blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Minggu, 19 September 2010
Seni membaca tanda-tanda alam; tradisi kuno orang Bulungan.
(ilustrasi suku kayan Uma Apan)
Sebelum kedatangan Islam di Bulungan, suku kayan Uma Apan, salah satu unsur cikal bakal dari suku Bulungan, memiliki kepercayaan tersendiri yang erat dengan pemujaan arwah nenek moyang mereka. Mereka inilah yang kemudian juga menurunkan kepercayaan tentang tanda-tanda alam kepada orang Bulungan.
Penulis berkesimpulan secara umum kepercayaan pra islam oleh suku Bulungan (Uma Apan pada masa lalu) tersebut dibagi dalam beberapa bentuk, dan sampai saat ini tidak sedikit bentuk-bentuk kepercayaan tersebut ada yang melekat menjadi tradisi yang merupakan bentuk ke arifan lokal suku bulungan antara mereka dan alam sekitar dimana mereka tinggali. Kepercayaan pra islam yang dapat penulis simpulkan pada masa itu adalah sebagai berikut:
1). Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang (arwah leluhur).
2). Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dalam benda-benda tertentu.
3). Kepercayaan terhadap tanda-tanda alam.
Para ahli ilmu kebudayaan (Antropolog) seperti E. B. Tylor berpendapat kepercayaan seperti itu dinamakan animisme, berasal dari kata Anima yang berarti Soul atau jiwa, karena itu menurut beliau setelah manusia meninggal jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati mahluk-mahluk hidup dan benda-benda material, karena itu, agar roh tersebut tidak mengganggu maka perlu diadakan penghormatan (pemujaan) pada arwah para leluhur atau benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Mereka juga mempercayai arwah nenek moyang mereka merupakan pelindung bagi mereka terhadap serangan musuh maupun memberikan kesuburan tanah dan ketentraman bagi penduduk desa.
Lebih jauh, selain animisme, ada pula yang dikenal dengan nama Dinamisme yaitu kepercayaan tentang kekuatan roh (soul), jiwa atau semangat (spirit) yang mendiami benda-benda tertentu seperti pohon, parang, tombak, guji dan lain sebagainya.
(ilustrasi burung isit)
Sama halnya dengan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib, mereka juga mempercayai tentang baik-buruknya sesuatu melalui tanda-tanda alam. Mereka mempercayai bahwa jika arwah leluhur mereka “menitipkan” pesan lewat tanda-tanda atau tingkah laku penghuni hutan yang mereka temui. Misalnya jika saat dalam perjalanan ada burung Isit terbang atau ular yang melintas dari kanan ke arah kiri, berarti pertanda ada hal buruk sehingga rute perjalanan di rubah. Begitupula jika mendengar leguhan rusa sambar (sejenis rusa hutan yang bobot badannya bisa mencapai dua Kwintal) pada saat mereka mencari lokasi mendirikan pemukiman, itu artinya mereka sebaiknya menjauh dari lokasi tersebut dan mencari lokasi pemukiman lainnnya.
Membaca tanda-tanda alam, seperti yang dilakukan oleh moyang orang bulungan seperti itu, juga telah lama digunakan oleh bangsa-bangsa kuno lainnya, bangsa Romawi misalnya. Dalam tradisi romawi kuno, membaca tanda-tanda lama tersebut di bebankan kepada para pemuka agama yang dinamakan “Augur”, para Augur bergabung dalam sebuah badan yangh dinamakan “Collegium”.
Tugas para Augur mencari dan mencatat tanda-tanda alam seperti tanda-tanda yang diberikan burung yang dianggap suci oleh mereka, serta mencatat tempat suci dimana tanda itu terlihat kemudian menafsirkannya. Khusus mengenai pedoman teknis dilapangan, mereka memiliki kumpulan buku acuan yang dinamakan “Libri Augurales”.
(ilustrasi seorang Augur)
Tidak hanya itu, dalam satuan Augur, ada yang disebut “Auspicia”, yang artinya penyelidik burung, para Auspicia memperhatikan tanda-tanda bukan untuk mendapatkan jawaban atas kejadian dimasa depan, tapi apakah perbuatan tersebut direstui atau tidak oleh dewa mereka, perlu diingat sama halnya dengan moyang orang Bulungan yang percaya bahwa para roh leluhur mereka menitipkan pesan melalui tanda-tanda alam, bangsa romawi kunopun percaya bahwa pesan-pesan tersebut disampaikan oleh Dewa Jupiter melalui tanda-tanda alam juga.
Jadi walaupun setiap orang pada masa itu boleh menafsirkan tanda-tanda alam menurut pandangan mereka dan untuk keperluan mereka sendiri, namun jika berhubungan dengan negara khususnya pada tanda-tanda yang diberikan oleh burung, maka hanya badan khusus yang disebut “Auspicia Publica Populi Romani’” yang boleh menafsirkan tanda-tanda burung tersebut secara resmi, dan badan khusus ini berada di bawah tanggung jawab Augur.
Tanda-tanda alam menurut bentuknya oleh bangsa romawi lebih kompleks lagi, setidaknya ia dibagi lima macam yaitu:
1). Tanda-tanda yang diberikan oleh burung (signa ex avibus). Dalam hal ini hanya Auspicia yang dipercayai untuk menafsirkannya.
2) . Tanda langit (signa ex caelo), yang dikaji khususnya pergerakan kilat atau guntur, kilat yang dianggap baik apa bila nampak disebelah kira Augur dan berjalan kearah kanan, dan tidak baik kalau sebaliknya.
3). Tanda yang terlihat dalam gerak-gerik anak ayam apbila makan. Dianggap sebagai tanda baik kalau anak ayam itu berlarian u7ntuk makan dengan lahap bahkan sapai berceceran, tapi kalu nafsu makannya tidak terlihat saat makan, maka dianggap pertanda buruk. Pertanda macam ini konon digunakan saat tentara sedang pergi berperang, biasanya anak ayam itu khusus dibawa dan dirawat oleh petugas yang khusus juga namanya “Pullarisius”.
4). Tanda-tanda yang diberikan apabila binatang bersuara atau bergerak, seperti hewan berkaki empat atau ular yang bergerak ditanah.
5). Tanda yang diberikan oleh gejala yang menakutkan, seperti apa bila ada barang yang jatuh, suara yang tiba-tiba terdengar atau orang tergelincir dan sebagainya.
Sama halnya dengan para Augur dan Auspicia yang hilang ditelan zaman, tradisi membaca tanda-tanda alam dikalangan orang Bulungan ini lama-lama sudah tidak lagi terdengar atau dipercayai lagi.
Sumber:
Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII).
Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.
Soetomo Mangoen Rahardjo. 1976. “ Ikhtisar pokok dan tokoh Mitologi Yunani-Romawi”, Bandung: PT. Terate.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar