Koran Kaltim Tahun IV No. 1239. Kamis 25 November 2010. hal 16.
(makam Syekh Ahmad Al-Magribi).
Bulungan-Banyak warga yang belum tahu jika ternyata Wali Allah yang dimakamkan di Desa Salimbatu atau yang dikenal makam Syekh Maulana Al-Magribi, bernama asli Syaid Abdudurachman Al-Idrus berasal dari Sulu Filipina Selatan, dan berjasa besar dalam menyebarkan Islam pertama kali di Bulungan.
Menurut keterangan yang berhasil dihimpun Koran Kaltim, almarhum Syech Syaid Abdudurachman Al-Idrus lebih dikenal dengan sebutan Al-Magribi tatkala beliau wafat. Konon saat prosesi pemakaman dilaksanakan, matahari seakan enggan masuk keperaduannya, karena menghormati kesolehan almarhum yang sepanjang hidupnya hanya dipergunakan untuk beribadah dan berbuat kebaikan kepada sesama.
Namun setelah warga yang ikut memakamkan pulang kerumah waktu sudah menunjukan pukul 08.00 Wita malam. Maka mulai semenjak itulah warga mengeramatkan makam Syech Syaid Abdudurachman Al-Magribi.
Untuk menyebarkan Islam ke Bulungan, Syech Syaid Abdudurachman Al-Idrus ditemani dua murid setianya yaitu Syech Al-Juhri dan Sultan Iskandar salah satu Sultan yang berkuasa di salah satu kerajaan di Sulu Filipina Selatan yang rela meninggalkan harta, keluarga dan kekuasaan yang dimilikinya hanya semata-mata kecintaan yang tinggi kepada Allah SWT.
Setelah Syech Syaid Abdududrachman Al-Idrus wafat, kedua muridnya tetap melaksanakan dakwah untuk mengajak umat islam mengikuti jejak keduanya untuk menegakkan agama Islam. Hingga akhir hayatnya Syech Al-Juhri dan Sultan Iskandar tetap bermukim di Desa Salimbatu diman makam keduanya berdampingan dengan makam sang guru yaitu Syech Syaid Abdudurachman Al-Idrus.
Juru kunci makam Abdul Majid mengatakan, keberhasilan dalam menyebarkan Islam di pesisir Bulungan dan sekitarnya tidak hanya bisa menggugah hati warga. Bahkan gaungnya juga bisa memasuki ke Keraton Kesultanan, dimana kebesaran Islam ini mulai besar di Tanjung Palas ketika era almarhum Sultan Kasimuddin memerintah, dimana satu-satunya Masjid yang dibangun pada masa itu masih bisa kita saksikan sekarang. “Bahkan masih layak untuk dipergunakan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim setempat,” urainya. (sah/dari berbagai sumber).
blog ini dibuat, sebagai media menggali nilai-nilai sejarah dan budaya Bulungan...
Entri Populer
-
Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. ...
-
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sos...
-
Diantara upacara siklus hidup, upacara perkawinanlah yang paling menjadi ciri khas yang menjadi masterpiece atau maha karya yang membedakan ...
-
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting ...
-
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung) Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Na...
-
(Sultan Kaharuddin II, berkuasa antara 1875 hingga 1889) Dalam keadaan berkabung, Dewan Kesultanan akhirnya mengangkat cucu Sultan Khalifatu...
-
(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir) Bicara tentang sejarah lawas m...
-
(Museum Kesultanan Bulungan) Bicara tentang Bulungan, menurut saya tentunya juga tidak lepas dengan sejarah dan budayanya. ngomong-ngomong s...
-
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspres...
-
Mungkin pembaca agak sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar kata Warmond, ya warmond memang terdengar asing bagi masyarakat Kaltim, nam...
Selasa, 30 November 2010
Ragam Seni Tari Tradisional Bulungan
Seni tari telah menjadi bagian penting dalam budaya Bulungan, bahkan dapat dikatakan seni tari merupakan seni yang paling banyak mengekspresikan kelembutan dan ketinggian budaya Kesultanan dan Masyarakat Bulungan tempo dulu. Maka tidaklah heran seni tari tradisional Bulungan memang memiliki banyak ragamnya.
Secara garis besar tari tradisional dibedakan menjadi dua jenis yaitu Tari Istana dan Tari Rakyat. Tari Istana diwakili oleh tari Jugit, yaitu Jugit Paman dan Jugit Demaring , kedunya merupakan tari istana yang sakral walaupun sekilas nampaknya memiliki kesamaan, namun sebenarnya kedua tari itu memiliki perbedaan yang amat kompleks dari segi alat musik dan syair lagu, warna baju dan kain yang digunakan, gerak tangan saat memegang kipas dan selendang, serta peruntukannya untuk apa dan siapa tari itu disuguhkan. Dimasa lampau saking sakralnya tarian ini, tari Jugit Paman hanya boleh disuguhkan kepada Sultan dan di tarikan didalam kraton sedangkan tari Jugit Demaring dapat disaksikan oleh rakyat biasa dan boleh disuguhkan diluar kraton.
Selanjutnya adalah tarian tradisional masyarakat diantaranya ada tari Blunde’ atau Blundik, kemudian tari Mance atau Bemance’ dan tari Bagun. Blunde’ atau blundik merupakan tari tradisional bulungan yang sudah hampir jarang sekali ditemukan konon bentuk tari ini hampir sama dengan tari enggang dari suku Dayak, tidak menggunakan bulu enggang seperti umumnya melainkan hanya menggunakan tangan biasa dan kostumnya yang paling khas adalah ikat kepala, baju kebaya dan tapih (kain) yang digunakan hingga menutup lutut. Tari ini konon diciptakan oleh Datuk Perdana dan syairnya menggunakan bahasa Kayan Pimping, barulah kemudian syairnya diciptakan ulang dalam bahasa melayu oleh Datuk Abdul Aziz yang berjudul “Pinang Sendawar”.
Tari Mance atau Bemance, disebut juga tari silat, geraknya hampir sama dengan bentuk silat pada umumnya namun lebih luwes dan lebih berupa tarian yang disuguhkan sebagai bentuk hiburan, dimasa lampau Bemance merupakan kegemaran sebagaian besar pemuda bulungan.
Kemudian ada juga yang disebut tari Bangun, tari ini merupakan tari magis dan sakral dan tujuannya untuk memanggil kekuatan alam sebagai media penyembuhan, biasanya diperuntukan untuk mengobati orang-orang sakit dimasa lampau, walaupun saat ini masih sering dimainkan, sifatnya sudah bergeser menjadi bagian dari seni tari murni walaupun nuansa magis dan sakral tetap bisa dirasakan. Tari Bangun memiliki setidaknya tiga bantuk yaitu: Ngala Bedua’ (dimaksud untuk mengambil semangat si sakit), Betujul (memberi makan sesuatu yang gaib) dan yang terakhir Persembahan.
Selain bentuk tari tradisional seperti yang penulis sebutkan di atas, masih ada lagi tari yang populer dikalangan masyarakat Bulungan yaitu tari Zapin atau Jepen dalam dialek masyarakat Bulungan, tari Jepen Bulungan lahir dari proses yang panjang dari interaksi agama Islam dengan penduduk suku Bulungan. Jepan yang dimiliki masyarakat Bulungan murni kreasi para seniman sekaligus para pendawah dimasa lampau, Jepen ini menjadi sangat special karena sering muncul atau dimainkan dalam setiap hajat masyarakat khususnya pesta rakyat atau acara perkawinan, bila tak ada Jepen rasa tak lengkaplah acara tersebut, begitulah istilah orang Bulungan menyebutnya. Jepen Bulungan memiliki empat variasi bentuk yaitu: Jepen Serimpot, Jepen Surung Dayung, Jepan Ketemu dan yang terakhir Jepan Sirung (Sorong).
Demikianlah sekilas mengenai seni tari dan ragamnya, semoga tulisan ini dapat berguna untuk kita pada umumnya dan khususnya untuk mereka yang menggali seni Budaya Bulungan.
Sumber: Wawancara pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. dengan pengajar tari tradisional Bulungan, Ibu Iyay (Qamariyah), yang merupakan putri dari Datuk Aziz Saleh Masyur (DASMAN) salah seorang seniman multy talent yang pernah dimiliki oleh Kabupaten Bulungan.
Rabu, 29 September 2010
Studi Peran Said Abdurahman Bilfaqih di Masa-Masa Awal berdirinya Kesultanan Bulungan.
(ilustrasi kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan)
Sejarah awal Kesultanan Bulungan nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kisah kedatangan ulama seperti Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan, beliau dikenal pula dengan nama Tuan Kali Abdurahman. Istilah Tuan Kali merujuk pada jabatan atau gelar keagaman yang disebuat Tuan Kadi, Jabatan seperti ini pun ditemukan dalam susunan pemerintahan keegamaan Kesultanan Sulu.
sayangnya mengenai sosok Said Abdurahman bilfaqih sendiri, cendrung tidak begitu dikenal, selain kurangnya informasi sejarah hidup atau manakib beliau, pun studi mengenai beliau dan perannya sangat minim, padahal beliau adalah ulama besar yang memiliki peran yang tidak kecil dalam perjalanan sejarah Bulungan. karena itu tulisan ini mencoba untuk setidaknya membuka lembaran sejarah tentang beliau sekaligus merentas jalan untuk studi yang lebih lanjut lagi.
Literature sejarah Bulungan seperti tulisan Datuk Perdana dan H. E. Mohd. Hasan dkk, hanya menjelasakan bahwa beliau seorang perantau Arab dari Demak (Jawa). momentum ini dapat pula disebut sebagai kontak kedua kedatangan Islam di Bulungan yang tercatat dalam sejarah Bulungan. Sayangnya tidak ada literature lebih jauh yang menceritakan apa yang menjadi motif kedatangan beliau di Bulungan secara pasti dan apakah beliau sendiri datang karena memenuhi undangan penguasa Bulungan atau karena ada misi lainnya?.
Sedikit menengok kebelakang, menurut penelitian tim penulisan sejarah Banjar, pada masa pangeran Samudra, Sultan pertama Kesultanan Banjar yang bergelar Sultan Suriansyah, Demak pernah mengirim angkatan perangnya untuk membantu Banjar untuk mengalahkan kerajaan Daha yang berpusat di Muara Hulak dengan Bandar perdagangannya di Muara Bahan. Bersamaan dengan dikirimnya bantuan pasukan, diikut sertakan juga Khatib Dayan, seorang penghulu mesjid yang dipersiapkan untuk mengislamkan orang-orang Banjar setelah kerjaan banjar berhasil mengalahkan kerajaan Daha, sesuai janji pangeran Samudra. Kesultanan Banjarmasin pun akhirnya didirikan setelah mengalahkan kerajaan Daha pada tanggal 24 September 1526 bertepatan dengan tanggal 8 Zulhijjah 932 Hijriah. Khatib dayan sendiri meninggal dan dikuburkan dikompleks makam Sultan Suriansyah di kuwin utara. Ada yang berpendapat bahwa Khatib Dayan adalah seorang Arab dari golongan Ahlul Bait yang bernama Sayyid Abdurahman. Orang jawa lazim menyebutnya Sayyid Ngabdul Rahman. Mereka berpendapat kemungkinan khatib Dayan adalah orang jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara yaitu Tuban, Demak, Gresik merupakan pusat pemukiman orang Arab.<1> Fakta ini setidaknya memberikan kita informasi awal bahwa pada masa Kesultanan Demak, perkampungan Arab memang sudah ada disekitar pesisir pantai utara Jawa.
Penulis berpendapat tujuan kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan erat kaitannya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas keimanan para penguasa maupun rakyat Bulungan yang sudah mengenal agama Islam sebelumnya, walaupun saat itu bentuk pemerintahan yang dianut bukanlah Kesultanan, namun sebuah kerajaan kecil lebih terlihat sebagai sistem kepala suku. Jika memperhatikan begitu mudahnya beliau bergaul dengan wira Amir dan sempat diangkat menjadi penasehat sekaligus guru agama Islam oleh wira Amir, maka kita dapat kita menarik kesimpulan awal bahwa Said Abdurahman pada saat itu sudah sangat dikenal baik oleh Wira Amir maupun rakyatnya, jadi pengucapan kalimat Syahadat oleh Wira Amir itu sendiri bukanlah berarti Wira Amir belum menjadi muslim sebelumnya, melainkan hanya sekedar formalitas belaka karena Wira Amir sudah mengenal Islam sebelumnya. Satuhal yang disayangkan adalah tidak ada catatan sezaman atau sesudahnya yang menceritakan secara rinci bagaimana alur pelayaran yang dilintasi oleh Said Abdurahman Bilfaqih dari Demak hingga sampai ke Bulungan.
(kawasan baratan, lokasi pertama berdirinya Kesultanan bulungan)
Lalu bagaimana status Said Abdurahman Bilfaqih sendiri dalam usaha beliau mendakwahkan Islam di Bulungan?, apakah beliau memiliki hubungan dengan penguasa Demak sebagai duta kerajaan seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan di Kesultanan Banjar? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat posisi Kesultanan Demak sendiri pada saat awal-awal munculnya Kesultanan Bulungan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pada masa tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi salah satu wilayah dari Kesultanan Mataram Islam, pamor Demak bahkan memudar dengan cepat setelah gagalnya pemberontakan Puger pada tahun 1602-1605 M.
Ada kemungkinan kepergian beliau keluar wilayah Kesultanan Demak berhubungan dengan situasi politik yang tidak stabil di tanah Jawa, semenjak Kesultanan Mataram berperang untuk menguasai tanah Jawa khususnya kota-kota pelabuhan dipantai utara jawa, ini artinya secara politik Said Abdurahman Bilfaqih bukanlah duta politik Kesultanan Demak, walaupun bukan sebagai duta politik Kesultanan Demak seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan pada masa awal berdirinya Kesultanan Banjar, sebagai seorang pendakwah beliau bersama Wira Amir nampaknya telah mempersiapkan pondasi agama Islam bagi masyarakat Bulungan, hal ini sebenarnya dapat di pahami, didalam agama Islam Amir atau pemimpin negara sekaligus agama keberadaannya adalah mutlak, itulah sebabnya pemberian gelar oleh Said Abdurahman Bilfaqih pada Wira Amir sebagai Amiril Mukminin yang secara politik dapat dipahami oleh Wira Amir sebagai legitimasi politik untuk membentuk Kesultanan Islam di kawasan yang pada masa itu kebanyakan dihuni oleh suku Bulungan. Karena itu terbentuknya Kesultanan Bulungan maka agama Islam yang dianut oleh sebagian besar Ulun Bulungan akan semakin kokoh dan legal atau sah karena didukung oleh Negara dalam hal ini adalah Kesultanan Bulungan. Mulai memudarnya pengaruh kerajaan Berau kuno (Kuran) karena perselisihan antara para penerus tahta nampaknya menjadi salah satu faktor lain yang juga ikut menentukan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan di pentas sejarah dimasa awal tersebur.
