Entri Populer

Sabtu, 26 Februari 2011

Sniper dari hutan yang gelap (misteri penembakan sultan Kasimuddin).



Sultan Kasimuddin yang merupakan Raja kedelapan dari Dinasty Bulungan merupakan salah satu pigur kontroversial dalam sejarah Bulungan, pada masa kepemimpinannya Bulungan dapat dikatakan memasuki masa keemasan dengan kekayaannya yang melimpah dari kilang-kilang minyak dari perut bumi Tarakan, bukannya hanya itu dimasa pemerintahannya pulalah rakyat bulungan mulai mengenal pendidikan, bahkan putranya Sultan sulaimanpun ia siapkan menjadi penerusnya dengan mengenyam pendidikan barat, tanda bahwa ia seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan untuk kesultanan bulungan, dimasa pemerintahannya, ia juga melakukan perubahan dalam administrasi kerajaan pada masa itu.

Namun walau begitu, ada sisi lain dari pemerintahannya yang membuatnya memiliki catatan “buram” khususnya pada masa-masa awal ia berkuasa, yaitu kebijakan pajak yang akhirnya “meletuskan” pergolakan di hampir sepertiga wilayah kesultanan Bulungan akibat bayang-bayang dan campur tangan kolonial Belanda di Bulungan. Sebut saja perlawanan panglima Wan Pai Luhung dari suku bangsa Segai, begitu pula perlawanan Maharaja Pandhita di tanah tidung (disekitar wilayah malinau). Inilah yang nampaknya memicu rentannya keselamatan sultan Kasimuddin.

Hal ini dapat dipahami, sebab pengaturan pajak sebenarnya bukan atas kehendak sultan melainkan dinas perpajakan kolonial belanda alias Commissie Aanslag dengan sistem pemungutan pajak bernama Collectellon yang diawasi oleh Controleur. di Bulungan tempo itu, pajak dikenakan pada tiap-tiap orang f.15 hingga f.25, tiap orang tambah 0,75 uang kemit atau sen untuk kepala-kepala kampung.

Sultan berusaha meredam pergolakan dan protes dengan cara damai, namun bagi pemerintah kolonial Belanda, menyelesaikan masalah tersebut bukan menggunakan "ujung lidah" -(diplomasi dan musyawarah yang sedari dulu menjadi tradisi bagi kesultanan Bulungan untuk menyelesaikan permasalahan)- melainkan "ujung bayonet", Sultan tidak menyetujui cara-cara seperti itu, karena dimasa ayahnya berkuasa, sempat terjadi kesepakatan damai dengan pihak-pihak yang sempat berseberangan dengan sultan tersebut. namun pendapatnya dianggap angin lalu. toh perlawanan itu tidak bertahan lama setelah campur tangan militer Belanda yang dibawah komando Kapten J.Cox, inilah yang nampaknya menjadi benih-benih perlawanan Sultan Kasimuddin kelak terhadap Belanda di Bulungan.

Sultan Bulungan yang kedelapan ini diketahui meninggal pada saat berburu karena tertembak oleh sniper, memang catatan sejarah kasus sniper bukan tidak pernah terjadi, tengok saja pemimpin pasukan belanda jendral kohler yang tewas saat menyerang aceh, ia tertembak oleh sniper yang masih belia asal Aceh di pekarangan mesjid raya aceh, kasus yang sama juga menimpa Mallabi, pimpinan pasukan pendaratan inggris di surabaya juga tewas ditangan sniper yang berasal dari senapan pejuang Surabaya, namun dalam sejarah Bulungan Sultan Kasimuddin diketahui wafat karena tertembak sniper misterius, sebuah peristiwa sejarah yang tak lazim, inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa motif dari pelaku penembakan tersebut? siapa dalang dibalik pembunuhan itu? Dimana tempat kejadiannya? Bagaimana peristiwa itu terjadi? Yang juga penting adalah kapan peristiwa itu terjadi?. Inilah yang membuat kasus tersebut menjadi warisan abadi dari sejarah Bulungan.

Selain itu sebuah fakta yang menarik adalah dalam kajian arkeologis yang dilakukan terhadap makam raja-raja bulungan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin sekitar tahun 2000-an, didapati fakta yang cukup mengejutkan penulis, pada nisan Sultan Kasimuddin, tidak ditemukan inkripsi yang memuat tanggal wafatnya beliau, sedang pada nisan Sultan bulungan sebelum beliau ditemukan nisan-nisan tersebut rata-rata memiliki inkripsi yang menunjukan tanggal wafatnya, begitu pula pada makam pemimpin setelah beliau, juga ditemukan inkripsi yang memuat informasi tanggal wafatnya. Inilah yang menyulitkan para peneliti untuk mengetahui kapan persisnya waktu meninggalnya sultan Kasimuddin.

Sebuah informasi berharga penulis dapatkan dari koleksi foto KITLV tentang Sultan Kasimuddin dari katalog yang uraiannya mayoritas ditulis oleh J.H. Maronier dengan Kode Gambar 34446 dan diperkirakan diambil pada tahun 1920-an, memberikan informasi tentang Sultan Kasimuddin.



“Maulana Sulthan Mohamad Kasimoedin, sultan van Boeloengan op Borneo vanaf januari 1903 tot aan zijn dood in oktober 1924.” Terjemahnya, Maulana Sulthan Muhammad Kasimuddin, Sultan Bulungan di pulau kalimantan (bertahta) sejak Januari 1903 dan dia meninggal pada Oktober 1924.

Dari keterangan yang diperoleh dari catatan Foto Sultan Kasimuddin bahwa beliau bertahta pada tahun 1903 dan wafat pada Oktober 1924, maka kita ketahui bahwa kejadian tersebut terjadi pada Oktober 1924, namun kita tetap mencari bahan bandingan terhadap informasi tersebut, lalu apa pula motif dari penembakan ini? agak sulit memang untuk mencari motif dari pelaku, sejauh ini penulis belum mampu mengunggap apa motif pasti dari pelaku tersebut, begitu pula dalang dibalik peristiwa itu, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan sniper tersebut adalah pelaku tunggal. Dan yang lebih disayangkan lagi tidak banyak memang catatan yang dapat kita manfaatkan karena minimnya sumber informasi.

Peristiwa yang menimpa Sultan Kasimuddin nampaknya bukan sesuatu yang mudah untuk “diketahui” untuk umum, terbukti dari adanya kesan yang nampaknya sengaja tidak memberi ruang informasi pada publik, hal itu dapat dilihat dari tidaknya adanya keterangan pada makam beliau, dan almarhumpun menutup kejadian tersebut untuk tidak diketahui oleh rakyatnya sampai akhirnya beliau menutup mata. Sejauh ini kita hanya bisa mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi di sekitar bulan Oktober 1924.

Jika dilihat dari kepemilikan senjata, tentunya pikiran kita baik secara langsung maupun tidak akan berfikir pemerintah belanda mungkin berada di balik kejadian tersebut terkait tentang kilang-kilang minyak di Tarakan yang memang memberikan pendapatan besar bagi Bulungan dan Belanda, seperti yang di klaim dalam sejarah bulungan, sultan kasimuddin pernah memutuskan kebijakan yang mulai menghapus sistem upeti, karena Sultan berpendapat bahwa uang bagi hasil dari produksi minyak di Pulau Tarakan untuk Belanda sudah lebih dari cukup, pastilah membuat marah di pihak Belanda, kejengkelan Belanda kian memuncak, karena Sultan menghilangkan tradisi Kesultanan Bulungan menjemput tamu Belanda sebelum merapat di depan istana Sultan.

Sultan Kasimudddin juga menggiatkan pengajaran agama islam dan memperbesar wewenang Qadi, bahkan sebelum ia meninggal, sultan sempat mengunjungi negeri, Belanda tahun 1923, menariknya walaupun Sultan menampakkan perlawanan terhadap pihak kolonial, namun pihak belanda tidak satupun yang meminta sultan mencabut atau meminta maaf atas sikapnya, ini menandakan bahwa beliau sangat diperhitungkan oleh pihak kolonial, pengalaman pahit dimasa awal ia berkuasa nampaknya semakin berpengaruh besar terhadap sikapnya untuk menentang kolonial belanda di bulungan.

Nampaknya memang logis, pendapat tersebut sejauh ini memang dipegang dan diyakini oleh beberapa pengkaji sejarah yang mengkaji sejarah kesultanan Bulungan khususnya pada masa Sultan kasimuddin, bahwa kolonial belanda terlibat penuh dalam konspirasi tersebut, sebagaimana yang pernah mereka lakukan terhadap Sultan Datuk Alam Muhammad Adil. namun kajian sejarahpun tidak menutup kemungkinan "terbuka" dalam hal pandangan-pandangan ataupun fakta-fakta baru tentang peristiwa tersebut, sejauh dapat dipertanggung jawabkan.

sumber:

Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.

Laporan Penelitian Arkeologi, Penelitian Arsitektur Makam Raja-Raja Di Wilayah Kalimantan Timur II Kabupaten Berau dan Bulungan. Tanggal 02 s/d 15 Agustus 2000.

Arianto, Sugeng. Agustus 2003. “Kerajaan Bulungan 1555-1959”. Malang : Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra UGM.

Monografi Daerah Tingkat II Bulungan diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DITJEN, Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan R.I., Jakarta, 1976.

Wadjidi, 2007.”Nasionalisme Indonesia Di Kalimantan Selatan 1901-1942”. Cetakan Pertama. Banjarmasin : Pustaka Benua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar