Habib
Idrus Bin Salim Al-Jufri adalah nama yang tak asing lagi bagi para
pencinta habaib di indonesia, Guru tua ( guru sepuh ) demikian panggilan
akrab beliau, sempat menjalani hidup dan mengajar di Bulungan yang pada
waktu itu masih dikenal dengan nama Kesultanan Bulungan. Tak banyak
memang tulisan yang mengungkapkan kisah-kisah Guru Tua semasa di
Bulungan, padahal beliau merupakan pelopor sekaligus pendiri institusi
pendidikan klasikal Islam modern pertama di Bulungan, almarhum begitu
dikenang dihati masyarakat Bulungan bahkan hingga saat ini.
Pendidikan Islam di Bulungan sebelum kedatangan Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie.
Tak
seperti saat ini, dimasa lampau pendidikan agama di Bulungan awalnya
dilakukan secara sederhana, anak-anak didik oleh para Imam mesjid
membaca Alqur’an, tulis-menulis huruf Arab murni maupun Jawi (tulisan
Arab Melayu), mengenal pembelajaran agama Islam seperti Fiqih dan
Aqidah. Kegiatan ini biasanya dilakukan di Mesjid atau di Surau maupun
Langgar yang berada diwilayah Kesultanan Bulungan dimasa itu. Untuk
keluarga kesultanan biasanya memilki guru mengaji yang khusus dan
tinggal di istana.
Barulah
pada masa pemerintahan Sultan Kasimuddin (1901-1925), Sultan Bulungan
yang ke delapan, pendidikan di Bulungan mulai menampakkan hasil yang
cukup baik. Dengan dalih menerapkan politik etis, sistem pendidikan
klasikal mulai diperkenalkan oleh Belanda di Bulungan. Tercatat pada
masa Sultan Kasimuddin, Sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda mulai
dibangun. keberadaan sekolah-sekolah ini diketahui dari catatan Datuk
Perdana bin datuk mansyur, Menteri ke-II Kesultanan Bulungan:
… Tahun 1911 barulah mulai didirikan dua buah sekolah jang dinamakan sekolah desa pertama Tandjung Selor kedua Tandjung Palas.
Didirikan disana klas I sampai klas III tammat, tahun itu djuga menjusul pembukaan sekolah Gouvernement klas II untuk sambungan sekolah desa tersebut berdjumlah tingkat pertama dan kedua itu didjadikan 5 klas.
Di bahagian pedalaman dimulai pada tahun 1923 barulah sekolah disana dibuka hingga sekarang. Sekolah-sekolah diperuntukan untuk kaum bumi putra ini adalah sekolah kelas II, untuk mendidik calon-calon pegawai rendah sedangkan untuk sekolah kelas I diperuntukan bagi anak-anak dari golongan atas.
Namun
sayangnya sekolah yang berada dibawah pemerintah belanda ini umumnya
bersifat Skuler, lebih dari itu ada kesan bahwa melalui model pendidikan
seperti ini mendidik generasi muda Bulungan bermental Belanda. Untuk
menandingi pengaruh pemerintah Kolonial Belanda di bidang pendidikan,
Sultan Kasimuddin yang memang dikenal dekat dengan para Habaib dan ulama
ini mengundang seorang ulama yaitu H. Syahabuddin Ambo Tuwo dari Wajo
sebagai guru agama Islam di Istana Kesultanan Bulungan, beliau pula yang
kemudian menulis naskah Alqur’an dengan tangan beliau sendiri dan dalam
waktu yang cukup lama disimpan oleh kerabat Kesultanan Bulungan.
Selain
H. Syahabuddin Ambo Tuwo, di Bulungan tercatat beberapa ulama-ulama
yang di undang dan mengunjungi Kesultanan Bulungan untuk mengadakan
ceramah-ceramah agama, antara lain : Sayyid. Alwi bin Abd. Rachman Idrus
dari Hadramaut, Sayyid. Muchsin Al-Attas dari Bogor dan Sayyid Hasan
bin Sayyid Yamani dari Bogor.
Guru Tua dan Institusi Pendidikan Islam di Bulungan
Syukur
Alhamdulillah, sekitar tahun 1940-an, kebangkitan pendidikan Islam di
Bulungan mencapai eskalasi (peningkatan) yang sangat berarti. Dapat pula
dikatakan sebagai Nahdah Al-Islamiah atau kebangkitan Islam khususnya
dalam bidang pendidikan. Momentum kebangkitan pendidikan agama Islam di
Bulungan salah satunya ditandainya dengan kedatangan A’lim ulama dari
Palu (Sulteng) beserta rombongannya
di Bulungan yaitu:1. Al-Alimul’ Allamah Habid Idrus bin Salim Al-Jufri.
2. Ustaz Sayyid. Saggaf bin Syeckh Al-Jufri.
3. Ustaz Rustam Arsyad.
4. Ustaz Yunus.
5. Ustaz Syamsudin.
6. Ustaz Abd. Hay.
7. Ustaz Nuh.
8. Ustaz Abd. Hamid.
Para
Ulama ini datang di Tanjung Selor dan tinggal dirumah salah seorang
pemuka masyarakat Arab yang bernama Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal.
Menurut riwayat yang terpercaya, bahwa Al-Alimul’ Allamah Habib Idrus
bin Salim Al-Jufri dan Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal pernah
mengenyam pendidikan yang sama di Hadramaut di bawah asuhan Sayyid.
Abdullah bin Umar Syatri.
Dikarenakan
Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal seorang peranakan arab namun
belajar di Hadramaut, itulah sebabnya Al-Alimul’ Allamah Habib Idrus bin
Salim Al-Jufri langsung menuju kediaman Syech Salim bin Djuma’an bin
Ghodal, begitu tiba di Tanjung Selor.
Menurut
salah satu sumber tertulis Al-Khairaat, kedatangan Habib Idrus Bin
Salim Al-Jufrie ke Bulungan (Kalimantan) sebagai bagian dari rencana
perjalanan panjang ke Sumatra melalui Kalimantan dan jawa, namun
perjalanan hanya sampai di Bulungan (kalimantan timur). Sultan Bulungan
yang berkuasa saat itu, Maulana Mohammad Djalaluddin (1931-1958) meminta
secara langsung agar Habib Idrus bin Salim Al-Jufri untuk menetap dan
mengajar di Bulungan dalam waktu yang lama. Pada waktu diadakan rapat,
pemuka masyarakat Bulungan sangat berantusias dan mendukung penuh
rencana pembangunan madrasah tersebut.
Madrasah
di Tanjung Selor didirikan secara swadaya oleh masyarakat Tanjung
Selor, di sponsori oleh Syech Salim bin Djuma’an bin Ghodal dan Enci
Muhammad bin Enci Hamid, maka didirikanlah sebuah madrasah bernama
Madrasah Al-Ma’arif yang resmi dibuka pada tanggal 15 april 1940. Tenaga
pengajarnya antara lain:
1. Al-Alimul’ Allamah Ustaz Sayyid. Idrus bin Salim Al-Jufri.
2. Al-Ustaz Sayyid. Saggaf bin Syeckh Al-Jufri.
3. Al-Ustaz Rustam Arsyad.
4. Al-Ustaz Yunus.
Madrasah
tersebut didirikan diatas sebuah lahan yang di wakafkan oleh seorang
saudagar yaitu H. Mohammad Saleh bin Lapunding. Semoga Allah SWT
melapangkan beliau dalam istiratnya yang panjang.
Di
Tanjung Palas, ibu Kota Kesultanan Bulungan dibangun pula Madrasah yang
bernama Al-Ulum yang disponsori oleh Alm. H. Andi Adam bin Petta Lolo
dan H. Abdul Fatah bin Abdul Gani. Peresmiannya pun sama dengan Madrasah
Al-Ma’rif yaitu pada 15 april 1940. Madrasah Al-Ulum berdiri ditanah
wakaf Sultan Bulungan yang berdekatan dengan lokasi Mesjid Jami’
Kasimuddin. Tenaga pengajarnya antara lain:
1. Al-Ustaz Syamsudin.
2. Al-Ustaz Abd. Hay.
3. Al-Ustaz Nuh.
4. Al-Ustaz Abd. Hamid.
Pada
peresmian kedua madrasah tersebut, Masyarakat menyumbang dua ekor sapi
pada masing madrasah ungkapan rasa syukur atas berdirinya kedua pilar
pendidikan agama Islam di Bulungan tersebut.
Sejatinya
Al-Ma’rif dan Al-Ulum merupakan Al-Khairaat itu sendiri, - para tetua
dahulupun paham betul hal itu, bahkan ada yang mengatakan bahwa
Al-Ma’rif dan Al-Ulum hanyalah nama gedung sekolahnya saja - ini tak
lain karena para guru dan institusi yang membawahinya berada langsung
dibawah pengawasan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Disinyalir penamaan
Al-Ma’rif dan Al-Ulum hanyalah upaya mengecoh pihak Belanda yang ada di
Bulungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa Belanda tidak menginginkan
adanya Al-Khairaat sebagai institusi tandingan terhadap sekolah Belanda
di Bulungan, belum lagi kharisma Guru Tua yang menawan hati banyak
orang.
Namun
apa bila Belanda mencoba mengganggu Al-Ma’rif dan Al-Ulum, sama artinya
mereka mengganggu Sultan Bulungan. Apalagi Sultan Maulana Muhammad
Djalaluddin sendirilah yang secara langsung meminta Habib Idrus Bin
Salim Al-jufri untuk menetap dan mengajar di Bulungan dalam waktu yang
lama. Controleur Belanda di Bulungan ternyata lebih memilih untuk tidak
berpanjang mulut dalam hal ini.
Kegiatan
madrasah yang berlangsung antara tahun 1940-1941 di Bulungan sempat
terhenti pada saat 20.000 tentara Jepang yang merupakan gabungan Nihon
Rikugun (AL) dan Teikoku Kaigun (AD) menyerbu dan menduduki pulau
Tarakan pada 12 Januari 1942 dibawah komando Mayor Jenderal Shizuo
Sakaguchi dan Kolonel Kyohei Yamamoto atas perintah Admiral Takeo
Kurita.
Letkol
(overstee) S. de Waal yang saat itu mempertahankan Tarakan dengan
kekuatan 1.300 personil gabungan Angkatan Darat Belanda / KNIL
(Koninkluk Nederlandsch Indisch Leger), Angkatan Udara Belanda
(Militaire Luchtvaart) dan Angkatan Laut Hindia Belanda (Zeemach
Nederlands Indie) serta pegawai BPM (Bataafsce Petroleum Maatschapij)
ternyata gagal menjalankan tugasnya.
Berita
kekalahan Belanda oleh tentara Jepang disatu sisi tidak hanya
menimbulkan kekaguman namun juga kekhawatiran, hanya masalah waktu
sampai pasukan Jepang memasuki istana dan meminta kesetian Sultan
Djalaluddin pada mereka. Kondisi ini makin diperparah dengan kenyataan
bahwa di Tanjung Selor masih ada garnisun KNIL Bulungan yang masih utuh,
tentara Jepang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyamakan
nasib tentara KNIL Bulungan itu dengan rekan-rekan meraka yang
ditenggelamkan secara masal di Tarakan .
Kekhawatiran
ini menjadi nyata ketika tanggal 05 February 1942 pada jam 03.00
tentara Jepang memasuki kota Tanjung Selor dan Tanjung palas. Akibatnya
masyarakat mengungsi, termasuklah rombongan Al-Alimul’ Allamah Habib
Idrus bin Salim Al-Jufri di bawa ke kampung Sekang oleh Syech Salim
Djumaan. Jarak dari Tanjung Selor ke kampung Sekang sekitar 1 jam
perjalanan menggunakan perahu Tempel pada saat itu.Tidak berapa lama
kemudian, beliau beserta rombongan kembali ke Palu dengan menumpang
perahu bugis (Pinisi) dan menetap disana.
Salah
seorang yang ikut dalam rombongan Habib Idrus kembali ke Palu adalah
Mahfud Godal, seorang pemuda keturunan Arab kemudian kelak dikenal
sebagai Kyai Haji Mahfud Godal, seorang ulama lulusan Al-Khairaat
kelahiran bulungan yang harum namanya.
Pada
tahun 1948, setahun sebelum Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung
secara resmi dengan Republik Indonesia, ustadz mahfud Godal kembali ke
Tanjung Selor membuka kembali Madrasah Al-Ma’rif dari tahun 1948-1949
dengan tenaga pengajar ustadz H. Masykur. Sayangnya sekolah ini tak
lama, namun keberadaannya menjadi berkah yang tak terhingga sekaligus
mengobati rasa rindu terhadap Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Sekitar
tahun 1952 ustadz Mahfud Godal kembali ke Palu, sebelumnya antara tahun
1950-1952 beliau diminta untuk membantu Kantor Urusan Agama Kabupaten
Bulungan yang pertama kali baru dibuka, disini beliau sempat menjabat
sebagai Kepala Bagian Kepanghuluan.
Kegitan
madrasah kembali hidup pada tahun 1969 hingga 1979, sekolah Al-Ma’rif
dipimpin oleh Ustadz M. Said sedangkan Al-Ulum dipimpin oleh Ustadz
Aidid Palisando, keduanya sama-sama berasal dari Al-Khairaat Palu. Tahun
1979 Ustadz M. Said pindah ke Tarakan, Madrasah Al-Ma’rif tetap
berjalan dan sempat diasuh oleh Ustadz Syahabuddin imam Mesjid Jami
Al-Hidayah – sekarang bernama mesjid Said Ahmad Al-Kaff,- sedangkan di
Tanjung Palas sejak Ustadz Aidid Palisando hijrah kembali ke Palu,
madrasah ini di asuh oleh Ustad Yahya dibantu oleh H. Abd. Fatah.
Dikemudian
hari nama Al-Ma’rif perlahan berubah menjadi nama Madrasah Al-Khairaat
sebagaimana mestinya, disinilah kurikulum pendidikan Al-Khairaat
disatukan. Gedung bangunan ini masih berdiri kokoh hingga sekarang walau
sudah diganti dengan bangunan kayu menjadi bangunan beton. Sedangkan
Al-Ulum tidak demikian, bangunan ini sempat dibongkar sebelum akhirnya
dibangun lagi menjadi sekolah TK.
Pada
tahun 2003 secara resmi Pondok Pesantren Al-Khairaat Bulungan resmi
berdiri dibawah kepemimpinan Kepala Pondok Pesantrennya Drs. Sayyid
Muthahar Al-Jufri, seorang Ustadz kelahiran Kampung Arab Tanjung Selor
(Bulungan) yang lama mengenyam pendidikan dan kemudian menjadi pengajar
di Al-Khairaat Palu. Pesantren ini adalah bentuk manifestasi dari
kurikulum Al-Kahiraat dan dipadukan dengan pendidikan umum.
Untuk
saat ini Pondok Pesantren Al-Khairaat memfokuskan untuk mendidik santri
ditingkat SMP dan Aliyah, sedangkan Madrasah Al-Khairaat yang
sebelumnya sudah lama berdiri memfokuskan diri untuk mendidik anak-anak
pada tingkatan Ibtidaiyah dengan kepala sekolahnya saat ini Ustadz
Riduan L. Labago yang juga merupakan pengajar tetap pada Ponpes
Al-Khairaat Bulungan.
Al-Khairaat
memiliki struktur organisasi yang telah mapan. Di Bulungan saja saat
ini juga terdapat organisasi Wanita Islam Al-Khairaat (WIA) yang
dipimpin oleh Ustadzah Hj. Sy. Aminah Al-Jufri yang aktif menyokong
Al-Khairaat dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Al-Khairaat
bulungan juga memiliki komisaris Daerah (KOMDA) dibawah tanggung jawab
Drs. Alwi Al-Jufri.
Walaupun
terbilang muda Pondok Pesantren Al-Khairaat antara rentang waktu 2003
hingga 2010 mencatat prestasi yang mengagumkan tak hanya pada tingkat
Kabupaten melainkan juga Provinsi. Para pelajar lulusan Al-Khairaat yang
berprestasi akan disekolahkan lagi ke luar negeri di antaranya di
Yaman, Mesir bahkan hingga sampai di Syiria. Pengiriman alumni
Al-Khairaat ke madrasah-madrasah ke luar negeri memang merupakan
kebijakan yang telah lama di jalankan oleh Al-Khairaat pusat, namun bagi
Al-Khairaat di Bulungan, pengiriman anak-anak Bulungan di
madrasah-madrasah luar khususnya di Yaman memiliki nilai history
tersendiri.
Sekolah
ke Yaman bagi anak-anak bulungan merupakan bentuk rekatnya kembali
transper keilmuan dan poros dakwah Yaman-Bulungan yang telah lama
terputus bertahun-tahun lamanya, sekaligus melepas rasa rindu pada
kampung halaman yang Abi dan Uminya belum tentu
menginjakkan kaki di tempat tersebut. Sebagian dari pelajar tersebut
memang merupakan keturunan Arab di Bulungan yang jumlahnya memang tidak
sedikit. Di kalimantan Timur khususnya di Bulunganlah terdapat komunitas
keturunan Arab yang beragam.
Dari
lembah-lembah bebatuan yang dingin hingga ke perairan teduh yang
hangat, beribu-ribu Habaib hijrah dari tanah kelahirannya menuju
kepulauan Indonesia termasuk guru kita, Al-Alamah Sayyid Idrus Bin Salim
Al-Jufri membawa cahaya kebenaran Agama Allah. Semoga Allah SWT
menerima amal ibadah mereka dalam istarahatnya yang panjang. Amin
Epilog
Habib
Idrus bin Salim Al-Jufri merupakan orang yang meletakan pertama dasar
pendidikan Islam modern di Bulungan, mengapa demikian? pada masa itu
sekolah milik Gouvernement Belanda yang menerapkan sistem klasikal dan
cendrung berkurikulum skuler, sehingga jauh dari nuansa keagamaan maka
pendirian madrasah yang dirintis oleh beliau dan masyarakat Bulungan
dengan sistem klasikal Modern merupakan usaha untuk mendobrak sistem
pendidikan agama Islam di Bulungan yang pada masa itu yang masih
menganut system pembelajaran tradisional, itulah sebabnya Madrasah
Al-Ma’arif dan Madrasah Al-Ulum merupakan model pendidikan berbasis
agama Islam pertama di Bulungan yang setara dengan pendidikan modern
Belanda yang mengabaikan pendidikan agama Islam.
Beliau
mengajarkan semangat untuk meraih pendidikan modern tanpa harus
meninggalkan yang pendidikan dasar bagi kita yaitu pendidikan agama
Islam sebagai pondasi berpijak kita baik kehidupan dunia maupun
diakherat kelak. Kepergian Almarhum Habib Idrus merupakan sebuah
kehilangan yang teramat sangat dirasakan oleh masyarakat, pun demikian
pula di Bulungan, sebuah kepergian dibayar dengan manis, jejak-jejak
luhur yang dikenang sepanjang masa.
Catatan.
Saya
sebagai penulis menghaturkan terimaksih sebesar-besarnya kepada para
pembaca, terkhusus lagi pada Said Mohammad Al-Jufri (Ami Abang) dan
Ustadz Yahya yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca dan
memberikan kritik serta saran agar tulisan ini layak dipandang sejalan
dengan sejarahnya.
Sayapun mengucapkan syukur atas nikmat yang Allah berikan, tak lupa sayapun mengucapkan terimaksih kepada Drs. H. Said. Muttahar Al-Jufrie dan Ustadzah Aminah Abdillah Al-Jufrie karena memperkenankan tulisan kecil ini menjadi salah satu ulasan dalam Buletin kedua Pondok Pesantren Al-Khairaat tempat saya mengabdi saat ini, tepatnya pada Edisi II, tahun 1433 H / 2012 M, hal. 25 - 31.
Teruntuk beliau semua, saya doakan agar dilimpahkan kesehatan selalu. sayapun berharap tulisan kecil ini dapat berguna bagi pembaca budiman dan kita dapat meneladani perjuangan Alayarham Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie. Amin
Sayapun mengucapkan syukur atas nikmat yang Allah berikan, tak lupa sayapun mengucapkan terimaksih kepada Drs. H. Said. Muttahar Al-Jufrie dan Ustadzah Aminah Abdillah Al-Jufrie karena memperkenankan tulisan kecil ini menjadi salah satu ulasan dalam Buletin kedua Pondok Pesantren Al-Khairaat tempat saya mengabdi saat ini, tepatnya pada Edisi II, tahun 1433 H / 2012 M, hal. 25 - 31.
Teruntuk beliau semua, saya doakan agar dilimpahkan kesehatan selalu. sayapun berharap tulisan kecil ini dapat berguna bagi pembaca budiman dan kita dapat meneladani perjuangan Alayarham Habib Idrus Bin Salim Al-Jufrie. Amin
Sumber:
Copy naskah ketikan Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur. “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th.
H.E. Mohd. Hasan dkk, “Sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Bulungan” oleh Panitia Abad XV H. Kabupaten Bulungan, Tanjung Selor. 26 November 1981 M / 29 Muharram 1402.
Sofian B. Kambay, “Perguruan Islam AlKhairaat Dari Masa Kemasa”. Palu, April 1991.
Ali Amin Bilfaqih, H. Sayyid. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Dialog, “Khazanah Pemikiran Ulama Melayu”, no. 64. Tahun XXX, November 2007.
Majalah Kisah Islami Alkisah, No.4 / Tahun VI / 11-24 Februari 2008.
Mohon maaf, tolong diralat kalimat Allah SAW, menjadi ALLAH SWT, karena itu kesalahan yang fatal.
BalasHapussemoga Al-Khaeraat semakin jaya, dan dapat memberikan sumbangsinya pada Pembangunan Sulawesi Tengah khususnya untuk mensejajarkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia timur.