Entri Populer

Rabu, 29 September 2010

Studi Peran Said Abdurahman Bilfaqih di Masa-Masa Awal berdirinya Kesultanan Bulungan.


(ilustrasi kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan)

Sejarah awal Kesultanan Bulungan nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kisah kedatangan ulama seperti Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan, beliau dikenal pula dengan nama Tuan Kali Abdurahman. Istilah Tuan Kali merujuk pada jabatan atau gelar keagaman yang disebuat Tuan Kadi, Jabatan seperti ini pun ditemukan dalam susunan pemerintahan keegamaan Kesultanan Sulu.

sayangnya mengenai sosok Said Abdurahman bilfaqih sendiri, cendrung tidak begitu dikenal, selain kurangnya informasi sejarah hidup atau manakib beliau, pun studi mengenai beliau dan perannya sangat minim, padahal beliau adalah ulama besar yang memiliki peran yang tidak kecil dalam perjalanan sejarah Bulungan. karena itu tulisan ini mencoba untuk setidaknya membuka lembaran sejarah tentang beliau sekaligus merentas jalan untuk studi yang lebih lanjut lagi.

Literature sejarah Bulungan seperti tulisan Datuk Perdana dan H. E. Mohd. Hasan dkk, hanya menjelasakan bahwa beliau seorang perantau Arab dari Demak (Jawa). momentum ini dapat pula disebut sebagai kontak kedua kedatangan Islam di Bulungan yang tercatat dalam sejarah Bulungan. Sayangnya tidak ada literature lebih jauh yang menceritakan apa yang menjadi motif kedatangan beliau di Bulungan secara pasti dan apakah beliau sendiri datang karena memenuhi undangan penguasa Bulungan atau karena ada misi lainnya?.

Sedikit menengok kebelakang, menurut penelitian tim penulisan sejarah Banjar, pada masa pangeran Samudra, Sultan pertama Kesultanan Banjar yang bergelar Sultan Suriansyah, Demak pernah mengirim angkatan perangnya untuk membantu Banjar untuk mengalahkan kerajaan Daha yang berpusat di Muara Hulak dengan Bandar perdagangannya di Muara Bahan. Bersamaan dengan dikirimnya bantuan pasukan, diikut sertakan juga Khatib Dayan, seorang penghulu mesjid yang dipersiapkan untuk mengislamkan orang-orang Banjar setelah kerjaan banjar berhasil mengalahkan kerajaan Daha, sesuai janji pangeran Samudra. Kesultanan Banjarmasin pun akhirnya didirikan setelah mengalahkan kerajaan Daha pada tanggal 24 September 1526 bertepatan dengan tanggal 8 Zulhijjah 932 Hijriah. Khatib dayan sendiri meninggal dan dikuburkan dikompleks makam Sultan Suriansyah di kuwin utara. Ada yang berpendapat bahwa Khatib Dayan adalah seorang Arab dari golongan Ahlul Bait yang bernama Sayyid Abdurahman. Orang jawa lazim menyebutnya Sayyid Ngabdul Rahman. Mereka berpendapat kemungkinan khatib Dayan adalah orang jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara yaitu Tuban, Demak, Gresik merupakan pusat pemukiman orang Arab.<1> Fakta ini setidaknya memberikan kita informasi awal bahwa pada masa Kesultanan Demak, perkampungan Arab memang sudah ada disekitar pesisir pantai utara Jawa.

Penulis berpendapat tujuan kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan erat kaitannya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas keimanan para penguasa maupun rakyat Bulungan yang sudah mengenal agama Islam sebelumnya, walaupun saat itu bentuk pemerintahan yang dianut bukanlah Kesultanan, namun sebuah kerajaan kecil lebih terlihat sebagai sistem kepala suku. Jika memperhatikan begitu mudahnya beliau bergaul dengan wira Amir dan sempat diangkat menjadi penasehat sekaligus guru agama Islam oleh wira Amir, maka kita dapat kita menarik kesimpulan awal bahwa Said Abdurahman pada saat itu sudah sangat dikenal baik oleh Wira Amir maupun rakyatnya, jadi pengucapan kalimat Syahadat oleh Wira Amir itu sendiri bukanlah berarti Wira Amir belum menjadi muslim sebelumnya, melainkan hanya sekedar formalitas belaka karena Wira Amir sudah mengenal Islam sebelumnya. Satuhal yang disayangkan adalah tidak ada catatan sezaman atau sesudahnya yang menceritakan secara rinci bagaimana alur pelayaran yang dilintasi oleh Said Abdurahman Bilfaqih dari Demak hingga sampai ke Bulungan.


(kawasan baratan, lokasi pertama berdirinya Kesultanan bulungan)

Lalu bagaimana status Said Abdurahman Bilfaqih sendiri dalam usaha beliau mendakwahkan Islam di Bulungan?, apakah beliau memiliki hubungan dengan penguasa Demak sebagai duta kerajaan seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan di Kesultanan Banjar? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat posisi Kesultanan Demak sendiri pada saat awal-awal munculnya Kesultanan Bulungan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pada masa tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi salah satu wilayah dari Kesultanan Mataram Islam, pamor Demak bahkan memudar dengan cepat setelah gagalnya pemberontakan Puger pada tahun 1602-1605 M.

Ada kemungkinan kepergian beliau keluar wilayah Kesultanan Demak berhubungan dengan situasi politik yang tidak stabil di tanah Jawa, semenjak Kesultanan Mataram berperang untuk menguasai tanah Jawa khususnya kota-kota pelabuhan dipantai utara jawa, ini artinya secara politik Said Abdurahman Bilfaqih bukanlah duta politik Kesultanan Demak, walaupun bukan sebagai duta politik Kesultanan Demak seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan pada masa awal berdirinya Kesultanan Banjar, sebagai seorang pendakwah beliau bersama Wira Amir nampaknya telah mempersiapkan pondasi agama Islam bagi masyarakat Bulungan, hal ini sebenarnya dapat di pahami, didalam agama Islam Amir atau pemimpin negara sekaligus agama keberadaannya adalah mutlak, itulah sebabnya pemberian gelar oleh Said Abdurahman Bilfaqih pada Wira Amir sebagai Amiril Mukminin yang secara politik dapat dipahami oleh Wira Amir sebagai legitimasi politik untuk membentuk Kesultanan Islam di kawasan yang pada masa itu kebanyakan dihuni oleh suku Bulungan. Karena itu terbentuknya Kesultanan Bulungan maka agama Islam yang dianut oleh sebagian besar Ulun Bulungan akan semakin kokoh dan legal atau sah karena didukung oleh Negara dalam hal ini adalah Kesultanan Bulungan. Mulai memudarnya pengaruh kerajaan Berau kuno (Kuran) karena perselisihan antara para penerus tahta nampaknya menjadi salah satu faktor lain yang juga ikut menentukan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan di pentas sejarah dimasa awal tersebur.


(lokasi makam yang terawat dengan baik tampak terlihat dari luar pagar)

Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, sebagai bahasa politik Islam di Asia Tenggara, yang penulis kutip dalam bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, beliau menuturkan:

(“... ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar setidaknya sejak paruh abad ke-13, pengadopsian dan penggunaan kosakata politik Islam menemukan momentumnya pula. Seperti diisyaratkan, banyak historiografi (karya sejarah) Islam dikawasan ini, proses konversi bahkan dimulai pada ranah politik. Hampir semua historiografi tradisonal ini meriwayatkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dan korvensi penguasa lokal ke dalam Islam, yang kemudian diikuti para elit istana selanjutnya disusuli seluruh rakyat.

Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang digunakan selama ini adalah “kerajaan”, kini secara resmi disebut dengan “kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistensi dari penguasa lokal ketika penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam, begitu mengucapkan dua kalimah Syahadah, merekapun mengambil alih nama-nama Muslim dan term-term politik Islam tanpa kesulitan apa-apa. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik al-Shalih. Bisa dipastikan, secara politis tidak ada kesulitan bagi Merah Silau dan penggantian sebutan entitas politiknya dari “kerajaan” kepada “kesultanan”. Toh, di Timur Tengah tidak ada perbedaan antara keduanya; setali tiga uang.

Gelar sultan lengkap dengan nama Muslim, seperti bisa diduga umumnya diberikan oleh guru-guru pengembara pembawa Islam, yang jelas tahu banyak tradisi dan bahasa politik yang berlaku di Timur Tengah, karena itu pula, dalam kasus Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, banyak gelar yang digunakan penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad XII-XIII. Jika di Samudra Pasai kita mengenal Malik al-Shalih atau Malik al-Zahir, nama-nama semacam itu juga dengan mudah dapat ditemukan dalam genelogi penguasa Dinasti Ayyub”). <2>

Jika mengacu pada konteks yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, kita akan menemukan keselarasan didalam konsep ini, seperti yang sebutkan sebelumnya Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian mendapat gelar Tuan Kali Abdurahman merupakan guru pengembara yang kemudian mendapatkan tempat dihati masyarakat Bulungan. Jika diperhatikan lebih jauh pemberian gelar Amiril Mukminin pada Wira Amir sangat kental dengan nuansa tradisi Kesultanan-Kesultanan Muslim Sunni di Timur Tengah, walaupun ia berasal dari Demak menurut sumber sejarah lokal Bulungan, namun ia sama sekali tidak memberikan gelar-gelar Islam yang bernafaskan Jawa kepada Wira Amir.
(menurut penuturan bapak H. Said Ali Amin Bilfaqih,-yang merupakan keturunan Said Abdurahman bifaqih-, menyatakan bahwa said Abdurahman bilfaqih sebenarnya berlayar langsung dari Hadramaut, kemudian hanya singgah beberapa saat di Demak barulah kemudian melanjutkan perjalanan menuju utara dipesisir timur kalimantan hingga akhirnya sampai di Bulungan)

Maka dapat dimengerti bahwa Said Abdurahman Bilfaqih nampaknya cukup memahami kondisi politik yang terjadi pada masa-masa itu, iapun nampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik pula mengenai sejarah dan tradisi politik para penguasa Dinasty Muslim Sunni di Timur Tengah yang menjadi banyak acuan para Sultan di nusantara pada masa tersebut. Sebab tidak sedikit bahkan para penguasa Muslim yang berusaha mendapat gelar tersebut dari otoritas politik di Timur Tengah, khususnya dari pemegang kunci “gerbang suci” yaitu Syarif Mekah. Kesultanan Aceh Misalnya dikenal memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Turki Utsmani dan Syarif Mekah. Begitupula Kesultanan Palembang dan Makasar juga diketahui menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, hal ini tidak hanya menunjukan adanya hasrat yang kuat oleh para penguasa Muslim untuk mendapatkan legitimasi tambahan, namun juga mengisyaratkan kenginan untuk mengasosisikan diri dengan pusat-pusat poltik keagamaan Islam. Dengan kata lain, entitas dan muslim polities dikawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al Islam” atau Negeri Islam.<3> Dengan demikian dapat pula dipahami Kesultanan Bulungan dimasa tersebut ingin memiliki status dan kedudukan yang dipandang sama serta diakui dalam pergaulan internasional negeri-negeri Islam, khususnya yang berada di kawasan Laut Sulawesi seperti Kesultanan Sulu, Mindanao dan Brunei Darussalam maupun yang berada di pantai timur Kalimantan seperti kutai Kertanegara maupun Berau yang kemudian pecah menjadi dua Kesultanan kembar, Gunung Tabur dan Sembaliung.


(makam Alayarham Said Abdurahman Bilfaqih, rumah peristirahatan terakhir yang begitu tenang)

Said Abdurahman Bilfaqih sendiri kemudian tutup usia dan disemayamkan di kawasan daerah baratan, di lokasi Awal ibu kota Kesultanan bulungan, tempat peristirahatan yang tenang sekaligus tempat yang begitu dicintai semasa hidupnya. sampai hari ini kita masih dapat menemui keturunan-keturunan alayarham yang dikenal sebagai Klan atau fam Bilfaqih.

Catatan kaki:
1). Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005). hlm 94
2). Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999) hlm. 78
3). Ibid, hal. 79

Sumber:

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

H.E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”, (Tanjung Selor: Panitia Abad XV H Kabupaten Bulungan. t.th)

Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005)

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999)

Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar