan saling berbeda pandang itu ternyata rekan satu seperjuangan yang akhirnya mengantarkan Belanda keluar dari Bulungan.
Berita kemerdekaan Indonesia disambut antusias oleh Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan, perasaan haru dan gembira tumpah ruah saat sangsaka merah putih dikibarkan dihalaman istana Kesultanan Bulungan. peristiwa penting ini terjadi pada tanggal 17 Agustus 1949. Sebelumnya pada malam tanggal 16 agustus tersebut, Sultan dan Datuk Bendahara Paduka Raja langsung melakukan pemeriksaan pada tiang Bendera yang akan digunakan pada acara pengibaran sangsaka merahputih pada esok harinya, Sultan khawatir kalau ada aksi sabotase dari pihak-pihak yang ingin mengacaukan acara tersebut. Tiang bendera yang menjadi bukti dan simbol kesetiaan rakyat Bulungan pada republik Indonesia masih berdiri kokoh sampai hari ini. Sedangkan bendera merah putih yang dikibarkan merupakan bendera yang diberikan oleh Kumatsu petinggi Jepang yang juga mengabarkan kepada Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan bahwa Bangsa Indonesia sudah merdeka dan memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1949, pukul 07.00 WITA, Sultan Muhammad Djalaluddin sendirilah yang memimpin upacara penggerekan Bendera merah-putih pertama kalinya di halaman istana kerajaan. Bertindak sebagai penaik bendera merah putih pada saat itu adalah Pejabat Kiai (Asisten Wedana) di Tanjung Palas, P. J. Pelupessi, sahabat Sultan Djalaluddin. Sebagai tamu undangan turut juga hadir Controleur NICA di Tanjung Selor yaitu J.H.D. Linhoud.
(Rasjid berpose bersama anggota INI di Samarinda)
Dalam kesempatan yang sama, ketua Dewan Rakyat Kesultanan Bulungan yakni Abdur Rasjid yang mewakili seluruh Rakyat kesultanan Bulungan menyampaikan pidato selamat pada hari keramat tanggal 17 agustus 1949. sayangnya, teks pidato Abdurasjid itu nampaknya tidak dapat lagi ditemukan, kemungkinan besar sudah hilang atau hancur dimakan usia. Pengibaran bendera Merah-Putih di depan Istana Sultan di kawal oleh puluhan tentara-tentara KNIL dan polisi NICA yang bermarkas di Tanjung Selor, mereka diangkut ke Tanjung Palas menggunakan kapal-kapal resmi milik Belanda yang dikenal dengan sebutan kapal “BEATRIX”. Pada tanggal 27 Desember 1949 pihak Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sikap Sultan dan segenap rakyat Kesultanan Bulungan menjadi bukti kecintaan mereka terhadap Republik Indonesia, yang menarik peristiwa ini terjadi justru setahun sebelum Dewan Kesultanan di bubarkan secara resmi pada 19 maret 1950, itu artinya jauh sebelumnya Dewan Kesultanan sebenarnya sudah tidak lagi memiliki pengaruh di Bulungan.
Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan baik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).
(Ketua Dewan Rakjat Kesultanan Bulongan Jakni Abdur Rasjid menjampaikan pidato utjapan selamat pada hari keramat tanggal 17 agustus 1949 atas nama rakjat seluruh wilajah Keradjaan Bulongan).
Di kota Tarakan, terjadi juga penyerahan kekuasaan dari NICA yang yang waktu itu di pegang oleh Commandeerend Officer Vnd, J. D. Emeis Gress Majoor Inf., kepada Wedana Tarakan Haji Abdoellah Gelar Aji Amarsetia. Tarakan pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kesultanan Bulungan yang memutuskan bergabung dengan Republik Indonesia. Bung Hatta selaku Wakil Presiden Republik Indonesia saat berkunjung Tarakan tahun 1950 menyatakan penghargaannya atas perjuangan rakyat Kesultanan Bulungan. Dari delegasi Republik Indonesia, kunjungan diwakili oleh Residen Madju Urang dari Samarinda melakukan kunjungan ke Istana Kesultanan Bulungan, Darul Aman pada tahun tersebut.
Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama hingga akhir hayatnya tahun 1958.
Daftar Pustaka:
Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006.
“Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya MandiriDali, H Yusuf. 1995.
“Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.
Langganan:
Postingan (Atom)