(lokasi makam yang terawat dengan baik tampak terlihat dari luar pagar)
Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, sebagai bahasa politik Islam di Asia Tenggara, yang penulis kutip dalam bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, beliau menuturkan:
(“... ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar setidaknya sejak paruh abad ke-13, pengadopsian dan penggunaan kosakata politik Islam menemukan momentumnya pula. Seperti diisyaratkan, banyak historiografi (karya sejarah) Islam dikawasan ini, proses konversi bahkan dimulai pada ranah politik. Hampir semua historiografi tradisonal ini meriwayatkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dan korvensi penguasa lokal ke dalam Islam, yang kemudian diikuti para elit istana selanjutnya disusuli seluruh rakyat.
Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang digunakan selama ini adalah “kerajaan”, kini secara resmi disebut dengan “kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistensi dari penguasa lokal ketika penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam, begitu mengucapkan dua kalimah Syahadah, merekapun mengambil alih nama-nama Muslim dan term-term politik Islam tanpa kesulitan apa-apa. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik al-Shalih. Bisa dipastikan, secara politis tidak ada kesulitan bagi Merah Silau dan penggantian sebutan entitas politiknya dari “kerajaan” kepada “kesultanan”. Toh, di Timur Tengah tidak ada perbedaan antara keduanya; setali tiga uang.
Gelar sultan lengkap dengan nama Muslim, seperti bisa diduga umumnya diberikan oleh guru-guru pengembara pembawa Islam, yang jelas tahu banyak tradisi dan bahasa politik yang berlaku di Timur Tengah, karena itu pula, dalam kasus Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, banyak gelar yang digunakan penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad XII-XIII. Jika di Samudra Pasai kita mengenal Malik al-Shalih atau Malik al-Zahir, nama-nama semacam itu juga dengan mudah dapat ditemukan dalam genelogi penguasa Dinasti Ayyub”). <2>
Jika mengacu pada konteks yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, kita akan menemukan keselarasan didalam konsep ini, seperti yang sebutkan sebelumnya Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian mendapat gelar Tuan Kali Abdurahman merupakan guru pengembara yang kemudian mendapatkan tempat dihati masyarakat Bulungan. Jika diperhatikan lebih jauh pemberian gelar Amiril Mukminin pada Wira Amir sangat kental dengan nuansa tradisi Kesultanan-Kesultanan Muslim Sunni di Timur Tengah, walaupun ia berasal dari Demak menurut sumber sejarah lokal Bulungan, namun ia sama sekali tidak memberikan gelar-gelar Islam yang bernafaskan Jawa kepada Wira Amir.
(menurut penuturan bapak H. Said Ali Amin Bilfaqih,-yang merupakan keturunan Said Abdurahman bifaqih-, menyatakan bahwa said Abdurahman bilfaqih sebenarnya berlayar langsung dari Hadramaut, kemudian hanya singgah beberapa saat di Demak barulah kemudian melanjutkan perjalanan menuju utara dipesisir timur kalimantan hingga akhirnya sampai di Bulungan)
Maka dapat dimengerti bahwa Said Abdurahman Bilfaqih nampaknya cukup memahami kondisi politik yang terjadi pada masa-masa itu, iapun nampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik pula mengenai sejarah dan tradisi politik para penguasa Dinasty Muslim Sunni di Timur Tengah yang menjadi banyak acuan para Sultan di nusantara pada masa tersebut. Sebab tidak sedikit bahkan para penguasa Muslim yang berusaha mendapat gelar tersebut dari otoritas politik di Timur Tengah, khususnya dari pemegang kunci “gerbang suci” yaitu Syarif Mekah. Kesultanan Aceh Misalnya dikenal memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Turki Utsmani dan Syarif Mekah. Begitupula Kesultanan Palembang dan Makasar juga diketahui menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, hal ini tidak hanya menunjukan adanya hasrat yang kuat oleh para penguasa Muslim untuk mendapatkan legitimasi tambahan, namun juga mengisyaratkan kenginan untuk mengasosisikan diri dengan pusat-pusat poltik keagamaan Islam. Dengan kata lain, entitas dan muslim polities dikawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al Islam” atau Negeri Islam.<3> Dengan demikian dapat pula dipahami Kesultanan Bulungan dimasa tersebut ingin memiliki status dan kedudukan yang dipandang sama serta diakui dalam pergaulan internasional negeri-negeri Islam, khususnya yang berada di kawasan Laut Sulawesi seperti Kesultanan Sulu, Mindanao dan Brunei Darussalam maupun yang berada di pantai timur Kalimantan seperti kutai Kertanegara maupun Berau yang kemudian pecah menjadi dua Kesultanan kembar, Gunung Tabur dan Sembaliung.
(makam Alayarham Said Abdurahman Bilfaqih, rumah peristirahatan terakhir yang begitu tenang)
Said Abdurahman Bilfaqih sendiri kemudian tutup usia dan disemayamkan di kawasan daerah baratan, di lokasi Awal ibu kota Kesultanan bulungan, tempat peristirahatan yang tenang sekaligus tempat yang begitu dicintai semasa hidupnya. sampai hari ini kita masih dapat menemui keturunan-keturunan alayarham yang dikenal sebagai Klan atau fam Bilfaqih.
Catatan kaki:
1). Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005). hlm 94
2). Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999) hlm. 78
3). Ibid, hal. 79
Sumber:
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
H.E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”, (Tanjung Selor: Panitia Abad XV H Kabupaten Bulungan. t.th)
Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005)
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999)
Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.
Senin, 27 September 2010
Tari Jugit: Kreasi Agung seniman Bulungan.
Seni tari dalam kehidupan masyarakat kesultanan tempo dulu, setidaknya ada dua yaitu tari kraton dan tari rakyat. salah satu kreasi penting seniman bulungan yang tetap lestari adalah tari Jugit. Harus saya akui kawan, saya tidak bisa menyembunyikan kekaguman saya pada seni tari bulungan yang satu ini, nah begini hikayatnya….
Menurut legenda, tari jugit ini diciptakan oleh dua orang seniman sekaligus laksamana kesultanan Bulungan yaitu Datuk Maulana dan Datuk Mahubut. Jadi bisa dibayangkan umur tarian ini sudah begitu tua, bisa jadi sekitar paruh kedua abad ke-18 Masehi tari ini sudah menemukan bentuknya seperti yang dikenal saat ini.
Umumnya orang hanya mengenal tari jugit hanya satu variasi bentuk, sebenarnya tidak, tari Jugit kreasi agung orang Bulungan ini mempunyai dua bentuk yang memang mirip tapi memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Tari pertama disebut Tari Jugit Paman dan yang kedua di sebut Tari Jugit Demaring.
Walaupun memiliki kemiripan, tari ini memiliki perbedaan dari bentuk gerak tangan, warna baju, syair lagu, tempo gerakan, serta peruntukan untuk apa dan siapa tarian ini dipersembahkan.
Dimasa lalu, Tari ini begitu sakral, Tari jugit Paman hanya di peruntukan untuk raja, artinya tarian ini tidak akan pernah dapat dilihat di luar Istana, dan memang itulah aturannya, berbeda dengan tari jugit Demaring, walaupun milik kraton, namun ia boleh di persembahkan di luar Istana, karena itu biasanya dalam setiap penyambutan tamu diluar istana, misalnya di dermaga istana atau dalam Biduk Bebandung atau kapal layar Kesultanan, tari Jugitlah demaring yang dipersembahkan. sedikit catatan penari jugit, khususnya penari jugit demaring, untuk sampai ke tempat dia menari, penari itu akan di gendong dan memang seperti itulah adatnya.
Dari segi warna baju, keduanya memiliki perbedaan pula, dalam tarian Jugit Paman, penari harus menggunakan kombinasi warna merah di atas dan kuning di bawah, jadi jika dalam sebuah tari jugit, warna bajunya seperti diatas bisa dipastikan ia menarikan tarian Jugit paman. Sebaliknya penari Jugit Demaring menggunakan kombinasi baju kuning di atas dan hijau di bawah.
Gerak tangan dan kecepatannyapun berbeda, dalam Tari Jugit Paman biasanya tempo atau gerakan cenderung lebih cepat, sedang dalam tarian Jugit Demaring lebih lambat geraknya.
Bentuk gerakpun memiliki keunikan juga, memang kedua garik kaki kedua tarian ini hampi mirip, tapi gerak tangannya yang berbeda, dalam tarian jugit Paman, gerak tangan sebatas bahu, sedangkan pada jugit Demaring gerak tangan sebatas dada, Tangan kanan memegang kipas dan tangan kiri memegang selendang. Dalam Jugit paman tangan kiri tidak bergerak apa bila jatuh kebelakang, sedangkan pada Jugit Demaring tetap bergerak apa bila jatuh kesamping.
Pada tari jugit Demaring ada gerakan yang di sebut “Ayu Ane” atau menggendong anak, gerak ini tidak terdapat dalam jugit paman. Posisi tangan “Ayu Ane” kipasnya di kuncup kemudian, tangan kanan yang memegang kipas diletakan tangan kiri seperti posisi menggendong anak.
Syair lagu kedua tarian ini berbeda pula, dalam tarian jugit Paman hanya punya satu Syair yaitu Gandang Lais dan alat musiknya hanya kelantang atau kolintang dan itupun hanya tiga anak kolintang diman kan dua orang yaitu satu untuk bas dan yang lain memainkan dua anak kolintang lainnya. pada tari jugit Demaring ada dua Syair lagunya yaitu Kalau yang artinya Sore dan Jumalom atau jauh malam, dalam jumalom inilah ada potongan syair “Ayu Ane” tersebut, dalam Jugit demaring alat musiknya beragam, pada perkembangannya bukan hanya kelantang atau kolintang namun juga bisa menggunakan rebana dan biola khususnya pada syair lagu jumalom. sedikit catatan, dimasa lalu baik penyanyi syair dalam Jugit paman dan demaring, jumlahnya paling sedikit empat orang jika banyak bisa sepuluh orang karena lagu itu tidak boleh putus, dan sipenari mengikuti isyarat gerak dari syair tersebut, karena itu baik si penari maupun si penyanyi harus hapal mati dengan isi syair lagu tersebut.
Inilah sekelumit pengentar studi awal mengenai tari Jugit, tentunya tidak lepas dari kekurangan, peran serta budayawan, penikmat seni Bulungan dan seniman Bulungan akan membantu untuk mengekspose lebih dalam lagi mengenai karya seni budaya bulungan yang kita cintai ini.
Sumber:
Wawancara pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. dengan pengajar tari tradisional Bulungan, Ibu Iyay (Qamariyah), yang merupakan putri dari Datuk Aziz Saleh Masyur (DASMAN) salah seorang seniman multy talent yang pernah dimiliki oleh Kabupaten Bulungan.
Minggu, 19 September 2010
Seni membaca tanda-tanda alam; tradisi kuno orang Bulungan.
(ilustrasi suku kayan Uma Apan)
Sebelum kedatangan Islam di Bulungan, suku kayan Uma Apan, salah satu unsur cikal bakal dari suku Bulungan, memiliki kepercayaan tersendiri yang erat dengan pemujaan arwah nenek moyang mereka. Mereka inilah yang kemudian juga menurunkan kepercayaan tentang tanda-tanda alam kepada orang Bulungan.
Penulis berkesimpulan secara umum kepercayaan pra islam oleh suku Bulungan (Uma Apan pada masa lalu) tersebut dibagi dalam beberapa bentuk, dan sampai saat ini tidak sedikit bentuk-bentuk kepercayaan tersebut ada yang melekat menjadi tradisi yang merupakan bentuk ke arifan lokal suku bulungan antara mereka dan alam sekitar dimana mereka tinggali. Kepercayaan pra islam yang dapat penulis simpulkan pada masa itu adalah sebagai berikut:
1). Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang (arwah leluhur).
2). Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dalam benda-benda tertentu.
3). Kepercayaan terhadap tanda-tanda alam.
Para ahli ilmu kebudayaan (Antropolog) seperti E. B. Tylor berpendapat kepercayaan seperti itu dinamakan animisme, berasal dari kata Anima yang berarti Soul atau jiwa, karena itu menurut beliau setelah manusia meninggal jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati mahluk-mahluk hidup dan benda-benda material, karena itu, agar roh tersebut tidak mengganggu maka perlu diadakan penghormatan (pemujaan) pada arwah para leluhur atau benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Mereka juga mempercayai arwah nenek moyang mereka merupakan pelindung bagi mereka terhadap serangan musuh maupun memberikan kesuburan tanah dan ketentraman bagi penduduk desa.
Lebih jauh, selain animisme, ada pula yang dikenal dengan nama Dinamisme yaitu kepercayaan tentang kekuatan roh (soul), jiwa atau semangat (spirit) yang mendiami benda-benda tertentu seperti pohon, parang, tombak, guji dan lain sebagainya.
(ilustrasi burung isit)
Sama halnya dengan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib, mereka juga mempercayai tentang baik-buruknya sesuatu melalui tanda-tanda alam. Mereka mempercayai bahwa jika arwah leluhur mereka “menitipkan” pesan lewat tanda-tanda atau tingkah laku penghuni hutan yang mereka temui. Misalnya jika saat dalam perjalanan ada burung Isit terbang atau ular yang melintas dari kanan ke arah kiri, berarti pertanda ada hal buruk sehingga rute perjalanan di rubah. Begitupula jika mendengar leguhan rusa sambar (sejenis rusa hutan yang bobot badannya bisa mencapai dua Kwintal) pada saat mereka mencari lokasi mendirikan pemukiman, itu artinya mereka sebaiknya menjauh dari lokasi tersebut dan mencari lokasi pemukiman lainnnya.
