Dalam sejarah Kesultanan Bulungan, Sultan Alimuddin putra dari Amiril Mukminin, Sultan kedua dari Kesultanan Bulungan ini bernama asli Aji Ali. Ia merupakan Sultan yang memiliki visi yang kuat dalam membangun Bulungan, ia tidak hanya dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang baik, namun juga diplomat yang ulung dan panglima militer yang disegani, ia nampaknya memang berbakat dibidang militer dan diplomasi.
Kehilangan orang-orang yang disayanginya, sahabat dan keluarga akibat serangan bajak laut yang melanda Kesultanan Bulungan dimasa ayahnya memerintah, nampaknya begitu membekas di hati Alimuddin muda, maka tidak heran ia tumbuh menjadi laki-laki yang dibesarkan dalam suasana yang menuntutnya menjadi pribadi yang harus memiliki kemampuan lebih dari laki-laki sebayanya.
Nama Sultan Alimuddin sendiri menurut pak Ubid Hadruni S.H memiliki dua versi, yang pertama nama Alimuddin berasal dari dua suku kata yaitu: Ali (diatas) dan Ad din (agama) jadi artinya kurang lebih “hamba yang memiliki kekuatan diatas agama”. Versi yang kedua nama alimuddin berasal dari dua suku kata juga yaitu: Alim (mengetahui) dan Ad din (agama) jadi kurang lebih artinya nama itu adalah “hamba yang mengetahui agama”.<1> Gelar ini disandang oleh sultan Alimuddin setelah ayahnya Sultan Amiril Mukminin mangkat.
Dalam pemerintahannya, Sultan Alimuddin memilki kebijakan yang menonjol khususnya pada bidang politik, dan militer yang pada akhirnya memberikan keuntungan dibidang ekonomi dan penyebaran agama Islam di Bulungan.
Dalam bidang militer dan pertahanan, Sultan kemudian membangun armada laut pertama dalam sejarah Bulungan, kekuatan laut ini menjadi salah satu tulang punggung yang sangat penting untuk melakukan pengawasan dan sekaligus melakukan serangan balik terhadap aktivitas perompakan bajak laut dikawasan Bulungan.
Dalam Riwayat Kesultanan Bulungan dari tahun 1563 M atau 919 H, diketahui Sultan mengirim armada maritimnya dibawah Laksamana yang juga putra keduanya Raja Muda Ni’ melakukan serangan balasan ke Tawau yang merupakan salah satu basis bajak laut sulu pada masa itu, Tawau berhasil di taklukan dan menjadi kawasan kesultanan Bulungan hingga kedatangan Inggris. Kebijakan militer Sultan pada awalnya di pusatkan untuk mengusir bajak laut, dalam bahasa setempat yaitu Lanun dari wilayah kesultanan sulu.
(Joangga, kapal khas bajak laut Sulu)
Dalam sejarah Kesultanan Sulu sendiri memang diakui ada beberapa suku yang berada dibawah kekuasaannya melakukan aktivitas sebagai bajak laut, atau lebih tepatnya aksi sabotase terhadap kapal-kapal dagang Spanyol yang berhasil menguasai pulau-pulau di utara Filipina seperti Luzon, Cebu, Visaya dan lain sebagainya. Namun tidak semua dari mereka adalah murni sebagai Bajak Laut, Caesar Majul bahkan mengingatkan bahwa kita harus dapat memisahkan antara perlawanan atau perjuangan murni orang-orang Sulu melawan Spanyol dengan perompak-perompak yang juga dilakukan oleh suku-suku yang juga ada dibawah kekuasaan Kesultanan Sulu, memang terkadang suku-suku itu sebenarnya tidak sepenuhnya tunduk dengan pengaruh Sultan, kecuali jika para datu-datu atau pemimpin mereka menghormati wibawa Sultan Sulu. Suku-suku yang dimaksud antara lain adalah Suku Balangingi. Orang Balangingi yang juga kadang disebut Bajau Balangingi ini bekerjasama dengan suku Iranun atau Ilanun dalam menjalankan aktivitas melanun (bajak laut) di perairan Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Kebanyakan yang mereka serang adalah pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah kekuasaan Spanyol dan orang-orang Borneo termasuklah wilayah kesultanan Bulungan.
Orang-orang Spanyol menamakan mereka dengan sebutan Pirata namun ada juga yang menganggap mereka Corsario, ada juga yang menamakan mereka Gora’e yang artinya memang kurang lebih adalah bajak laut. Kemahiran orang Balangingi merompak bersama Iranun tidak ada bandingnya sehingga perompak-perompak suku Tausug (orang asli kesultanan Sulu, disebut juga orang sulu atau solok), orang sulu sendiri kalah oleh popularitas Balangingi dan Iranun ini. Dari kata Iranun atau Ilanun inilah muncul kata yang populer yang sangat dikenal masyarakat pesisir, yaitu Lanun yang bersinonim dengan kata bajak laut.
(Salah satu armada bajak laut Sulu yang siap melanun)
Armada bajak laut, khususnya Lanun dan Balangingi memiliki kekuatan maritim yang tidak bisa dipandang sebelah mata, hal itu tidak lain karena mereka telah mahir menggunakan senjata api seperti lentaka, lila dan meriam dalam armada laut mereka.
Selain itu mereka juga memiliki kapal perang khas Sulu yang bernama Joangga. Joangga sendiri merupakan kapal perang besar yang didayung banyak orang dan memiliki meriam didepan haluannya, semacam Ghalias, (kapal besar berlayar tiga milik spayol yang dikelilingi meriam pada sisi kanan dan kirinya).
Menurut study yang dilakukan oleh Warren, ekspedisi laut yang dilakukan oleh Lanun maupun Balangingi yang meliputi hampir sebagian besar perairan Asia Tenggara mempunyai tujuan tertentu pula, yaitu sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang pada masa itu masih dilakukan oleh budak. Kalau bagi masyarakat darat sumber tenaga budak adalah tenaga pedalaman yang didiami oleh suku bangsa lain, maka bagi masyarakat bahari seperti orang Lanun, Maguindano dan Balangingi tempat mencari budak adalah laut dan daerah seberang lautan.<2>
(Ilustrasi serangan armada Sultan Alimuddin terhadap bajak laut Sulu di perairan Tawau)
Karena itu dapat dipahami mengapa Sultan Alimuddin mengkonsentrasikan armada maritimnya ke utara, ini tentunya dimaksud untuk mendesak keluar bajak laut yang berdiam diwilayah Tawao atau sekitar Teluk sebuku yang sudah menyusahkan, karena mereka juga melakukan aktivitas perompakan disekitar laut Sulawesi yang akhirnya berimbas pada keamanan Kesultanan Bulungan. Kawasan Teluk Sebuku nampaknya tidak terlalu asing bagi para pelaut, orang-orang barat bahkan menamakan Teluk Sebuku dengan nama Santa Lucia.
Sukses menggulung armada bajak laut di Tawau. Sultan Alimuddin berhasil meluaskan wilayahnya hingga batas sungai Semaya dan Seludung yang termasuk berbatasan kalimantan utara (Sabah). Tahun-tahun berikutnya kawasan Tanah Tidung -sebuah daerah luas yang terletak di perbatasan kesebelah laut sungai kayan- akhirnya ditempatkan dibawah perlindungan Kesultanan Bulungan, bahkan hingga masuk ke wilayah sungai sebuku.<3>
Sultan Alimuddin juga membangun hubungan diplomatik dengan Kesultanan Sambaliung maupun kaum Tidung serta suku-suku Dayak baik di hilir maupun hulu sungai Kayan. Kebijakan pertama sultan Alimuddin yang dapat terekam dalam catatan sejarah adalah pernikahan beliau dengan bangsawan sembaliung yaitu Pengian Intan dan Aji Aisyah dari Tanah Tidung (wilayah kesultanan Bulungan). Secara politik Pernikahan beliau dengan Pengian intan ini dapat dipandang juga sebagai upaya mengangkat status Bulungan menjadi sebanding dengan kesultanan yang mulai muncul bersamaan dengan kehadiran Kesultanan Bulungan seperti Sembaliung dan Gunung Tabur yang merupakan pecahan dari kerajaan Berau lama (Kuran) yang sudah ada dikawasan tersebut. Itu artinya sebagai sebuah “kesultanan baru”, Kesultanan Bulungan diakui keberadaannya dan secara politik, Kesultanan Bulungan dipandang sebagai kesultanan yang merdeka, sama halnya dengan pernikahan dengan diatas, pernikahan beliau dengan Aji Aisyah juga nampaknya dipandang sebagai bentuk kebijakan “melunakan hati” orang-orang pesisir (Tidung) di wilayah kesultanan Bulungan tersebut, perikatan antar bangsawan inilah yang kemudian mengikat persaudaraan antara orang-orang Bulungan dan Tidung yang dikemudian hari semakin tersebarnya Islam dikawasan pesisir Bulungan.
Dari Salimbatu, Sultan Alimuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Palas, disana ia membangun pusat pemerintahan yang kuat dan membina mesjid Kesultanan Bulungan untuk kepentingan Syiar Islam dan Ibadah.
Setelah meninggalkan wilayah Bulungan yang begitu luas dan mempermudah penyebaran agama Islam terutama dikawasan pesisir, Sultan Alimuddin kemudian menutup mata pada tahun 1817 setelah 40 tahun berkuasa.
Sumber:
(1). Wawancara dengan bapak Ubid Hadruni S.H 15 Oktober 2008.
(2). Adrian B. Lapian, “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009). hlm. 162
(3). Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.” t.th. hlm 7
blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Minggu, 29 Agustus 2010
Selasa, 24 Agustus 2010
Koleksi Museum Kesultanan Bulungan: The General Pistol
Bebicara mengenai museum Kesultanan Bulungan, nampaknya gak pas jika kita gak berbicara mengenai koleksi di dalamnya, salah satu yang paling saya sukai adalah koleksi berupa pistol bahari atau bedil, jumlahnya sejauh ini ada tiga buah. Koleksi ini merupakan salah satu peninggalan zaman kolonial di bulungan
Orang-orang umumnya menyebutnya pistol, namun didunia barat dia lebih dikenal dengan nama General Pistol, jenis ini amat terkenal di era Bajak laut (The Golden Age of Pirate), atau era VOC alias kompeni dulu. Ukurannya lebih kecil dari Musket atau Flintlock pistol.
Karena itu pistol jenis ini kebanyakan hanya di gunakan oleh komandan pasukan atau pemimpin kapal. General Pistol atau pistol jendral memiliki daya tembak sedang, sama dengan “saudaranya” Flintlock pistol, sedangkan "sepupunya" Musket rata-rata memiliki daya tembak jauh.
Keberadaan senjata seperti ini di asia, bahkan oleh kerajaan-kerajaan melayu sudah cukup lama dikenal, khususnya di zaman kesultanan Malaka dulu. Beberapa diantaranya dikenal dengan istilah Pamoras, Tertakol dan Istinggar alias Musket.
Selasa, 10 Agustus 2010
Riwayat Singkat Perdjuangan Keradjaan Bulungan Dalam Menjokong 100 % Tetap Berdiri Dibelakang Pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam Tahun 1945 bertepatan dengan jatuhnja Negara Kekaisaran Djepang kedalam tangan Tentara Sekutu. Maka di Djakarta segera diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia keseluruh pendjuru dunia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi di daerah lain terutama dalam wilajah Kalimantan Timur, masih bertjokol Tentara Djepang jang masih melakukan perlawanan terhadap sekutu. Pertengahan tahun 1945 oleh pembesar sipil dan Militer Djepang jang mengungsi dari Tarakan ke Bulungan Tandjung Selor, segera mengadakan pesta perpisahan. Selain pembesar2 Djepang jang memang berkedudukan di Tandjung Selor beserta pegawai2nja bangsa Indonesia diundang, dimintai pula oleh Djepang atas kehadiran Bapak Sultan M. M. Djalaluddin beserta para menteri2nja. Oleh karena Bapak Sultan berhalangan ketika itu, maka beliau berwakil kepada Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Bapak Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja.
Pesta berlangsung dengan diakhiri berdirinja seorang pembesar Djepang dengan pidato perpisahan jang sangat mengharukan. Diantara pidatonja pembesar Djepang tersebut menjatakan bahwa mereka keseluruhannja sebentar lagi akan meneruskan pengungsiannja ke hulu Bulungan, langsung turun ke kota Samarinda.
Isi pidato pembesar Djepang tersebut telah mentjapai kalimat yang lebih mengharukan, ketika Bapak Datu Bendahara Paduka Radja diminta berdiri berhadapan dengan pembesar Djepang itu, oleh pembesar Djepang tersebut dengan sikap tegap, hormat dan khidmat sekali segera menjerahkan sebuah bendera sebesar vandal jakni Sang Saka Merah Putih jang disambut kedua belah tangan oleh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, sambil menjerahkan bendera tersebut pembesar Djepang menjatakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. Dan segala tanggung djawab pemerintahan baik sipil maupun militer dalam wilajah Bulungan pada saat itu diserahkan kepada pemerintah Keradjaan Bulungan untuk meneruskan perdjuangan kemerdekaan serta kemakmuran rakjatnja.
Oleh karena emosi dan rasa haru bertjampur dengan gembira, dengan tidak terasa Bapak Datu Bendahara Paduka Radja menitikan air mata jang tak dapat ditahan2. Meskipun kedjadian ini mendjelaskan babak terakhir dari sandiwara pemerintahan Djepang di Indonesia, tetapi bagi Bapak Datu Bendahara jang sedang berdiri memegang bendera Sang Saka ini, dalam moment itu terkenang kembali, bahwa lebih 70 djuta Rakjat Indonesia jang bernaung dibawah Sang Saka Merah Putih tersebut. Betapa terharunja beliau ketika itu hanja Allah s.w.t jang maha mengetahui.
Setelah pesta berakhir, Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera langsung menemui Bapak Sultan melaporkan kedjadian tersebut. Dengan berdua, beliau memecahkan persoalan ini, sehingga menelorkan satu keputusan tegas jakni “HARUS MERDEKA”.
Mulai pada saat itu disusunlah cara2 dan politik jang tegas untuk menghadapi sesuatu yang bakal terdjadi, apabila tiba waktunja berhadapan dengan sekutu bersama Belandanja jang terang akan kembali dengan seribu satu matjam muslihatnja.
Dalam tahun 1946 Belanda dengan namanja jang terkenal jaitu NICA mentjengkram kukunja dalam wilayah Kalimantan Timur dengan dilindungi angkatannja jang kuat. Meskipun demikian hasrat Merdeka dan ingin bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Djogdjakarta tetap menjala-njala, sehingga setiap Confrensi jang diadakan NICA dimana-mana, Keradjaan Bulungan tetap berpegang teguh pada dalilnja jang pertama jaitu “HARUS MERDEKA DAN TETAP MENJOKONG 100 % BERDIRI DIBELAKANG PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA DI DJOGDJAKARTA”.
Dalam saat2 berikutnja, oleh Bapak Sultan atas kesekian kalinja beliau mengirimi utusan terdiri dari Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang adviseur jaitu Dr. Senduk ke Confrensi DENPASAR dan seterusnja akan menerobos blokade Belanda langsung ke Djogdjakarta untuk segera menjerahkan Mandat Keradjaan Bulungan, jang di sokong pula oleh dua Keradjaan dari Berau.
Setelah Confrensi berakhir, dengan tiba2 Bapak Datu Bendahara Paduka Radja jatuh sakit, pada ketika itu djuga Bapak Datu Bendahara Menjerahkan kuasa kepada Dr, Senduk untuk membawa Mandat tersebut ke Djogdjakarta. Setelah agak sembuh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera kembali ke Bulungan untuk berobat lebih landjut dan banjak memerlukan banjak istirahat.
Dalam tempo jang singkat Dr. Senduk kembali membawa hasil jang gemilang, dan melaporkan hasil perjalanannja kepada Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara jang mana Mandat telah diterima oleh Perdana Menteri R.I. jang waktu itu didjabat oleh Alm. Sutan Sjahrir.
Mendengar ini NICA berusaha mentjari siasat baru dan segera menemui Bapak Sultan dengan melarang hadirnja Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dalam pertemuan itu (pihak NICA sangat membentji tokoh ini) Dalam pertemuan tersebut pihak NICA Menjampaikan pesan selamat dari Koningin (Ratu) Wihelmina serta mendjelaskan bahwa dalam tempo singkat akan melantik Bapak Sultan sebagai Let. Kol. Alasuit.
Setelah NICA berlalu, Bapak Sultan segera memanggil Bapak Datu Bendahara Paduka Radja serta adviseur Dr. Senduk merundingkan siasat2 NICA tersebut.
Dengan adanja ini Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memberi saran agar apa2 jang disodorkan oleh pihak NICA, kita terima asal politik pendjadjahnja kita tentang dengan politik bebas merdeka, berikut apa2 jang hendak didjual oleh NICA, kita bersedia membelinja dengan tidak menggojahkan semangat perdjuangan semula.
Demikianlah bapak Sultan M. M. Djalaluddin menerima pangkat Let. Kol. Alasuit dengan upatjara Militer Laut dan Darat.
Tetapi dalam awal tahun 1949 politik perdjuangan kemerdekaan dalam setiap tokoh2 Bulungan telah sampai pada puntjaknja. Perundingan diadakan terus menerus kemudian bapak Sultan bersama Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memutuskan bahwa sudah tiba saatnja Sang Saka Merah Putih harus dikibarkan dalam wilajah Kerajaan Bulungan.
Pada tanggal 16 ke 17 Agustus jam 21 malam hari Bapak Sultan berdua dengan Bapak Datuk Bendahara Paduka Radja turun menuju halaman Istana Alm. Achmad Sulaiman jang bertingkat dua, untuk memeriksa sekali lagi tiang bendera dan tali temalinja yang telah disediakan sebelumnja. Oleh beliau diperintahkan agar berdjaga-djaga terus tiang bendera sampai besok paginja, agar djangan sampai di saboti oleh NICA.
Pada keesokan harinja tanggal 17 Agustus 1949 segenap rakjat beserta anak-anak sekolah berikut para undangan termasuk NICA komplit dengan Militer KNIL-nja yang memang sengadja diundang untuk turut menghormati upatjara kenaikan Sang Saka Dwi Warna, Bapak Sultan memberi perintah upatjara segera dimulai. Tidak ada kata2 jang dapat melukiskan perasaan para tokoh2 serta rakjat Bulungan ketika menjaksikan Bendera Sang Saka Merah Putih dengan perlahan-lahan naik ke puntjak dan segera berkibar dengan megahnja diangkasa bebas, memeberi pertanda bahwa pendjadjah telah terhapus bersih dari bumi persada Indonesia. Demikianlah Sang Saka Merah Putih terus menerus berkibar selama beberapa hari sehingga pihak NICA perlu mendatangi Istana Tanjung Palas menemui Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, meminta agar bendera tersebut segera diturunkan.
Tetapi kedua tokoh tersebut tetap bertahan, malah memberi perintah jang lebih serius lagi jakni bendera harus berkibar siang malam dengan bersemboyan sekali berkibar tetap berkibar.
“Pilihan NICA hendak mengambil tindakan apa, terserah, kami tetap bersedia menghadapi setiap kemungkinan, bertanggung djawab dan konsekuen atas pendirian kami, kalau Pemerintah Republik Indonesia sekarang ini menghadapi perdjuangan berdarah, maka Bulungan bersedia menghadapi perdjuangan berdarah itu bersama-sama”.
Itulah djawaban perhabisan dari kedua tokoh tersebut jang diakhiri kembalinja pihak NICA membawa ketjewa.
Demikianlah riwajat singkat perdjuangan para tokoh2 Bulungan menghadapi politik pendjadjahan Beladna sehingga terlaksananja penaikan bendera mulai tanggal 17 Agustus 1949 terus menerus sampai penjerahan kedaulatan R. I.
Kemudian harinja dapat diketahui bahwa pada waktu itu belum ada satu wilajah diseluruh Indonesia jang mengibarkan bendera dengan resmi, selain Pusat Pemerintahan Republik Indonesia di Djokdjakarta dan wilajah Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur.
Catatan:
-Pembesar Jepang yang dimaksud bernama Kumatsu.
-Letnan Kolonel Alasuit atau ala Suite (Kraton) yang dikenal juga dengan nama Letnan Kolonel Tituler, merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa oleh Pemerintah Belanda kala itu, walaupun bersifat militer, kebanyakan penerimananya justru bukan dari golongan militer. Jabatan ini diberikan kebanyakan kepada kaum bangsawan yang berada dibawah komando KNIL yang berkedudukan di daerah Swapraja (Vorstenlanden). Dalam catatan Petrik Matanasi, penganugrahan Alasuite atau Tituler kebanyakan diberikan pada bangsawan dari Kraton di Jawa khususnya Kasunanan Surakarta dan Pakualaman Jokjakarta.
Sumber:
Tulisan Datuk Abd. Samad gelar Datuk Bestari bin Alm. Datuk Muhammad gelar Datuk Bendahara Paduka Radja Menteri ke I (De Eerste Landsgroote van Bulungan) dari Kerajaan Bulungan dan Tidung. Dalam “Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”, oleh H.E. Mohd. Hassan, ddk. Tanjung Selor 26 November 1981.
Petrik Matanasi (2007), KNIL; Bom Waktu Tinggalan Belanda, Jakarta, PT. Buku Kita.
Foto
Tropenmuseum wikipedia
KITLV
Museum Kesultanan Bulungan.
Senin, 02 Agustus 2010
Bemance’, seni beladiri tradisional dari Bulungan.
Orang Bulungan memiliki khazanah budaya yang sangat kaya, diantaranya adalah seni budaya masyarakat yang disebut “Bemance” atau Bemancek, semacam seni bela diri atau olah raga asal Bulungan. Bemance’ sendiri justru penulis kenal dari buku yang berjudul “Permainan Tradisional Anak-Anak Kalimantan Timur”, koleksi Perpustakaan Daerah kal-sel saat penulis masih bersetatus mahasiswa di kota Banjarmasin. Sayangnya, karena suatu hal penulis tidak sempat membuat salinannya. Saya akan menulis apa saja yang saya ingat dari buku tersebut.
Bemance’ atau Mance’ dalam kamus yang ditulis oleh Datu Buyung Perkasa, bermakna “Tari Silat”, Bemance sendiri dikategorikan sebagai seni bela diri dan olah raga khas Bulungan. Dimasa lalu Bemance’ sangat digemari oleh anak-anak muda, khususnya lelaki suku Bulungan.
Seni beladiri ini diperkirakan telah lama berkembang di Bulungan, puncaknya pada abad ke-19. Dimasa Ali Kahar yang bergelar Sultan Kaharuddin II (1875-1889), Bemance’ mulai dikenal luas sebagai salah satu kegiatan resmi saat pelaksaan pesta rakyat atau Birau. Konon dimasa tersebut permainan inilah yang paling disenangi oleh Sultan Bulungan.
Dari mana Bemance’ berasal, penulis tidak tahu pasti, namun dalam buku tersebut, disebutkan konon seni bela diri ini pada awalnya dikenalkan oleh orang-orang Bugis yang masih kerabat Sultan kala itu, kemudian dikembangkan hingga pada taraf tertentu menjadi seni bela diri sekaligus oleh raga khas Bulungan.
Selain Bemence’ atau Bemencak, di bulungan, pada masa lalu juga sudah dikenal beberapa jenis bela diri tradisional lainnya seperti silat Kuntau dan silat Bangkui yang masing-masing dibawa oleh orang Sumatra dan Banjar ke bulungan.
Umumnya permainan ini dilakukan oleh laki-laki, dalam pertandingan Bemance’ tersebut, ada aturan dimana dua orang yang melakukan duel harus memakai pakaian khas Bulungan, tak lupa dengan Selempai (Selempang) berwarna kuning lengkap dengan ikat kepalanya. Keduanya dibekali dengan rotan bulat atau bambu bulat yang panjangnya kurang lebih 75 cm sampai 1 m atau setinggi dari kaki hingga pinggang laki-laki dewasa Bulungan. Permainan sendiri dilakukan dalam sebuah lingkaran, diringi suara gong yang bertalu-talu, dalam permainan tersebut diperlihatkan kemampuan menyerang, bertahan dan menghindar dari masing-masing pemain. Tidak ada aturan baku, jika salah seorang pemain menyerah, maka pemainnya akan digantikan oleh pemain lainnya.
Bemance’ barulah selesai setelah Sultan Bulungan bangkit dari kursi dan meninggalkan arena permainan. Saat ini Bemance’ sudah sangat jarang terlihat, bahkan khususnya pada even resmi seperti Birau, tentunya hal itu sungguh disayangkan.
Sebagai tulisan rintisan tentang Bemance’, penulis berharap para pembaca, khususnya para budayawan dan sejarawan Bulungan serta praktisi dalam seni bela diri Bemance’ dapat berbagi informasi pada penulis agar tulisan ini dapat penulis disempurnakan.
Sumber:
Buku Permainan Tradisional Anak-Anak Kalimantan Timur.
Perkasa, Dt. Buyung, 2005. “Selayang Pandang Mengenal Kamus Bahasa Bulungan”. (AL IKHWAL BULUNGAN, Bulungan.
Foto:
Tropen Museum Wikipedia.
http://pariwaramediakreatif.wordpress.com/2010/03/01/pencak-silat/
http://www.pencaksilat.co.uk/
Langganan:
Postingan (Atom)