Membaca tanda-tanda alam, seperti yang dilakukan oleh moyang orang bulungan seperti itu, juga telah lama digunakan oleh bangsa-bangsa kuno lainnya, bangsa Romawi misalnya. Dalam tradisi romawi kuno, membaca tanda-tanda lama tersebut di bebankan kepada para pemuka agama yang dinamakan “Augur”, para Augur bergabung dalam sebuah badan yangh dinamakan “Collegium”.
Tugas para Augur mencari dan mencatat tanda-tanda alam seperti tanda-tanda yang diberikan burung yang dianggap suci oleh mereka, serta mencatat tempat suci dimana tanda itu terlihat kemudian menafsirkannya. Khusus mengenai pedoman teknis dilapangan, mereka memiliki kumpulan buku acuan yang dinamakan “Libri Augurales”.
(ilustrasi seorang Augur)
Tidak hanya itu, dalam satuan Augur, ada yang disebut “Auspicia”, yang artinya penyelidik burung, para Auspicia memperhatikan tanda-tanda bukan untuk mendapatkan jawaban atas kejadian dimasa depan, tapi apakah perbuatan tersebut direstui atau tidak oleh dewa mereka, perlu diingat sama halnya dengan moyang orang Bulungan yang percaya bahwa para roh leluhur mereka menitipkan pesan melalui tanda-tanda alam, bangsa romawi kunopun percaya bahwa pesan-pesan tersebut disampaikan oleh Dewa Jupiter melalui tanda-tanda alam juga.
Jadi walaupun setiap orang pada masa itu boleh menafsirkan tanda-tanda alam menurut pandangan mereka dan untuk keperluan mereka sendiri, namun jika berhubungan dengan negara khususnya pada tanda-tanda yang diberikan oleh burung, maka hanya badan khusus yang disebut “Auspicia Publica Populi Romani’” yang boleh menafsirkan tanda-tanda burung tersebut secara resmi, dan badan khusus ini berada di bawah tanggung jawab Augur.
Tanda-tanda alam menurut bentuknya oleh bangsa romawi lebih kompleks lagi, setidaknya ia dibagi lima macam yaitu:
1). Tanda-tanda yang diberikan oleh burung (signa ex avibus). Dalam hal ini hanya Auspicia yang dipercayai untuk menafsirkannya.
2) . Tanda langit (signa ex caelo), yang dikaji khususnya pergerakan kilat atau guntur, kilat yang dianggap baik apa bila nampak disebelah kira Augur dan berjalan kearah kanan, dan tidak baik kalau sebaliknya.
3). Tanda yang terlihat dalam gerak-gerik anak ayam apbila makan. Dianggap sebagai tanda baik kalau anak ayam itu berlarian u7ntuk makan dengan lahap bahkan sapai berceceran, tapi kalu nafsu makannya tidak terlihat saat makan, maka dianggap pertanda buruk. Pertanda macam ini konon digunakan saat tentara sedang pergi berperang, biasanya anak ayam itu khusus dibawa dan dirawat oleh petugas yang khusus juga namanya “Pullarisius”.
4). Tanda-tanda yang diberikan apabila binatang bersuara atau bergerak, seperti hewan berkaki empat atau ular yang bergerak ditanah.
5). Tanda yang diberikan oleh gejala yang menakutkan, seperti apa bila ada barang yang jatuh, suara yang tiba-tiba terdengar atau orang tergelincir dan sebagainya.
Sama halnya dengan para Augur dan Auspicia yang hilang ditelan zaman, tradisi membaca tanda-tanda alam dikalangan orang Bulungan ini lama-lama sudah tidak lagi terdengar atau dipercayai lagi.
Sumber:
Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII).
Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.
Soetomo Mangoen Rahardjo. 1976. “ Ikhtisar pokok dan tokoh Mitologi Yunani-Romawi”, Bandung: PT. Terate.
Jumat, 10 September 2010
Sultan Datu Alam Muhammad Adil (1873-1875)
Dalam sejarah bulungan, ada salah seorang Sultan yang menurut penulis pantas untuk dibicarakan di pentas sejarah, ia tidak lain adalah Sultan Datuk Alam Muhammad Adil. Ia adalah Sultan pertama yang terang-terangan menantang kolonial Belanda di Bulungan. begini hikayatnya.
Datuk Alam gelar Sultan Muhammad Adil, begitulah ia dikenal, naik tahta sebagai Sultan Bulungan pada tahun 1873. Ia adalah putra pangeran Maulana, seorang anak yang lahir dari pernikahan Sultan Alimuddin dengan Aji Aisyah dari Tanah Tidung.
Sebelum Sultan Datuk Alam Muhammad Adil naik tahta, Kesultanan Bulungan sempat memasuki kondisi politik yang kurang stabil, ini dipicu adanya kubu-kubu politik yang mulai muncul kepermukaan, istana pada saat itu terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu Sultan Muhammad Kaharuddin (sultan yang sebelumnya berkuasa) dan kubu Datu Alam. dimasa Sultan Kaharudiin inilah Belanda sempat mencoba menanamkan pengaruhnya kepada Kesultanan Bulungan yang kemudian di tandai sebuah perjanjian kontrak politik atau Korte Verklering pada 12 November 1850.
Para sejarawan berpendapat perjanjian tersebut mengakhiri kedaulatan Kesultanan Bulungan, baik secara de fakto maupun de jure secara hukum Kesultanan Bulungan berada dibawah pengaruh Belanda.
Memang jika mengacu pada informasi tentang poin-poin kontrak politik atau Korte Verklering secara umum, Kesultanan Bulungan berada dalam posisi sulit, poin-poin dari Korte Verklering secara umum adalah sebagai berikut:
1) Raja mengakui dan tunduk pada Pemerintah Belanda sebagai penguasa tertinggi.
2) Raja mengakui dan mentaati semua peraturan yang di keluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
3) Raja tidak mengikat perjanjian dengan Negara-negara lain.
Perjanjian Korte Verklering inilah yang dianggap tidak berlaku oleh beliau, ini dikarenakan sifat dari Korte Verklering tidak mengikat lagi pada Sultan selanjutnya, itulah sebabnya terkadang perjanjian yang dibuat antara Sultan yang sebelumnya berkuasa dengan Sultan penggantinya tidak sama bentuknya, itu artinya perjanjian dengan raja yang digantikan tidak secara otomatis berlaku pada raja yang menggantikannya.
Karena itu sikap Sultan Datu Muhammad Adil yang tidak mengakui perjanjian antara Kesultanan Bulungan dengan Belanda tahun 1850 itu, dapat dikatakan gugur pula demi hukum, karena pada dasarnya tidak satupun ada perjanjian yang sah sifatnya jika hanya di akui oleh satu pihak, apalagi jika menyangkut hubungan diplomatik antar kedua negara.
Sultan bahkan merealisasikan sikap tersebut dengan membangun istana baru dan terbesar dalam sejarah Kesultanan Bulungan yang kemudian hari dikenal dengan nama Darul-Aman di sebelah hilir istana lama, seolah menegaskan kembali bahwa perjanjian 12 November 1850 atas Bulungan tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dimasa pemerintahannya Sultan dikenal dekat dengan rakyat dan ulama, dalam menjalankan pemerintahannya, beliau lebih banyak menggunakan pendekatan keagamaan, karena memang beliau juga seorang ulama, sikap yang diambil Datu Alam yang tidak mau bekerja sama (Non-Kooperatif) dengan Belanda merupakan sikap umum yang hampir dimbil oleh para ulama dimasa itu, beliau juga sempat merenovasi masjid lama, Mesjid Jami’ Tanjung Palas sehingga dapat menampung lebih banyak jamaah shalat disana.
Dilain pihak Belandapun nampaknya paham bahwa Inggris tidak akan menarik diri dari kawasan Kalimantan bagian utara. Bagi Inggris Kalimantan utara sangat penting mengingat posisinya yang strategis di Laut Cina Selatan. karena itu perjanjian yang dibuat nampaknya dimaksudkan oleh belanda agar dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk mengusir para pedagang Inggris atau yang dikenal dengan nama County Traider.
Keberadaan para Country Trader di perairan Nusantara ternyata menyadarkan pemerintah Hindia Belanda akan ancaman pemerintahan Kolonial Inggris, wilayah-wilayah yang bebas dari pengawasan pemerintah Hindia Belanda tidak sedikit yang menjalin hubungan dengan para pedagang Inggris dari Singapura, mereka menukarkan hasil bumi negeri mereka dengan berbagai jenis senjata api dan meriam, terutama meriam putar milik Inggris, para pedagang Inggris dengan senang hati memasarkan barang produksi persenjataan mereka serta megajarkan pada kerajaan-kerajaan pribumi yang menjalin hubungan dengan mereka cara menggunakan dan merawat senjata api itu. kepemilikan senjata-senjata api oleh kerajaan-kerajaan yang berdaulat semakin menegaskan kekuasaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan tersebut, dilain pihak kemajuan teknologi persenjataan kerajaan-kerajaan tersebut akan semakin mengancam kedudukan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di kawasan Nusantara.
Belanda dibuat gelisah setelah James Brook, seorang petualang Inggris yang mengunjungi Kesultanan Brunei 1840 dan memberikan ganti rugi untuk menguasai Bandar niaganya, sikap James Brook mendapat rekasi protes dari pemerintah Kolonial Belanda, namun Inggris beralasan bahwa negaranya belum berniat menjadikan Brunei sebagai koloninya, walaupun sejarah akhirnya membuktikan Inggris akhirnya berhasil menjadikan kawasan Kalimantan utara (Nort Borneo) sebagai wilayah koloninya. Inggris memang cukup lunak dengan Belanda berhungan dengan masalah Bengkulu, mereka setuju menukar Bengkulu dengan Malaka pada 1824 sesuai dengan ketentuan Traktat London 17 maret 1824, Namun dalam hal Kalimantan, khususnya Serawak dan tentunya juga Sabah, Inggris tidak memberi tanggapan yang tegas terhadap protes Belanda, Inggris berkilah bahwa kegiatan James Brook tidak ada hubungan dengan pemerintah Inggris. Tetapi sejarah pula mencatat, dari Serawak Inggris mampu melebarkan pengaruhnya bahkan mulai bergerak mendekati kawasan Teluk Sebuku, pintu gerbang di utara Kesultanan Bulungan. Labuan yang dijadikan sebagai pangkalan Angkatan Lautnya pada tahun 1846 diperoleh berdasarkan perjanjian Sultan Brunei dengan James Brook, kecemasan pemerintah kolonial Belanda makin besar.
Sukses yang didapatkan oleh James Brook ternyata juga mengilhami para Country Trader lainnya, J. Erskine Murray salah satunya, ia mencoba mengadu untung mengikuti jejek James Brook, ia bermaksud membangun pengaruhnya di Kalimantan Timur, itulah sebabnya pada bulan February 1844, J. E. Murray membawa armada dagangnya yang dilengkapi dengan meriam-meriam besar, armada tersebut adalah kapal skunar bertiang tiga, The Young Queen dan The Anna, setibanya di Kutai J. E. Murray justru bukan hanya ingin berdagang, ia bahkan meminta pada Sultan Salehuddin untuk memberikan sebidang tanah untuk mendirikan Faktorij dengan alasan untuk melindungi para pedagang Inggris, dan mengancam akan menembaki Tenggarong jika permintaan itu tidak dipenuhi, Sultan tidak menerima sikap permusuhan tersebut, maka pecahlah perang antara Kesultanan Kutai dengan petualang inggris tersebut, J. E. Murray terbunuh dan armadanya diusir oleh Armada militer Kutai dibawah komando Sinopati Awang Long, perang ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Perang Tambak Maris.
Tidak hanya disitu, saat terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini, kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah ‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak James Brook namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan rencananya. keberadaan para pedagang Inggris tersebut di perairan kalimantan merupakan bukti bahwa perjanjian itu hanya terjadi di atas kertas saja.
Bagi belanda, menghentikan laju kekuatan inggris di utara di mulai dari Bulungan, Belanda berupaya mendapatkan hak atas wilayah kesultanan Bulungan, selanjutnya dijadikan kawasan penyangga untuk memblokade pengaruh Inggris khususnya dari wilayah Sabah. Siasat ini sejalan dengan politik pembulatan wilayah (Afronding Politiek) untuk mewujudkan apa yang mereka sebut dengan nama Pax Nederlandica (wilayah aman dan tertib dibawah naungan Belanda). Namun sikap tidak bersahabat yang ditunjukan oleh Sultan Datu Alam muhammad Adil, bagi Belanda akan menjadi duri yang besar bagi terciptanya keinginan tersebut, menariknya pihak kolonial Belanda ternyata enggan menggunakan kekuatan militer terhadap Sultan Bulungan ini.
Sikap Sultan Datu Alam Muhammad adil yang keras tersebut, akhirnya membuat beliau terhempas, pada sebuah jamuan yang dilakukan oleh Sultan dan di hadiri oleh pihak kolonial Belanda di Istananya, Darul Aman, Sultan tiba-tiba mendadak sakit dan akhirnya meninggal dunia, beliau diduga di racun saat perjamuan tersebut, Belanda dituding berada dibalik rencana konspirasi tersebut mengingat sikap permusuhan yang tujukan oleh Sultan terhadap pemerintah Kolonial Belanda selama ini. Pada tahun 1875 M / 1292 H, Sultan yang dicintai rakyatnya itupun akhirnya meninggal dunia.
Datuk Alam gelar Sultan Muhammad Adil, begitulah ia dikenal, naik tahta sebagai Sultan Bulungan pada tahun 1873. Ia adalah putra pangeran Maulana, seorang anak yang lahir dari pernikahan Sultan Alimuddin dengan Aji Aisyah dari Tanah Tidung.
Sebelum Sultan Datuk Alam Muhammad Adil naik tahta, Kesultanan Bulungan sempat memasuki kondisi politik yang kurang stabil, ini dipicu adanya kubu-kubu politik yang mulai muncul kepermukaan, istana pada saat itu terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu Sultan Muhammad Kaharuddin (sultan yang sebelumnya berkuasa) dan kubu Datu Alam. dimasa Sultan Kaharudiin inilah Belanda sempat mencoba menanamkan pengaruhnya kepada Kesultanan Bulungan yang kemudian di tandai sebuah perjanjian kontrak politik atau Korte Verklering pada 12 November 1850.
Para sejarawan berpendapat perjanjian tersebut mengakhiri kedaulatan Kesultanan Bulungan, baik secara de fakto maupun de jure secara hukum Kesultanan Bulungan berada dibawah pengaruh Belanda.
Memang jika mengacu pada informasi tentang poin-poin kontrak politik atau Korte Verklering secara umum, Kesultanan Bulungan berada dalam posisi sulit, poin-poin dari Korte Verklering secara umum adalah sebagai berikut:
1) Raja mengakui dan tunduk pada Pemerintah Belanda sebagai penguasa tertinggi.
2) Raja mengakui dan mentaati semua peraturan yang di keluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
3) Raja tidak mengikat perjanjian dengan Negara-negara lain.
Perjanjian Korte Verklering inilah yang dianggap tidak berlaku oleh beliau, ini dikarenakan sifat dari Korte Verklering tidak mengikat lagi pada Sultan selanjutnya, itulah sebabnya terkadang perjanjian yang dibuat antara Sultan yang sebelumnya berkuasa dengan Sultan penggantinya tidak sama bentuknya, itu artinya perjanjian dengan raja yang digantikan tidak secara otomatis berlaku pada raja yang menggantikannya.
Karena itu sikap Sultan Datu Muhammad Adil yang tidak mengakui perjanjian antara Kesultanan Bulungan dengan Belanda tahun 1850 itu, dapat dikatakan gugur pula demi hukum, karena pada dasarnya tidak satupun ada perjanjian yang sah sifatnya jika hanya di akui oleh satu pihak, apalagi jika menyangkut hubungan diplomatik antar kedua negara.
Sultan bahkan merealisasikan sikap tersebut dengan membangun istana baru dan terbesar dalam sejarah Kesultanan Bulungan yang kemudian hari dikenal dengan nama Darul-Aman di sebelah hilir istana lama, seolah menegaskan kembali bahwa perjanjian 12 November 1850 atas Bulungan tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dimasa pemerintahannya Sultan dikenal dekat dengan rakyat dan ulama, dalam menjalankan pemerintahannya, beliau lebih banyak menggunakan pendekatan keagamaan, karena memang beliau juga seorang ulama, sikap yang diambil Datu Alam yang tidak mau bekerja sama (Non-Kooperatif) dengan Belanda merupakan sikap umum yang hampir dimbil oleh para ulama dimasa itu, beliau juga sempat merenovasi masjid lama, Mesjid Jami’ Tanjung Palas sehingga dapat menampung lebih banyak jamaah shalat disana.
Dilain pihak Belandapun nampaknya paham bahwa Inggris tidak akan menarik diri dari kawasan Kalimantan bagian utara. Bagi Inggris Kalimantan utara sangat penting mengingat posisinya yang strategis di Laut Cina Selatan. karena itu perjanjian yang dibuat nampaknya dimaksudkan oleh belanda agar dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk mengusir para pedagang Inggris atau yang dikenal dengan nama County Traider.
Keberadaan para Country Trader di perairan Nusantara ternyata menyadarkan pemerintah Hindia Belanda akan ancaman pemerintahan Kolonial Inggris, wilayah-wilayah yang bebas dari pengawasan pemerintah Hindia Belanda tidak sedikit yang menjalin hubungan dengan para pedagang Inggris dari Singapura, mereka menukarkan hasil bumi negeri mereka dengan berbagai jenis senjata api dan meriam, terutama meriam putar milik Inggris, para pedagang Inggris dengan senang hati memasarkan barang produksi persenjataan mereka serta megajarkan pada kerajaan-kerajaan pribumi yang menjalin hubungan dengan mereka cara menggunakan dan merawat senjata api itu. kepemilikan senjata-senjata api oleh kerajaan-kerajaan yang berdaulat semakin menegaskan kekuasaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan tersebut, dilain pihak kemajuan teknologi persenjataan kerajaan-kerajaan tersebut akan semakin mengancam kedudukan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di kawasan Nusantara.
Belanda dibuat gelisah setelah James Brook, seorang petualang Inggris yang mengunjungi Kesultanan Brunei 1840 dan memberikan ganti rugi untuk menguasai Bandar niaganya, sikap James Brook mendapat rekasi protes dari pemerintah Kolonial Belanda, namun Inggris beralasan bahwa negaranya belum berniat menjadikan Brunei sebagai koloninya, walaupun sejarah akhirnya membuktikan Inggris akhirnya berhasil menjadikan kawasan Kalimantan utara (Nort Borneo) sebagai wilayah koloninya. Inggris memang cukup lunak dengan Belanda berhungan dengan masalah Bengkulu, mereka setuju menukar Bengkulu dengan Malaka pada 1824 sesuai dengan ketentuan Traktat London 17 maret 1824, Namun dalam hal Kalimantan, khususnya Serawak dan tentunya juga Sabah, Inggris tidak memberi tanggapan yang tegas terhadap protes Belanda, Inggris berkilah bahwa kegiatan James Brook tidak ada hubungan dengan pemerintah Inggris. Tetapi sejarah pula mencatat, dari Serawak Inggris mampu melebarkan pengaruhnya bahkan mulai bergerak mendekati kawasan Teluk Sebuku, pintu gerbang di utara Kesultanan Bulungan. Labuan yang dijadikan sebagai pangkalan Angkatan Lautnya pada tahun 1846 diperoleh berdasarkan perjanjian Sultan Brunei dengan James Brook, kecemasan pemerintah kolonial Belanda makin besar.
Sukses yang didapatkan oleh James Brook ternyata juga mengilhami para Country Trader lainnya, J. Erskine Murray salah satunya, ia mencoba mengadu untung mengikuti jejek James Brook, ia bermaksud membangun pengaruhnya di Kalimantan Timur, itulah sebabnya pada bulan February 1844, J. E. Murray membawa armada dagangnya yang dilengkapi dengan meriam-meriam besar, armada tersebut adalah kapal skunar bertiang tiga, The Young Queen dan The Anna, setibanya di Kutai J. E. Murray justru bukan hanya ingin berdagang, ia bahkan meminta pada Sultan Salehuddin untuk memberikan sebidang tanah untuk mendirikan Faktorij dengan alasan untuk melindungi para pedagang Inggris, dan mengancam akan menembaki Tenggarong jika permintaan itu tidak dipenuhi, Sultan tidak menerima sikap permusuhan tersebut, maka pecahlah perang antara Kesultanan Kutai dengan petualang inggris tersebut, J. E. Murray terbunuh dan armadanya diusir oleh Armada militer Kutai dibawah komando Sinopati Awang Long, perang ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Perang Tambak Maris.
Tidak hanya disitu, saat terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini, kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah ‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak James Brook namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan rencananya. keberadaan para pedagang Inggris tersebut di perairan kalimantan merupakan bukti bahwa perjanjian itu hanya terjadi di atas kertas saja.
Bagi belanda, menghentikan laju kekuatan inggris di utara di mulai dari Bulungan, Belanda berupaya mendapatkan hak atas wilayah kesultanan Bulungan, selanjutnya dijadikan kawasan penyangga untuk memblokade pengaruh Inggris khususnya dari wilayah Sabah. Siasat ini sejalan dengan politik pembulatan wilayah (Afronding Politiek) untuk mewujudkan apa yang mereka sebut dengan nama Pax Nederlandica (wilayah aman dan tertib dibawah naungan Belanda). Namun sikap tidak bersahabat yang ditunjukan oleh Sultan Datu Alam muhammad Adil, bagi Belanda akan menjadi duri yang besar bagi terciptanya keinginan tersebut, menariknya pihak kolonial Belanda ternyata enggan menggunakan kekuatan militer terhadap Sultan Bulungan ini.
Sikap Sultan Datu Alam Muhammad adil yang keras tersebut, akhirnya membuat beliau terhempas, pada sebuah jamuan yang dilakukan oleh Sultan dan di hadiri oleh pihak kolonial Belanda di Istananya, Darul Aman, Sultan tiba-tiba mendadak sakit dan akhirnya meninggal dunia, beliau diduga di racun saat perjamuan tersebut, Belanda dituding berada dibalik rencana konspirasi tersebut mengingat sikap permusuhan yang tujukan oleh Sultan terhadap pemerintah Kolonial Belanda selama ini. Pada tahun 1875 M / 1292 H, Sultan yang dicintai rakyatnya itupun akhirnya meninggal dunia.
Minggu, 29 Agustus 2010
Sultan Alimuddin (1777-1817).
Dalam sejarah Kesultanan Bulungan, Sultan Alimuddin putra dari Amiril Mukminin, Sultan kedua dari Kesultanan Bulungan ini bernama asli Aji Ali. Ia merupakan Sultan yang memiliki visi yang kuat dalam membangun Bulungan, ia tidak hanya dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang baik, namun juga diplomat yang ulung dan panglima militer yang disegani, ia nampaknya memang berbakat dibidang militer dan diplomasi.
Kehilangan orang-orang yang disayanginya, sahabat dan keluarga akibat serangan bajak laut yang melanda Kesultanan Bulungan dimasa ayahnya memerintah, nampaknya begitu membekas di hati Alimuddin muda, maka tidak heran ia tumbuh menjadi laki-laki yang dibesarkan dalam suasana yang menuntutnya menjadi pribadi yang harus memiliki kemampuan lebih dari laki-laki sebayanya.
Nama Sultan Alimuddin sendiri menurut pak Ubid Hadruni S.H memiliki dua versi, yang pertama nama Alimuddin berasal dari dua suku kata yaitu: Ali (diatas) dan Ad din (agama) jadi artinya kurang lebih “hamba yang memiliki kekuatan diatas agama”. Versi yang kedua nama alimuddin berasal dari dua suku kata juga yaitu: Alim (mengetahui) dan Ad din (agama) jadi kurang lebih artinya nama itu adalah “hamba yang mengetahui agama”.<1> Gelar ini disandang oleh sultan Alimuddin setelah ayahnya Sultan Amiril Mukminin mangkat.
Dalam pemerintahannya, Sultan Alimuddin memilki kebijakan yang menonjol khususnya pada bidang politik, dan militer yang pada akhirnya memberikan keuntungan dibidang ekonomi dan penyebaran agama Islam di Bulungan.
Dalam bidang militer dan pertahanan, Sultan kemudian membangun armada laut pertama dalam sejarah Bulungan, kekuatan laut ini menjadi salah satu tulang punggung yang sangat penting untuk melakukan pengawasan dan sekaligus melakukan serangan balik terhadap aktivitas perompakan bajak laut dikawasan Bulungan.
Dalam Riwayat Kesultanan Bulungan dari tahun 1563 M atau 919 H, diketahui Sultan mengirim armada maritimnya dibawah Laksamana yang juga putra keduanya Raja Muda Ni’ melakukan serangan balasan ke Tawau yang merupakan salah satu basis bajak laut sulu pada masa itu, Tawau berhasil di taklukan dan menjadi kawasan kesultanan Bulungan hingga kedatangan Inggris. Kebijakan militer Sultan pada awalnya di pusatkan untuk mengusir bajak laut, dalam bahasa setempat yaitu Lanun dari wilayah kesultanan sulu.
(Joangga, kapal khas bajak laut Sulu)
Dalam sejarah Kesultanan Sulu sendiri memang diakui ada beberapa suku yang berada dibawah kekuasaannya melakukan aktivitas sebagai bajak laut, atau lebih tepatnya aksi sabotase terhadap kapal-kapal dagang Spanyol yang berhasil menguasai pulau-pulau di utara Filipina seperti Luzon, Cebu, Visaya dan lain sebagainya. Namun tidak semua dari mereka adalah murni sebagai Bajak Laut, Caesar Majul bahkan mengingatkan bahwa kita harus dapat memisahkan antara perlawanan atau perjuangan murni orang-orang Sulu melawan Spanyol dengan perompak-perompak yang juga dilakukan oleh suku-suku yang juga ada dibawah kekuasaan Kesultanan Sulu, memang terkadang suku-suku itu sebenarnya tidak sepenuhnya tunduk dengan pengaruh Sultan, kecuali jika para datu-datu atau pemimpin mereka menghormati wibawa Sultan Sulu. Suku-suku yang dimaksud antara lain adalah Suku Balangingi. Orang Balangingi yang juga kadang disebut Bajau Balangingi ini bekerjasama dengan suku Iranun atau Ilanun dalam menjalankan aktivitas melanun (bajak laut) di perairan Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Kebanyakan yang mereka serang adalah pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah kekuasaan Spanyol dan orang-orang Borneo termasuklah wilayah kesultanan Bulungan.
Orang-orang Spanyol menamakan mereka dengan sebutan Pirata namun ada juga yang menganggap mereka Corsario, ada juga yang menamakan mereka Gora’e yang artinya memang kurang lebih adalah bajak laut. Kemahiran orang Balangingi merompak bersama Iranun tidak ada bandingnya sehingga perompak-perompak suku Tausug (orang asli kesultanan Sulu, disebut juga orang sulu atau solok), orang sulu sendiri kalah oleh popularitas Balangingi dan Iranun ini. Dari kata Iranun atau Ilanun inilah muncul kata yang populer yang sangat dikenal masyarakat pesisir, yaitu Lanun yang bersinonim dengan kata bajak laut.
(Salah satu armada bajak laut Sulu yang siap melanun)
Armada bajak laut, khususnya Lanun dan Balangingi memiliki kekuatan maritim yang tidak bisa dipandang sebelah mata, hal itu tidak lain karena mereka telah mahir menggunakan senjata api seperti lentaka, lila dan meriam dalam armada laut mereka.
Selain itu mereka juga memiliki kapal perang khas Sulu yang bernama Joangga. Joangga sendiri merupakan kapal perang besar yang didayung banyak orang dan memiliki meriam didepan haluannya, semacam Ghalias, (kapal besar berlayar tiga milik spayol yang dikelilingi meriam pada sisi kanan dan kirinya).
Menurut study yang dilakukan oleh Warren, ekspedisi laut yang dilakukan oleh Lanun maupun Balangingi yang meliputi hampir sebagian besar perairan Asia Tenggara mempunyai tujuan tertentu pula, yaitu sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang pada masa itu masih dilakukan oleh budak. Kalau bagi masyarakat darat sumber tenaga budak adalah tenaga pedalaman yang didiami oleh suku bangsa lain, maka bagi masyarakat bahari seperti orang Lanun, Maguindano dan Balangingi tempat mencari budak adalah laut dan daerah seberang lautan.<2>
(Ilustrasi serangan armada Sultan Alimuddin terhadap bajak laut Sulu di perairan Tawau)
Karena itu dapat dipahami mengapa Sultan Alimuddin mengkonsentrasikan armada maritimnya ke utara, ini tentunya dimaksud untuk mendesak keluar bajak laut yang berdiam diwilayah Tawao atau sekitar Teluk sebuku yang sudah menyusahkan, karena mereka juga melakukan aktivitas perompakan disekitar laut Sulawesi yang akhirnya berimbas pada keamanan Kesultanan Bulungan. Kawasan Teluk Sebuku nampaknya tidak terlalu asing bagi para pelaut, orang-orang barat bahkan menamakan Teluk Sebuku dengan nama Santa Lucia.
Sukses menggulung armada bajak laut di Tawau. Sultan Alimuddin berhasil meluaskan wilayahnya hingga batas sungai Semaya dan Seludung yang termasuk berbatasan kalimantan utara (Sabah). Tahun-tahun berikutnya kawasan Tanah Tidung -sebuah daerah luas yang terletak di perbatasan kesebelah laut sungai kayan- akhirnya ditempatkan dibawah perlindungan Kesultanan Bulungan, bahkan hingga masuk ke wilayah sungai sebuku.<3>
Sultan Alimuddin juga membangun hubungan diplomatik dengan Kesultanan Sambaliung maupun kaum Tidung serta suku-suku Dayak baik di hilir maupun hulu sungai Kayan. Kebijakan pertama sultan Alimuddin yang dapat terekam dalam catatan sejarah adalah pernikahan beliau dengan bangsawan sembaliung yaitu Pengian Intan dan Aji Aisyah dari Tanah Tidung (wilayah kesultanan Bulungan). Secara politik Pernikahan beliau dengan Pengian intan ini dapat dipandang juga sebagai upaya mengangkat status Bulungan menjadi sebanding dengan kesultanan yang mulai muncul bersamaan dengan kehadiran Kesultanan Bulungan seperti Sembaliung dan Gunung Tabur yang merupakan pecahan dari kerajaan Berau lama (Kuran) yang sudah ada dikawasan tersebut. Itu artinya sebagai sebuah “kesultanan baru”, Kesultanan Bulungan diakui keberadaannya dan secara politik, Kesultanan Bulungan dipandang sebagai kesultanan yang merdeka, sama halnya dengan pernikahan dengan diatas, pernikahan beliau dengan Aji Aisyah juga nampaknya dipandang sebagai bentuk kebijakan “melunakan hati” orang-orang pesisir (Tidung) di wilayah kesultanan Bulungan tersebut, perikatan antar bangsawan inilah yang kemudian mengikat persaudaraan antara orang-orang Bulungan dan Tidung yang dikemudian hari semakin tersebarnya Islam dikawasan pesisir Bulungan.
Dari Salimbatu, Sultan Alimuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Palas, disana ia membangun pusat pemerintahan yang kuat dan membina mesjid Kesultanan Bulungan untuk kepentingan Syiar Islam dan Ibadah.
Setelah meninggalkan wilayah Bulungan yang begitu luas dan mempermudah penyebaran agama Islam terutama dikawasan pesisir, Sultan Alimuddin kemudian menutup mata pada tahun 1817 setelah 40 tahun berkuasa.
Sumber:
(1). Wawancara dengan bapak Ubid Hadruni S.H 15 Oktober 2008.
(2). Adrian B. Lapian, “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009). hlm. 162
(3). Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.” t.th. hlm 7
Kehilangan orang-orang yang disayanginya, sahabat dan keluarga akibat serangan bajak laut yang melanda Kesultanan Bulungan dimasa ayahnya memerintah, nampaknya begitu membekas di hati Alimuddin muda, maka tidak heran ia tumbuh menjadi laki-laki yang dibesarkan dalam suasana yang menuntutnya menjadi pribadi yang harus memiliki kemampuan lebih dari laki-laki sebayanya.
Nama Sultan Alimuddin sendiri menurut pak Ubid Hadruni S.H memiliki dua versi, yang pertama nama Alimuddin berasal dari dua suku kata yaitu: Ali (diatas) dan Ad din (agama) jadi artinya kurang lebih “hamba yang memiliki kekuatan diatas agama”. Versi yang kedua nama alimuddin berasal dari dua suku kata juga yaitu: Alim (mengetahui) dan Ad din (agama) jadi kurang lebih artinya nama itu adalah “hamba yang mengetahui agama”.<1> Gelar ini disandang oleh sultan Alimuddin setelah ayahnya Sultan Amiril Mukminin mangkat.
Dalam pemerintahannya, Sultan Alimuddin memilki kebijakan yang menonjol khususnya pada bidang politik, dan militer yang pada akhirnya memberikan keuntungan dibidang ekonomi dan penyebaran agama Islam di Bulungan.
Dalam bidang militer dan pertahanan, Sultan kemudian membangun armada laut pertama dalam sejarah Bulungan, kekuatan laut ini menjadi salah satu tulang punggung yang sangat penting untuk melakukan pengawasan dan sekaligus melakukan serangan balik terhadap aktivitas perompakan bajak laut dikawasan Bulungan.
Dalam Riwayat Kesultanan Bulungan dari tahun 1563 M atau 919 H, diketahui Sultan mengirim armada maritimnya dibawah Laksamana yang juga putra keduanya Raja Muda Ni’ melakukan serangan balasan ke Tawau yang merupakan salah satu basis bajak laut sulu pada masa itu, Tawau berhasil di taklukan dan menjadi kawasan kesultanan Bulungan hingga kedatangan Inggris. Kebijakan militer Sultan pada awalnya di pusatkan untuk mengusir bajak laut, dalam bahasa setempat yaitu Lanun dari wilayah kesultanan sulu.
(Joangga, kapal khas bajak laut Sulu)
Dalam sejarah Kesultanan Sulu sendiri memang diakui ada beberapa suku yang berada dibawah kekuasaannya melakukan aktivitas sebagai bajak laut, atau lebih tepatnya aksi sabotase terhadap kapal-kapal dagang Spanyol yang berhasil menguasai pulau-pulau di utara Filipina seperti Luzon, Cebu, Visaya dan lain sebagainya. Namun tidak semua dari mereka adalah murni sebagai Bajak Laut, Caesar Majul bahkan mengingatkan bahwa kita harus dapat memisahkan antara perlawanan atau perjuangan murni orang-orang Sulu melawan Spanyol dengan perompak-perompak yang juga dilakukan oleh suku-suku yang juga ada dibawah kekuasaan Kesultanan Sulu, memang terkadang suku-suku itu sebenarnya tidak sepenuhnya tunduk dengan pengaruh Sultan, kecuali jika para datu-datu atau pemimpin mereka menghormati wibawa Sultan Sulu. Suku-suku yang dimaksud antara lain adalah Suku Balangingi. Orang Balangingi yang juga kadang disebut Bajau Balangingi ini bekerjasama dengan suku Iranun atau Ilanun dalam menjalankan aktivitas melanun (bajak laut) di perairan Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Kebanyakan yang mereka serang adalah pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah kekuasaan Spanyol dan orang-orang Borneo termasuklah wilayah kesultanan Bulungan.
Orang-orang Spanyol menamakan mereka dengan sebutan Pirata namun ada juga yang menganggap mereka Corsario, ada juga yang menamakan mereka Gora’e yang artinya memang kurang lebih adalah bajak laut. Kemahiran orang Balangingi merompak bersama Iranun tidak ada bandingnya sehingga perompak-perompak suku Tausug (orang asli kesultanan Sulu, disebut juga orang sulu atau solok), orang sulu sendiri kalah oleh popularitas Balangingi dan Iranun ini. Dari kata Iranun atau Ilanun inilah muncul kata yang populer yang sangat dikenal masyarakat pesisir, yaitu Lanun yang bersinonim dengan kata bajak laut.
(Salah satu armada bajak laut Sulu yang siap melanun)
Armada bajak laut, khususnya Lanun dan Balangingi memiliki kekuatan maritim yang tidak bisa dipandang sebelah mata, hal itu tidak lain karena mereka telah mahir menggunakan senjata api seperti lentaka, lila dan meriam dalam armada laut mereka.
Selain itu mereka juga memiliki kapal perang khas Sulu yang bernama Joangga. Joangga sendiri merupakan kapal perang besar yang didayung banyak orang dan memiliki meriam didepan haluannya, semacam Ghalias, (kapal besar berlayar tiga milik spayol yang dikelilingi meriam pada sisi kanan dan kirinya).
Menurut study yang dilakukan oleh Warren, ekspedisi laut yang dilakukan oleh Lanun maupun Balangingi yang meliputi hampir sebagian besar perairan Asia Tenggara mempunyai tujuan tertentu pula, yaitu sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang pada masa itu masih dilakukan oleh budak. Kalau bagi masyarakat darat sumber tenaga budak adalah tenaga pedalaman yang didiami oleh suku bangsa lain, maka bagi masyarakat bahari seperti orang Lanun, Maguindano dan Balangingi tempat mencari budak adalah laut dan daerah seberang lautan.<2>
(Ilustrasi serangan armada Sultan Alimuddin terhadap bajak laut Sulu di perairan Tawau)
Karena itu dapat dipahami mengapa Sultan Alimuddin mengkonsentrasikan armada maritimnya ke utara, ini tentunya dimaksud untuk mendesak keluar bajak laut yang berdiam diwilayah Tawao atau sekitar Teluk sebuku yang sudah menyusahkan, karena mereka juga melakukan aktivitas perompakan disekitar laut Sulawesi yang akhirnya berimbas pada keamanan Kesultanan Bulungan. Kawasan Teluk Sebuku nampaknya tidak terlalu asing bagi para pelaut, orang-orang barat bahkan menamakan Teluk Sebuku dengan nama Santa Lucia.
Sukses menggulung armada bajak laut di Tawau. Sultan Alimuddin berhasil meluaskan wilayahnya hingga batas sungai Semaya dan Seludung yang termasuk berbatasan kalimantan utara (Sabah). Tahun-tahun berikutnya kawasan Tanah Tidung -sebuah daerah luas yang terletak di perbatasan kesebelah laut sungai kayan- akhirnya ditempatkan dibawah perlindungan Kesultanan Bulungan, bahkan hingga masuk ke wilayah sungai sebuku.<3>
Sultan Alimuddin juga membangun hubungan diplomatik dengan Kesultanan Sambaliung maupun kaum Tidung serta suku-suku Dayak baik di hilir maupun hulu sungai Kayan. Kebijakan pertama sultan Alimuddin yang dapat terekam dalam catatan sejarah adalah pernikahan beliau dengan bangsawan sembaliung yaitu Pengian Intan dan Aji Aisyah dari Tanah Tidung (wilayah kesultanan Bulungan). Secara politik Pernikahan beliau dengan Pengian intan ini dapat dipandang juga sebagai upaya mengangkat status Bulungan menjadi sebanding dengan kesultanan yang mulai muncul bersamaan dengan kehadiran Kesultanan Bulungan seperti Sembaliung dan Gunung Tabur yang merupakan pecahan dari kerajaan Berau lama (Kuran) yang sudah ada dikawasan tersebut. Itu artinya sebagai sebuah “kesultanan baru”, Kesultanan Bulungan diakui keberadaannya dan secara politik, Kesultanan Bulungan dipandang sebagai kesultanan yang merdeka, sama halnya dengan pernikahan dengan diatas, pernikahan beliau dengan Aji Aisyah juga nampaknya dipandang sebagai bentuk kebijakan “melunakan hati” orang-orang pesisir (Tidung) di wilayah kesultanan Bulungan tersebut, perikatan antar bangsawan inilah yang kemudian mengikat persaudaraan antara orang-orang Bulungan dan Tidung yang dikemudian hari semakin tersebarnya Islam dikawasan pesisir Bulungan.
Dari Salimbatu, Sultan Alimuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Palas, disana ia membangun pusat pemerintahan yang kuat dan membina mesjid Kesultanan Bulungan untuk kepentingan Syiar Islam dan Ibadah.
Setelah meninggalkan wilayah Bulungan yang begitu luas dan mempermudah penyebaran agama Islam terutama dikawasan pesisir, Sultan Alimuddin kemudian menutup mata pada tahun 1817 setelah 40 tahun berkuasa.
Sumber:
(1). Wawancara dengan bapak Ubid Hadruni S.H 15 Oktober 2008.
(2). Adrian B. Lapian, “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009). hlm. 162
(3). Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.” t.th. hlm 7
Selasa, 24 Agustus 2010
Koleksi Museum Kesultanan Bulungan: The General Pistol
Bebicara mengenai museum Kesultanan Bulungan, nampaknya gak pas jika kita gak berbicara mengenai koleksi di dalamnya, salah satu yang paling saya sukai adalah koleksi berupa pistol bahari atau bedil, jumlahnya sejauh ini ada tiga buah. Koleksi ini merupakan salah satu peninggalan zaman kolonial di bulungan
Orang-orang umumnya menyebutnya pistol, namun didunia barat dia lebih dikenal dengan nama General Pistol, jenis ini amat terkenal di era Bajak laut (The Golden Age of Pirate), atau era VOC alias kompeni dulu. Ukurannya lebih kecil dari Musket atau Flintlock pistol.
Karena itu pistol jenis ini kebanyakan hanya di gunakan oleh komandan pasukan atau pemimpin kapal. General Pistol atau pistol jendral memiliki daya tembak sedang, sama dengan “saudaranya” Flintlock pistol, sedangkan "sepupunya" Musket rata-rata memiliki daya tembak jauh.
Keberadaan senjata seperti ini di asia, bahkan oleh kerajaan-kerajaan melayu sudah cukup lama dikenal, khususnya di zaman kesultanan Malaka dulu. Beberapa diantaranya dikenal dengan istilah Pamoras, Tertakol dan Istinggar alias Musket.
Selasa, 10 Agustus 2010
Riwayat Singkat Perdjuangan Keradjaan Bulungan Dalam Menjokong 100 % Tetap Berdiri Dibelakang Pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam Tahun 1945 bertepatan dengan jatuhnja Negara Kekaisaran Djepang kedalam tangan Tentara Sekutu. Maka di Djakarta segera diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia keseluruh pendjuru dunia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi di daerah lain terutama dalam wilajah Kalimantan Timur, masih bertjokol Tentara Djepang jang masih melakukan perlawanan terhadap sekutu. Pertengahan tahun 1945 oleh pembesar sipil dan Militer Djepang jang mengungsi dari Tarakan ke Bulungan Tandjung Selor, segera mengadakan pesta perpisahan. Selain pembesar2 Djepang jang memang berkedudukan di Tandjung Selor beserta pegawai2nja bangsa Indonesia diundang, dimintai pula oleh Djepang atas kehadiran Bapak Sultan M. M. Djalaluddin beserta para menteri2nja. Oleh karena Bapak Sultan berhalangan ketika itu, maka beliau berwakil kepada Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Bapak Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja.
Pesta berlangsung dengan diakhiri berdirinja seorang pembesar Djepang dengan pidato perpisahan jang sangat mengharukan. Diantara pidatonja pembesar Djepang tersebut menjatakan bahwa mereka keseluruhannja sebentar lagi akan meneruskan pengungsiannja ke hulu Bulungan, langsung turun ke kota Samarinda.
Isi pidato pembesar Djepang tersebut telah mentjapai kalimat yang lebih mengharukan, ketika Bapak Datu Bendahara Paduka Radja diminta berdiri berhadapan dengan pembesar Djepang itu, oleh pembesar Djepang tersebut dengan sikap tegap, hormat dan khidmat sekali segera menjerahkan sebuah bendera sebesar vandal jakni Sang Saka Merah Putih jang disambut kedua belah tangan oleh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, sambil menjerahkan bendera tersebut pembesar Djepang menjatakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. Dan segala tanggung djawab pemerintahan baik sipil maupun militer dalam wilajah Bulungan pada saat itu diserahkan kepada pemerintah Keradjaan Bulungan untuk meneruskan perdjuangan kemerdekaan serta kemakmuran rakjatnja.
Oleh karena emosi dan rasa haru bertjampur dengan gembira, dengan tidak terasa Bapak Datu Bendahara Paduka Radja menitikan air mata jang tak dapat ditahan2. Meskipun kedjadian ini mendjelaskan babak terakhir dari sandiwara pemerintahan Djepang di Indonesia, tetapi bagi Bapak Datu Bendahara jang sedang berdiri memegang bendera Sang Saka ini, dalam moment itu terkenang kembali, bahwa lebih 70 djuta Rakjat Indonesia jang bernaung dibawah Sang Saka Merah Putih tersebut. Betapa terharunja beliau ketika itu hanja Allah s.w.t jang maha mengetahui.
Setelah pesta berakhir, Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera langsung menemui Bapak Sultan melaporkan kedjadian tersebut. Dengan berdua, beliau memecahkan persoalan ini, sehingga menelorkan satu keputusan tegas jakni “HARUS MERDEKA”.
Mulai pada saat itu disusunlah cara2 dan politik jang tegas untuk menghadapi sesuatu yang bakal terdjadi, apabila tiba waktunja berhadapan dengan sekutu bersama Belandanja jang terang akan kembali dengan seribu satu matjam muslihatnja.
Dalam tahun 1946 Belanda dengan namanja jang terkenal jaitu NICA mentjengkram kukunja dalam wilayah Kalimantan Timur dengan dilindungi angkatannja jang kuat. Meskipun demikian hasrat Merdeka dan ingin bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Djogdjakarta tetap menjala-njala, sehingga setiap Confrensi jang diadakan NICA dimana-mana, Keradjaan Bulungan tetap berpegang teguh pada dalilnja jang pertama jaitu “HARUS MERDEKA DAN TETAP MENJOKONG 100 % BERDIRI DIBELAKANG PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA DI DJOGDJAKARTA”.
Dalam saat2 berikutnja, oleh Bapak Sultan atas kesekian kalinja beliau mengirimi utusan terdiri dari Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang adviseur jaitu Dr. Senduk ke Confrensi DENPASAR dan seterusnja akan menerobos blokade Belanda langsung ke Djogdjakarta untuk segera menjerahkan Mandat Keradjaan Bulungan, jang di sokong pula oleh dua Keradjaan dari Berau.
Setelah Confrensi berakhir, dengan tiba2 Bapak Datu Bendahara Paduka Radja jatuh sakit, pada ketika itu djuga Bapak Datu Bendahara Menjerahkan kuasa kepada Dr, Senduk untuk membawa Mandat tersebut ke Djogdjakarta. Setelah agak sembuh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera kembali ke Bulungan untuk berobat lebih landjut dan banjak memerlukan banjak istirahat.
Dalam tempo jang singkat Dr. Senduk kembali membawa hasil jang gemilang, dan melaporkan hasil perjalanannja kepada Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara jang mana Mandat telah diterima oleh Perdana Menteri R.I. jang waktu itu didjabat oleh Alm. Sutan Sjahrir.
Mendengar ini NICA berusaha mentjari siasat baru dan segera menemui Bapak Sultan dengan melarang hadirnja Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dalam pertemuan itu (pihak NICA sangat membentji tokoh ini) Dalam pertemuan tersebut pihak NICA Menjampaikan pesan selamat dari Koningin (Ratu) Wihelmina serta mendjelaskan bahwa dalam tempo singkat akan melantik Bapak Sultan sebagai Let. Kol. Alasuit.
Setelah NICA berlalu, Bapak Sultan segera memanggil Bapak Datu Bendahara Paduka Radja serta adviseur Dr. Senduk merundingkan siasat2 NICA tersebut.
Dengan adanja ini Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memberi saran agar apa2 jang disodorkan oleh pihak NICA, kita terima asal politik pendjadjahnja kita tentang dengan politik bebas merdeka, berikut apa2 jang hendak didjual oleh NICA, kita bersedia membelinja dengan tidak menggojahkan semangat perdjuangan semula.
Demikianlah bapak Sultan M. M. Djalaluddin menerima pangkat Let. Kol. Alasuit dengan upatjara Militer Laut dan Darat.
Tetapi dalam awal tahun 1949 politik perdjuangan kemerdekaan dalam setiap tokoh2 Bulungan telah sampai pada puntjaknja. Perundingan diadakan terus menerus kemudian bapak Sultan bersama Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memutuskan bahwa sudah tiba saatnja Sang Saka Merah Putih harus dikibarkan dalam wilajah Kerajaan Bulungan.
Pada tanggal 16 ke 17 Agustus jam 21 malam hari Bapak Sultan berdua dengan Bapak Datuk Bendahara Paduka Radja turun menuju halaman Istana Alm. Achmad Sulaiman jang bertingkat dua, untuk memeriksa sekali lagi tiang bendera dan tali temalinja yang telah disediakan sebelumnja. Oleh beliau diperintahkan agar berdjaga-djaga terus tiang bendera sampai besok paginja, agar djangan sampai di saboti oleh NICA.
Pada keesokan harinja tanggal 17 Agustus 1949 segenap rakjat beserta anak-anak sekolah berikut para undangan termasuk NICA komplit dengan Militer KNIL-nja yang memang sengadja diundang untuk turut menghormati upatjara kenaikan Sang Saka Dwi Warna, Bapak Sultan memberi perintah upatjara segera dimulai. Tidak ada kata2 jang dapat melukiskan perasaan para tokoh2 serta rakjat Bulungan ketika menjaksikan Bendera Sang Saka Merah Putih dengan perlahan-lahan naik ke puntjak dan segera berkibar dengan megahnja diangkasa bebas, memeberi pertanda bahwa pendjadjah telah terhapus bersih dari bumi persada Indonesia. Demikianlah Sang Saka Merah Putih terus menerus berkibar selama beberapa hari sehingga pihak NICA perlu mendatangi Istana Tanjung Palas menemui Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, meminta agar bendera tersebut segera diturunkan.
Tetapi kedua tokoh tersebut tetap bertahan, malah memberi perintah jang lebih serius lagi jakni bendera harus berkibar siang malam dengan bersemboyan sekali berkibar tetap berkibar.
“Pilihan NICA hendak mengambil tindakan apa, terserah, kami tetap bersedia menghadapi setiap kemungkinan, bertanggung djawab dan konsekuen atas pendirian kami, kalau Pemerintah Republik Indonesia sekarang ini menghadapi perdjuangan berdarah, maka Bulungan bersedia menghadapi perdjuangan berdarah itu bersama-sama”.
Itulah djawaban perhabisan dari kedua tokoh tersebut jang diakhiri kembalinja pihak NICA membawa ketjewa.
Demikianlah riwajat singkat perdjuangan para tokoh2 Bulungan menghadapi politik pendjadjahan Beladna sehingga terlaksananja penaikan bendera mulai tanggal 17 Agustus 1949 terus menerus sampai penjerahan kedaulatan R. I.
Kemudian harinja dapat diketahui bahwa pada waktu itu belum ada satu wilajah diseluruh Indonesia jang mengibarkan bendera dengan resmi, selain Pusat Pemerintahan Republik Indonesia di Djokdjakarta dan wilajah Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur.
Catatan:
-Pembesar Jepang yang dimaksud bernama Kumatsu.
-Letnan Kolonel Alasuit atau ala Suite (Kraton) yang dikenal juga dengan nama Letnan Kolonel Tituler, merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa oleh Pemerintah Belanda kala itu, walaupun bersifat militer, kebanyakan penerimananya justru bukan dari golongan militer. Jabatan ini diberikan kebanyakan kepada kaum bangsawan yang berada dibawah komando KNIL yang berkedudukan di daerah Swapraja (Vorstenlanden). Dalam catatan Petrik Matanasi, penganugrahan Alasuite atau Tituler kebanyakan diberikan pada bangsawan dari Kraton di Jawa khususnya Kasunanan Surakarta dan Pakualaman Jokjakarta.
Sumber:
Tulisan Datuk Abd. Samad gelar Datuk Bestari bin Alm. Datuk Muhammad gelar Datuk Bendahara Paduka Radja Menteri ke I (De Eerste Landsgroote van Bulungan) dari Kerajaan Bulungan dan Tidung. Dalam “Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”, oleh H.E. Mohd. Hassan, ddk. Tanjung Selor 26 November 1981.
Petrik Matanasi (2007), KNIL; Bom Waktu Tinggalan Belanda, Jakarta, PT. Buku Kita.
Foto
Tropenmuseum wikipedia
KITLV
Museum Kesultanan Bulungan.
Senin, 02 Agustus 2010
Bemance’, seni beladiri tradisional dari Bulungan.
Orang Bulungan memiliki khazanah budaya yang sangat kaya, diantaranya adalah seni budaya masyarakat yang disebut “Bemance” atau Bemancek, semacam seni bela diri atau olah raga asal Bulungan. Bemance’ sendiri justru penulis kenal dari buku yang berjudul “Permainan Tradisional Anak-Anak Kalimantan Timur”, koleksi Perpustakaan Daerah kal-sel saat penulis masih bersetatus mahasiswa di kota Banjarmasin. Sayangnya, karena suatu hal penulis tidak sempat membuat salinannya. Saya akan menulis apa saja yang saya ingat dari buku tersebut.
Bemance’ atau Mance’ dalam kamus yang ditulis oleh Datu Buyung Perkasa, bermakna “Tari Silat”, Bemance sendiri dikategorikan sebagai seni bela diri dan olah raga khas Bulungan. Dimasa lalu Bemance’ sangat digemari oleh anak-anak muda, khususnya lelaki suku Bulungan.
Seni beladiri ini diperkirakan telah lama berkembang di Bulungan, puncaknya pada abad ke-19. Dimasa Ali Kahar yang bergelar Sultan Kaharuddin II (1875-1889), Bemance’ mulai dikenal luas sebagai salah satu kegiatan resmi saat pelaksaan pesta rakyat atau Birau. Konon dimasa tersebut permainan inilah yang paling disenangi oleh Sultan Bulungan.
Dari mana Bemance’ berasal, penulis tidak tahu pasti, namun dalam buku tersebut, disebutkan konon seni bela diri ini pada awalnya dikenalkan oleh orang-orang Bugis yang masih kerabat Sultan kala itu, kemudian dikembangkan hingga pada taraf tertentu menjadi seni bela diri sekaligus oleh raga khas Bulungan.
Selain Bemence’ atau Bemencak, di bulungan, pada masa lalu juga sudah dikenal beberapa jenis bela diri tradisional lainnya seperti silat Kuntau dan silat Bangkui yang masing-masing dibawa oleh orang Sumatra dan Banjar ke bulungan.
Umumnya permainan ini dilakukan oleh laki-laki, dalam pertandingan Bemance’ tersebut, ada aturan dimana dua orang yang melakukan duel harus memakai pakaian khas Bulungan, tak lupa dengan Selempai (Selempang) berwarna kuning lengkap dengan ikat kepalanya. Keduanya dibekali dengan rotan bulat atau bambu bulat yang panjangnya kurang lebih 75 cm sampai 1 m atau setinggi dari kaki hingga pinggang laki-laki dewasa Bulungan. Permainan sendiri dilakukan dalam sebuah lingkaran, diringi suara gong yang bertalu-talu, dalam permainan tersebut diperlihatkan kemampuan menyerang, bertahan dan menghindar dari masing-masing pemain. Tidak ada aturan baku, jika salah seorang pemain menyerah, maka pemainnya akan digantikan oleh pemain lainnya.
Bemance’ barulah selesai setelah Sultan Bulungan bangkit dari kursi dan meninggalkan arena permainan. Saat ini Bemance’ sudah sangat jarang terlihat, bahkan khususnya pada even resmi seperti Birau, tentunya hal itu sungguh disayangkan.
Sebagai tulisan rintisan tentang Bemance’, penulis berharap para pembaca, khususnya para budayawan dan sejarawan Bulungan serta praktisi dalam seni bela diri Bemance’ dapat berbagi informasi pada penulis agar tulisan ini dapat penulis disempurnakan.
Sumber:
Buku Permainan Tradisional Anak-Anak Kalimantan Timur.
Perkasa, Dt. Buyung, 2005. “Selayang Pandang Mengenal Kamus Bahasa Bulungan”. (AL IKHWAL BULUNGAN, Bulungan.
Foto:
Tropen Museum Wikipedia.
http://pariwaramediakreatif.wordpress.com/2010/03/01/pencak-silat/
http://www.pencaksilat.co.uk/
Jumat, 16 Juli 2010
BOMBARDIR TARAKAN!
Berbicara mengenai perang pasifik dan ketangan Jepang di Indonesia, nampaknya tak lengkap bila kita tidak membicarakan kisah kota Tarakan. ya kota yang terletak di wilayah Kesultanan Bulungan ini memang terdapat banyak sekali peninggalan-peninggalan penting situs perang fasifik, ini tidak lain karena di tarakan terdapat kandungan minyak yang dahulu sempat mendapatkan peringkat “World Purest Oil “.
Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, kota jasa dan perdagangan di utara Kalimantan timur ini pernah beberapa kali hancur dan kemudian dibangun kembali.
Kehancuran pertama kota Tarakan, dimulai pada saat serangan mendadak 20.000 tentara Jepang terdiri dari kekuatan gabungan dari Nihon Rikugun (AL) dan Teikoku Kaigun (AD) bergerak dari pulau Davou, Filipina dengan kekuatan dua kapal penjelajah berat (heavi Criuser), delapan kapal perusak (destroyer) di tambah iringan kapal pengangkut pasukan mendekati Tarakan, ditambah dengan satuan tempur angkatan udara dengan pesawatnya yang legendaris bernama Zero.
Pasukan besar ini siap “melumat” kota Tarakan dibawah perintah Admiral Takeo Kurita yang memerintahkan satuan Khusus Angkatan Laut Jepang mengambil alih Pulau Tarakan, sesuai rencana gurita tengah (Central Octopus). Unit tempur ini bergerak dari dua arah di utara melalui Kepulauan Filipina dan satuan dari Kepulauan Palau di utara Papua di bawah komando Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi.
Tak sudi tarakan jatuh begitu saja ketangan Jepang, Letkol. S. de Wall, komandan tertinggi pertahanan kota Tarakan langsung mengambil keputusan untuk melakukan menghancurkan semua fasilitas perminyakan beserta seluruh ladang-ladang minyak di pulau Tarakan, seluruh ladang minyak, tangki penyimpanan raksasa, jaringan pipa di Juata, Gunung Tjangkoel, berikut pompa dan dan gudang penyimpanan material di bakar Belanda. Suasana saat itu benar mengerikan, seolah-olah seluruh pulau Tarakan terbakar, dari laut pasukan pendarat Jepang melihat seluruh daratan Tarakan seperti neraka. Inilah kehancuran pertama kota Tarakan, semenjak tanggal 11 Januari 1942 kota ini berganti penguasa.
Namun Jepang rupanya tak lama menikmati hasil bumi di Tarakan, pada tahun 1944 Angkatan udara sekutu mulai melakukan pengeboman terhadap pangkalan-pangkalan Angkatan perang Jepang termasuk di Tarakan. Salah satu operasi pengeboman di Tarakan terjadi pada Tanggal 18 November 1944. Gelombang serbuan pesawat P-38 Light dan Bomber B-25 Mitchell berhasil membumihanguskan instalasi minyak Tarakan. Satuan pengebom ini terbang di kawal pesawat tempur P-47 Thunderbolt. Serangan pasukan sekutu itu hanya di balas dengan tembakan anti serangan udara. Dalam serbuan itu pihak Amerika kehilangan sedikitnya satu pesawat tempur yang di tembak jatuh oleh Jepang. Di daratan Tarakan, pengeboman sekutu membakar instalasi minyak selama 24 jam selama empat hari. Serangan besar-besaran yang melibatkan ratusan Bomber kelas berat yang dikawal pasukan tempur, di sebut dengan istilah "carpet bombing" atau pengeboman bumi hangus rata dengan tanah. Strategi ini merupakan gagasan dari PM Inggris Winston Churchill, "Round the clock bombing" atau pengeboman sepanjang hari yang ternyata berhasil melumpuhkan kekuatan industri militer Jerman dan Italia di perang Eropa.
Menurut penuturan sumber lokal Sakim bin Marzuki, mantan pasukan KNIL (Koninkluk Nederlandsch Indisch Leger), ia mengatakan pasukan sekutu mengerahkan pesawat tempur berjumlah kurang lebih 360 buah, tiap pesawat memiliki baling-balik empat buah, dan setiap kali menyerang pesawat-pesawat tersebut menjatuhkan masing-masing 10 buah bom. Sayangnya kita tidak tahu pasti jenis Bomber apa yang dimaksud oleh sumber lokal tersebut, sebab empat buah baling-baling bukanlah ciri dari B-25 Mitchell, bisa jadi Bomber yang dimaksud adalah B-17G Flaying Fotres atau B-24 Liberator, karena memang kedua Bomber inilah yang memiliki baling-baling empat buah, terlepas dari hal itu strategi carpet bombing sendiri yang diterapkan di Tarakan disebut-sebut terjadi tidak kurang selama enam bulan.
Tapi kalau boleh jujur, serangan besar-besaran di Tarakan pada waktu itu lebih banyak mengenai fasilitas sipil dari pada militer ini, di sebabkan kemampuan Jepang yang berhasil menyembunyikan senjata mereka yang hanya akan digunakan pada pada saat terakhir. Gua, terowongan, bunker, dan jaringan perkubuan dibangun dengan sangat rapi. Kombinasi material pabrik seperti seng dan baja yang dipadu dengan batang kelapa, batu karang dari perairan sekitar dan dedaunan berhasil menghasilkan samaran yang sempurna yang tahan terhadap gempuran bom maupun arteleri laut sekutu. Senjata-senjata berat yang selamat dari gempuran sekutu inilah yang di gunakan Jepang untuk menghambat gerak pasukan sekutu, walaupun begitu tidak ada yang menyangkal bahwa pengeboman itu telah membuat Jepang mundur ke pedalaman. Keadaan ini membuat pendaratan pasukan Australia berjalan lancar tanpa adanya korban jiwa, namun petempuran sesungguhnya terjadi saat pasukan Australia bertempur habis-habisan di dalam kota dan pedalaman tarakan, itu tak lain karena jepang memang jempolan menerapkan strategi bertahan, mereka mambuat kubu-kubu pertahanan yang kuat di dalam tanah dan perbukitan, sehingga sekutu terpaksa menggunakan Tank yang dilengkapai alat penyembur api. kemampuan tentara Jepang bertahan memang mengagumkan setidaknya sebelum mereka benar-benar hancur oleh serbuan tentara raksasa itu.
menurut catatan korban keseluruhannya di pihak Jepang atas operasi pengeboman di seluruh kalimantan, terutama di wilayah Tarakan, Pulau Labuan, Balikpapan dan teluk Brunei sangat besar, jumlahnya sekitar 5.700 orang prajurit, atau sekitar 10 kali lipat jumlah korban dari pihak pasukan Australia, jika di “zoom in” khusus di Tarakan menurut informasi tentara Australia yang tewas sebanyak 251 orang.
Disinilah kita bisa melihat pragmen pertempuran paling berdarah yang pernah terjadi dikawasan utara kalimantan ini dalam kurun waktu sejarah modern.
Sumber:
MDJ Mahazan, Akbarsyah. 2003. ”Kerajaan Tarakan Suatu Kenangan”, Tarakan: Pemerintah Kota Tarakan Jl. Kalimantan No. 1 Tarakan Kalimantan Timur.
Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta
Tropenmuseum Wikipedia.
Kamis, 15 Juli 2010
Hikayat Kapal Boelongan Nederland
Kalau kawan berkunjung ke Museum Kesultanan Bulungan, kawan akan menemui sebuah foto tua, sebuah foto kapal bernama m.s. "Boelongan"(1915),1053 Br.Reg. Ton. Penulis sendiri sempat mengira bahwa kapal itulah yang bernama “Warmound”, sebuah kapal legendaris milik Kesultanan Bulungan dimasa lampau. Tentang Warmound penulis sudah mengulasnya pada artikel sebelumnya.
Berbeda dengan “saudaranya” Warmound yang legendaris itu, hikayat kapal Boelongan Nederland justru tidak banyak diketahui, padahal dalam beberapa koleksi Tropen Museum, foto kapal Boelongan Nederland justru lebih banyak dari pada Warmound, hal ini tidak lain karena kapal tersebut memang digunakan oleh pejabat kolonial jika berkunjung ke istana Kesultanan Bulungan, Darul Aman. Bahkan dalam sebuah foto, terlihat kapal Boelongan Nederland tampak anggun dengan posisi berlatar belakangkan sungai kayan dengan dikelilingi perahu-perahu panjang yang nampak saat itu dilaksanakan lomba perahu atau dalam bahasa Bulungannya, “Rumba Biduk”. Jika nama Warmound digunakan oleh perancangnya H.S de Vries, diambil dari nama sebuah kota di Belanda, maka Boeloengan Nederland diambil dari nama Bulungan, sebuah Kesultanan di ujung utara pantai timur Kalimantan.
Hikayat “kedua bersaudara” ini memang berbeda nasibnya. Jika Warmound adalah kapal Pesiar, maka Kapal Boelongan Nederland justru dirancang sebagai kapal Kargo.
Kapal Boelongan Nederland dirancang oleh Gebroeders Pot N. V., Bolnes, dari perusahaan perkapalan Belanda; Koninklijke Paketvaart Mij. Kpm, Rotterdam. Kapal Boeloengan Nederland dirancang pada tahun 1915 dengan tujuan sebagai kapal transportasi. Kapal ini memiliki ukuran yang lumayan besar, beratnya saja 1053 ton, dengan dimensi atau ukuran 72,6 x 11,63 x 3,7 m. Nyawa dari kapal ini adalah tenaga pendorong dari mesin 6cyl Werkspoor diesel engine, kekuatan daya jelajahnya 750 b.h.p. dengan kecepatan 8.25 knots.
Kapal Boelongan Nederland sebelum masa kedatangan Jepang sering terlihat di Bulungan sebagai kapal transportasi pejabat kolonial waktu itu, namun masuk dekade 1940-an, kapal ini diketahui berada diluar Kalimantan.
Salah satu peristiwa penting yang dikait-kaitkan dengan kapal Boelongan Nederland adalah peristiwa tenggelamnya kapal yaitu KPM “VAN IMHOFF”, yang isinya adalah kebanyak para tawanan yang terdiri dari orang-orang Jerman. KPM “VAN IMHOFF” adalah kapal ketiga yang berangkat dari kota Sibolga, Sumatra. Pada tanggal 18 januari 1942, kapal dengan berat 3000 ton itu berlayar menuju india, kebanyakan para awaknya adalah orang Jerman yang ditahan oleh Belanda.
Penahanan mereka sendiri tidak lain karena 10 Mei 1940 prajurit Jerman menginvasi Belanda dan pada hari yang sama Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia membalasnya dengan menahan sebanyak 2.436 orang Jerman untuk ditahan. Kebanyakan dari mereka adalah anggota administrasi kolonial bersama dengan keluarga mereka, ahli budaya, insinyur, dokter, ahli ilmu pegetahuan, ahli minyak bumi. Dan juga diplomat, banyak misionaris, penjual, pelaut, beberapa seniman seperti penemu sekolah lukis Bali yang terkenal, Walter Spies, ada diantaranya. Kamp pengasingan terbesar berada di Sumatera Utara.
Kapal yang berangkat tersebut, kapten kapalnya bernama Bongvani, dengan jumlah tawanan 477 orang Jerman dikawal dengan ketat sebanyak 62 orang tentara bersenjata dan para kru kapal yang yang berjumlah 48 orang. Anehnya sebagai kapal tawanan, kapal ini tidak melengkapi dirinya dengan simbol palang merah, seolah-olah memang diumpan untuk dihancurkan tentara Jepang -tak lain adalah sekutu Jerman sendiri- yang tengah bergerak ke Asia Tenggara. Dan betul saja keesokan harinya kapal itu dibombardir dari udara oleh Jepang, dari tiga bom yang dilepaskan, satu mengenai kapal “VAN IMHOFF”, para tentara Belanda justru kemudian menarik sekoci dan meninggalkan tawanan Jerman yang dihantam sekutunya sendiri itu, sebelumnya orang Belanda telah merghancurkan pompa air dan jaringan komunikasi kapal tersebut, ada juga yang sengaja mematahkan dayung dari sisa sekoci yang mereka tinggalkan.
Akibatnya tidak sedikit dari tawanan tewas, yang selamat berusaha berenang dan menaiki sisa sekoci yang ditinggalkan tentara Belanda dan kru kapal “VAN IMHOFF”, nasibnya juga mengenaskan karena tidak sedikit dari mereka yang “disikat” ikan hiu, ada juga dari mereka yang memilih bunuh diri. Keesokan harinya tanggal 20 Januari 1942, sebuah kapal bernama “BOELONGAN”. yang tak lain adalah kapal Boelongan Nederland mendekati puing-puing kapal “VAN IMHOFF” yang tenggelam itu, beberapa tawanan yang selamat mencoba menaiki kapal tersebut, namun malang nasib mereka, orang Belanda diatas kapal justru meninggalkan mereka begitu tahu para tawanan itu orang Jerman, bahkan ada beberapa orang sempat menaiki kapal kemudian dilempar kembali ke lautan. Tidak banyak dari mereka yang selamat selain beberapa puluh orang saja yang sampai kepulau Nias.
Inilah yang kemudian menjadi awal petaka bagi kapal Boelongan Nederland, sekutu Jerman, yaitu tentara Jepang ternyata membalas perbuatan orang Belanda tempo hari itu, tak banyak bicara begitu mereka menemui Kapal Boeloengan Nederland di sekitar perairan Padang, tentara Jepang langsung membombardir kapal tersebut. Tentu saja bagi Jepang terbayarlah sudah dendam kesumat sekutu mereka orang-orang Jerman yang lunas nafasnya dikapal “VAN IMHOFF” yang jaraknya cuma beberapa hari dari kejadian itu. Maka habislah pula riwayat kapal Boelongan Nederland yang megah sekaligus lambang supremasi kolonial Belanda di Bulungan itu tepat pada tanggal 28 Januari 1942 didekat perairan Padang.
Sumber:
http://www.bogor.indo.net.id/indonesia.tuguperingatanjerman
http://www.arendnet.com/ MV Boelongan (+1942)
www.wrecksite.eu
Foto:
Museum Kesultanan Bulungan.
Tropenmuseum Wikipedia.
Kamis, 01 Juli 2010
AKSI PENYUSUPAN INTELEJAN REPUBLIK INDONESIA DI BULUNGAN
Tidak banyak yang mengetahui bahwa pada bulan oktober 1947, terjadi peristiwa penting yang turut pula mewarnai sejarah Kesultanan Bulungan, yaitu aksi yang sangat berani yang dilakukan oleh Tentara Republik Indonesia menembus blocakade pemerintah Colonial Belanda dan menyusupkan intelejennya bahkan hingga masuk ke jantung Kesultanan Bulungan, Tanjung Selor.
Kondisi politik di Kalimantan yang tidak jelas akibat minimnya informasi yang diperoleh akhirnya membuat Republik Indonesia segera berekasi untuk melakukan aksi spionase berupa penyusupan atau infiltrasi tentara melalui operasi terjun payung ke pedalaman dan operasi menembus blokade Belanda di Kalimantan timur bagian utara, penggagas utama dari operasi penerjunan payung pertama R.I. kepedalaman Kalimantan ini adalah Ir. P.M. Noor, Gubernur pertama kalimantan.
Beliau menulis surat kepada Kepala Staff Angkatan Udara (KASAU) Republik Indonesia Suryadharma, berupa permohonan menindak lanjuti rencana yang sudah di bicarakan pada saat keduanya secara tidak sengaja berada dalam satu kereta api yang sama untuk menuju ke Jakarta pada saat itu. Isi surat yang di kirim oleh Ir. P.M. Noor kepada Suryadharma sebagai berikut:
“…Untuk usaha-usaha merebut Kalimantan menjadi daerah Republik Indonesia, maka disamping usaha-usaha lain yang kini di jalankan, maka dipandang perlu memulai pasukan payung, mengirim pemuda-pemuda yang berasal kalimantan ke kalimantan”.
Dalam waktu singkat Gubernur Kalimantan menerima jawaban dari Kepala Staff Angkatan Udara Republik Indonesia Suryadharma. Akhirnya diambil keputusan untuk sesegera mungkin membentuk suatu Staff Khusus untuk pasukan Payung Republik Indonesia yang taktis di bawah Komando Panglima Angkatan Udara, peralatan disediakan olah Angkatan Darat dan Gubernur Kalimantan. Sebagai catatan, sebelum menjabat sebagai KASAU, pada masa mudanya, Suryadaharma pernah ditugaskan dalam sebuah Operasi Militer di Borneo Timur waktu itu beliau masih menjabat sebagai perwira pengamat (observer) diatas pesawat yang dipiloti J. H. Lukkien pada saat Tarakan diduduki tentara Jepang Tahun 1942, itulah nampaknya membuat Suryadharma cukup mengenal Borneo Timur sehingga operasi penerjunan pasukan payung di belantara Kalimantan Tengah dan penyusupan pasukan keperbatasan Kalimantan Timur Bagian utara dapat dilaksanakan.
Akhirnya ditunjuklah sebagai pelatih Opsir Udara I Sudjono dan dibantu beberapa rekannya antara lain Mayor Udara Siswadi dan Kopral Udara Mat Yasir. peserta yang ikut dalam persiapan penerjunan ini berjumlah 72 orang, 60 orang berasal dari seluruh Kalimantan dan sisanya 12 orang berasal dari Jawa, Madura dan Sulawesi. Semuanya berasal dari kesatuan MN (MUHAMMAD NOOR)1001.
Pada hari Sabtu tanggal 18 Oktober 1947, sebuah pesawat Dakota C-47 Skytrain RI-002 yang memuat rombongan pejuang Republik Indonesia melakukan misi menembus Blokade Belanda dan memasuki Kalimantan Timur bagian Utara. Pesawat ini berangkat dari Lapangan Udara Meguwo (sekarang Adisucipto) Jogjakarta dan dikemudikan oleh seorang Kapten pilot berkebangsaan Amerika yang menaruh simpati pada perjuangan bangsa indonesia pada saat itu, pilot tersebut bernama Robert Bob Earl Freeberg, sedang yang bertindak sebagai Co pilotnya adalah Opsir Muda Udara III Makmur Suhondo, sebagai mantan penerbang pesawat pengebom privateer-Versi AL-AS B 24 Liberator pada perang dunia ke-II, bukan hal yang sulit bagi Bob untuk menembus blokade Belanda, bahkan sehari sebelumnya tanggal 17 Oktober 1947, Bob juga berhasil menerjunkan pasukan pertama Republik Indonesia ke pedalaman Kalimantan Tengah.
Pada pukul 07.30 pesawatpun tiba di Labuan, British North Borneo (Kalimantan Utara wilayah Kekuasan Inggris) untuk refuelling (pengisian bahan bakar), setelah itu pesawat melanjutkan penerbangan ke Manila dan mendarat di Bandar Udara Makati Rizal, Manila pada pukul 14.30 waktu setempat. Karena pada waktu itu Indonesia dan Filipina belum memiliki hubungan diplomatik, dan rombongan juga tidak memiliki Entry Visa, maka mereka akhirnya di tahan di immigration Camp Grace Park, Rizal Extention, Manila selama 4 hari 3 malam. Setelah pengurusan visa dianggap selesai, rombonganpun akhirnya meninggalkan immigration Camp Grace Park dan kemudian menempati rumah yang telah disiapkan oleh Moeharto dalam perjalanan yang pertama ke Manila di 3, Cuneta Rizal City, Pasay, Manila dan di 1499 F.B. Harrison Street.
Secara keseluruhan rombongan ini berjumlah 12 orang yang di pimpin oleh Moeharto dengan anggota Soeharnoko Harbani, Soenaryo, Bambang Saptoadji, Boedihardjo, Moelyono, Soetardjo Sigit, Brenthel Soesilo, Marjunani, Soedarsono, Dhomber, Moelyono Adikusuma, Ir. Dalam operasi ini, Dhomber yang merupakan putra asli kalimantan dari kesatuan M.N. 1001 yang pada saat itu dibawah komando Mayor Tjilik Riwut, di tugaskan secara khusus memandu rombongan untuk memasuki wilayah Kalimantan Timur yang di kuasai oleh NICA dan membangun jaringan mata-mata sekaligus mengorganisasikan gerakan gerilyawan di kalimantan. Khususnya di Kalimantan Timur, wilayah kesultanan Bulungan yang berbatasan langsung dengan Sabah (British North Borneo) dan dengan Filipina selatan, sekitar Kepulauan Sulu dan Mindanao memang sangat strategis, terbukti kawasan ini pernah digunakan oleh Sekutu untuk membangun jaringan mata-mata sebagai persiapan untuk merebut pulau Tarakan dari tentara Jepang sekitar tahun 1943 yaitu dalam Operasi Pyiton dan Operasi Squirrel pada bulan April tahun 1944.
Setelah seluruh persiapan dianggap beres, maka dengan menumpang kapal milik perusahaan De La Rama Shipping Company, MV Northen hawker, Dhomber bersama Moelyono Adikusuma berlayar menuju Kalimantan Timur yang pada saat itu diduduki oleh NICA termasuk didalamnya Kesultanan Bulungan. Route perjalanan yang dilalui, dari Manila menuju Cebu City terus menuju Bais Dumaguete (Negros Occ) dilanjutkan ke Zamboanga lalu menuju Cotabato dan dilanjutkan ke Jolo.
Dari Jolo City dengan menyewa perahu pelayaran dilanjutkan menuju Pulau Tawi-Tawi, terus ke Ungus Matata, Tandubas Island, dengan melewati Bonggao, Tambisan, Samporna, Lahad Dato, terus menuju Tarakan lalu ke Tanjung Selor (Bulungan). Tanggal 30 Nopember 1947, rombongan tiba di Tanjung Selor-Bulungan. Pada saat itu sedang diadakan perayaan Birau yang dilaksanakan oleh sultan Bulungan yang ke-10, Sultan Djalaluddin.
Rupanya nasib mereka sedang mujur, karena kesibukan menyambut perayaan, maka kedatangan mereka tidak mendapat perhatian dinas intel NICA. Dalam berkomonikasi Dhomber selalu menggunakan bahasa Solog (Sulu) dan berpura-pura tidak bisa menguasai bahasa Melayu, selain itu Dhomber juga merubah namanya Jose Sabtall bin Moehamad Djamil. Siasat ini ternyata berhasil mengelabui dinas Intelejen NICA, hal itu terbukti pada saat mereka mengurus surat jalan untuk melanjutkan perjalanan menuju Derawan, polisi NICA tanpa curiga memberikanya. Setatus sebagai orang Filipina menyebabkan mereka dengan leluasa membuka jaringan pos penghubung di Tawao, dan berhasil mengadakan kontak dengan para pejuang Indonesia yang berada di Filipina, Labuan, Singapura, Nunukan, Tarakan, Balikpapan. Sekaligus merintis kontak dengan para pejuang dikalimantan Selatan dan Dayak Besar. Selain itu mereka juga mengumpulkan data-data yang dianggap penting diantaranya tentang kesiap siagaan tentara KNIL, pemerintah daerah NICA, serta instansi NICA lainnya, termasuk situasi Politik, Sosial, dan Budaya.
Aktivitas Intelejen pejuang Indonesia di Kalimantan Timur, Khususnya di wilayah Kesultanan Bulungan dalam Operasi Aksi Kalimantan pada tahun 1947 ini, terekam dalam surat yang di Tulis oleh Dhomber kepada S. Iduary yang di tujukan kepada kepada Komandan Pasukan M.N. 1001 Mobiele Brigade Markas Besar Tentara di Jogjakarta. Isi suratnya merupakan laporan hasil perjalanannya dari tanggal 18 Oktober 1947 hingga tanggal 15 Nopember 1947. selain itu itu surat ini juga memuat beberapa usulan-usuan. untuk lebih jelasnya di sini ada beberapa kutipan dari surat / laporan tersebut:
Rizal City, Nov 18th, 1947.
Kepada
Jth. PT. Majoor Tjilik Riwoet
Komandan Pas MN 1001 Mobiele
Brigade markas Besar Tentara.
Merdeka,
Bersama ini saya laporkan hasil perjalanan saya …
3. Oleh karena dalam bulan-bulan yang akan datang ini saya sudah berada di kepulauan Tawi-Tawi, Bulungan, Tarakan dan mungkin pula sampai ke Balikpapan dan Samarinda maka dengan sendirinya saya memerlukan tenaga-tenaga perang yang dapat dipercaya dan secita-cita dengan kita. Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, maka saya usulkan kepada P.T. supaya sedapat mungkin mengirimkan anak-anak kita ke daerah-daerah Bulungan, Tarakan, Nunukan, Tanjung Redeb, Tanjung Selor, … (tidak terbaca, ns).
Di perbatasan Borneo antara inggris dan Borneo … (tidak terbaca, ns) Bilamana mungkin pula menyampaikan kepada pasukan Iskandar tentang kedudukan saya dan sebaliknya bila ada … (tidak terbaca, ns) untuk menyampaikan kepada saya kedudukan pas iskandar.
… 6. Oleh karena belum memiliki satu rencana yang pasti dalam soal Ekonomi ini, maka sekiranya P.T. mengirim anak-anak seperti usul saya dalam pasal 3 hendaklah mempunyai bekal yang agak mencukupi terutama bahan-bahan makanan. Tetapi kelak setelah saya berada sendiri di lingkungan daerah-daaerah di Borneo Timur saya bermaksud membentuk suatu formasi perdangan dan perhubungan untuk melebarkan gerakan-gerakan ke seluruh Borneo. Maka perlu sekali P.T. memerintahkan kepada kepada seluruh markas-markas daerah supaya kalau dapat mengadakan hubungan dengan saya. Sebaliknya apabila saya bisa mengusahakan perlengkapan untuk mereka karena sebenarnya soal alat-alat disini tidaklah sukar bilamana kita mempunyai wang untuk membelinya.
7. soalnya sekarang bagaimana kita bisa mendapatkan alat-alat itu sebelum kita mempunyai bisa mempunyai wang agar dengan alat-alat itu kita bisa mempunyai kekuatan dan membangkitkan kepercayaan rakyat kepada kita. Oleh sebab itu apabila P.T. dapat memerintahkan kepada pas Iskandar untuk sebagian memindahkan gerakannya ke Hulu Mahakam dan ke Long Nawang agar di sana dapat bersatu atau bertemu dengan pas saya. Perhubungan saya dengan jawa mungkin menjadi sukar dan jalan satu-satunya yang baik ialah Selat Makasar dan Laut Jawa.
8. Laporan selesai.
Dibuat di: Rizal City, Nov 15th 1947
Jam: 2.40
Ttd.
(Dhomber S Iduary).
Keberhasilan operasi militer pertama pasukan payung AURI dalam penerjunan ke pedalaman kalimantan tanggal 17 Oktober 1947 dan keberhasilan rombongan pejuang Republik Indonesia menembus blokade Belanda hingga akhirnya mendarat di Manila Filipina tanggal 18 Oktober 1947, telah membuka mata dunia bahwa Kalimantan adalah salah satu bagian dari Republik Indonesia yang tidak dapat terpisahkan. Berita tersebut begitu mengejutkan dan telah menjadi topik utama pemberitaan di beberapa surat kabar di negeri Belanda pada saat itu.
Sumber: Lihat Dra Nila Suseno, Tjilik Riwut berkisah Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia (Palangka Raya: Pusaka Lima, Oktober 2003).
Langganan:
Postingan (Atom)